Selasa, 28 Desember 2010

PEMASANGAN KB MENURUT SYARI'AT ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah peradaban manusia, keluarga dikenal sebagai suatu persekutuan (unit) terkecil, pertama dan utama dalam masyarakat. Keluarga adalah inti dari jiwa dari suatu bangsa, kemajuan dan keterbelakangan suatu bangsa menjadi cermin dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada bangsa tersebut. KB berarti suatu tindakan perencanaan pasangan suami istri untuk mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval kelahiran dan menentukan jumlah anak sesuai dengan kemampuannya serta sesuai situasi masyarakat dan negara..
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis dapat mengambil pokok-pokok permasalahan yang dijadikan rumusan masalah adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan KB?
2. Apakah hukum memakai KB?
3. Apa saja jenis-jenis alat kontrasepsi?
4. Apa dampak dari KB?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa KB itu
2. Untuk mengetahui apa hukum memakai KB
3. Untuk mengetahui jenis-jenis alat kontrasepsi
4. Untuk mengetahui apa dampak dari penggunaan KB

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah pendidikan agama islam dengan dosen pengampu Drs.Farihin Nur.M.Pd mengenai “PEMASANGAN KB MENURUT SYARIAT ISLAM”.
Pada makalah ini,penulis berusaha menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti sehingga mudah dicerna dan diambil intisarinya dari makalah ini.
Penulis menyadari walaupun sudah berusaha sekuat kemampuan yang dimiliki,makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Baik dari segi bahasa, pengolahan, maupun dalam penyusunan.Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik yang sifatnya membangun demi tercapai suatu kesempurnaan.

Cirebon, Desember 2010
Penulis,



DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian KB
B. Hukum memakai KB
C. Macam-macam Alat Kontrasepsi
D. Dampak Pil KB
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran


BAB III
PENUTUP


A. Simpulan
KB merupakan upaya peningkatkan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (Undang-undang No. 10/1992).
Keluarga Berencana yang dibolehkan syariat adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-istri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (mashlahat) keluarga, masyarakat maupun negara.
B. Saran
Pergunakanlah KB untuk para ibu,agar bisa mengatur jarak kehamilan,supaya bisa menjadi keluarga yang berencana dalam suatu keluarga.


BAB II
PEMBAHASAN
PEMASANAGAN KB MENURUT SYARIAT ISLAM


A. Pengertian Keluarga Berencana(KB)
Upaya peningkatkan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (Undang-undang No. 10/1992).
Keluarga Berencana (Family Planning, Planned Parenthood) : suatu usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi.
WHO (Expert Committe, 1970), tindakan yg membantu individu/ pasutri untuk: Mendapatkan objektif-obketif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga
KB (Keluarga Berencana) yaitu membatasi jumlah anak, hanya dua, tiga dan lainnya.Keluarga Berencana yang dibolehkan syariat adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-istri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (mashlahat) keluarga, masyarakat maupun negara.Dengan demikian, KB di sini mempunyai arti yang sama dengan tanzim al-nasl (pengaturan keturunan). Penggunaan istilah ”Keluarga Berencana” juga sama artinya dengan istilah yang umum dipakai di dunia internasional yakni family planning atau planned parenthood, seperti yang digunakan oleh international Planned Parenthood Federation (IPPF), nama sebuah organisasi KB internasional yang berkedudukan di London.
B. Pandangan Hukum Islam tentang Keluarga Berencana
1. Hukum Ber-KB
KB secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umatnya. Selain itu, Kb juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.Namun persoalannya kemudian adalah : sejauh mana ia diperbolehkan? dan apa saja batasannya?. Hal tersebut akan terjawab pada penjelasan dibawah ini.
2. Makna Keluarga Berencana
Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencan (KB) yang dibolehkan syari`at adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian KB disini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl (pengaturan keturunan). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang. Pemandulan dan aborsi yang dilarang oleh Islam disini adalah tindakan pemandulan atau aborsi yang tidak didasari medis yang syari`i. Adapun aborsi yang dilakukan atas dasar indikasi medis, seperti aborsi untuk menyelamatkan jiwa ibu atau karena analisa medis melihat kelainan dalam kehamilan, dibolehkan bahkan diharuskan. Begitu pula dengan pemandulan, jika dilakukan dalam keadaan darurat karena alasan medis, seperti pemandulan pada wanita yang terancam jiwanya jika ia hamil atau melahirkan maka hukumnya mubah. Kebolehan KB dalam batas pengertian diatas sudah banyak difatwakan , baik oleh individu ulama maupun lembaga-lembaga ke Islaman tingkat nasional dan internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB dengan pengertian /batasan ini sudah hampir menjadi Ijma`Ulama. MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983. Betapapun secara teoritis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim al-nasl, tetapi kita harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja alat/metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB.
C. Jenis-Jenis Alat kontrasepsi
Berikut ini adalah beberapa macam alat-alat kontrasepsi yang dipakai dan beredar pada saat sekarang ini. Macm-macam alat kontrasepsi tersebut antara lain adalah :
• Alat Kontarepsi Berupa Kondom
• Alat Kontarepsi Berupa Diagfragma
• Alat Kontarepsi Berupa Susuk KB
• Alat Kontarepsi Berupa Pil KB
Berikut ini adalah penjabaran dari macam-macam alat kontarasepsi tersebut :
1. ALAT KONTRASEPSI BERUPA KONDOM
Kondom adalah suatu alat kontrasepsi berupa sarung dari karet yang diselubungkan ke organ intim lelaki, yang bekerja dengan cara mencegah sperma bertemu dengan sel telur sehingga tidak terjadi pembuahan. Kondom merupakan salah satu metode pencegahan kehamilan yang sering di-gunakan. Kondom juga bisa digunakan untuk melindungi pasangan dan diri sendiri dari virus HIV dan penyakit menular seksual.
2. ALAT KONTRASEPSI BERUPA DIAGFRAGMA
Kontrasepsi diafragma merupakan hal yang tidak biasa di Indonesia. Kontrasepsi ini adalah kontrasepsi barier yang tidak mengurangi kenikamatan berhubungan seksual karena terjadi skin to skin kontak antara penis dengan vagina dan dapat meningkatkan frekuensi sentuhan pada G Spot dalam. Sayangnya diafragma memiliki efektifitas yang paling rendah dibandingkan dengan alat kontrasepsi lainnya, selain itu pemasangannya harus oleh tenaga kesehatan dan harganya relatif lebih mahal.
3. ALAT KONTRASEPSI BERUPA SUSUK KB (IMPLAN)
Susuk : Disebut alat kontrasepsi bawah kulit, karena dipasang di bawah kulit pada lengan atas, alat kontrasepsi ini disusupkan di bawah kulit lengan atas sebelah dalam.
Bentuknya semacam tabung-tabung kecil atau pembungkus plastik berongga dan ukurannya sebesar batang korek api. Susuk dipasang seperti kipas dengan enam buah kapsul atau tergantung jenis susuk yang akan dipakai. Di dalamnya berisi zat aktif berupa hormon. Susuk tersebut akan mengeluarkan hormon sedikit demi sedikit. Jadi, konsep kerjanya menghalangi terjadinya ovulasi dan menghalangi migrasi sperma. Pemakaian susuk dapat diganti setiap 5 tahun, 3 tahun, dan ada juga yang diganti setiap tahun. Penggunaan kontrasepsi ini biayanya ringan. Pencabutan bisa dilakukan sebelum waktunya jika memang ingin hamil lagi. Berbentuk kapsul silastik (lentur), panjangnya sedikit lebih pendek daripada batang korek api. Jika Implant dicabut kesuburan bisa pulih dan tidak. kehamilan bisa terjadi Cara pencabutan Implan hampir sama dengan pemasangannya yaitu dengan penyayatan kecil dan dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih. Sebelum pemasangan Implan sebaiknya kesehatan Ibu diperiksa terlebih dahulu,dengan tujuan untuk mengetahui apakah Ibu bisa memakai Implan atau tidak.
4. ALAT KONTRASEPSI BERUPA PIL
Pil Kontrasepsi Kombinasi (OC / Oral Contraception).
Berupa kombinasi dosis rendah estrogen dan progesteron. Merupakan metode KB paling efektif karena bekerja dengan beberapa cara sekaligus sbb :
• Mencegah ovulasi (pematangan dan pelepasan sel telur)
• Meningkatkan kekentalan lendir leher rahim sehingga menghalangi masuknya sperma
• Membuat dinding rongga rahim tidak siap menerima hasil pembuahan
Bila pasien disiplin minum OC-nya, bisa dipastikan perlindungan kontrasepsi hampir 100%. Selain itu, OC merupakan metode yang paling reversibel, artinya bila pengguna ingin hamil bisa langsung berhenti minum pil dan biasanya bisa langsung hamil dalam 3 bulan.
D. Dampak Pil KB
Alat kontrasepsi umumnya memiliki efek samping. Salah satunya, pil KB. Meski pengaruhnya berbeda pada tiap wanita, namun efek samping yang bisa terjadi antara lain, kenaikan berat badan, mual, ataubahkanpembekuandarah.
Tak hanya itu, pil KB ternyata juga bisa menyebabkan depresi dan mempengaruhi tingkat libido. Apa penyebabnya ?
• Penurunan Libido
Banyak wanita melaporkan mengalami penurunan libido saat mengonsumsi pil KB. Gejalanya antara lain, tak ada hasrat bercinta, berkurangnya produksi pelumas di area intim, dan sulit mencapai kepuasan seksual.
Salah satu penyebabnya, hormon (estrogen atau progesteron) yang terkandung dalam pil dapat mengikat testosteron, hormon yang bertanggung jawab atas sebagian besar libido. Jika mengalami hal ini, Anda bisa mengganti alat kontrasepsi lain, seperti kondom, atau spiral, yang tidak mengandung hormon.
• Perubahan Mood dan Depresi
Beberapa wanita mengaku, mereka mengalami perubahan suasana hati dan depresi saat menggunakan pil KB, salah satu alat kontrol kehamilan mengandung hormon. Hormon progesteron dalam pil KB dapat menurunkan kadar seratonin di otak. Tingkat seratonin yang rendah bisa memicu munculnya depresi.
Jika pil KB mempengaruhi suasana hati atau libido, mungkin Anda bisa mengonsumsi pil dengan dosis rendah untuk mengurangi efek buruk tersebut. Beberapa wanita menemukan pilihan dosis rendah kontrasepsi hormonal, seperti IUD atau spiral, berhasil dengan baik tanpa mempengaruhi suasana hati atau dorongan seks. (umi)

Sumber viva.

Sabtu, 25 Desember 2010

MAKALAH KEMISKINAN

KATA PENGANTAR


Segala puji hanya milik Allah. Sholawat dan salam kepada Rasulullah. Berkat limpahan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini.
Dalam makalah ini kami akan membahas masalah Kemiskinan yang didalamnya kami mencoba untuk membahas tentang teori pendukung kemiskinan pengertian kemiskinan, Penyebab kemiskinan, Karakterisrik ekonomi penduduk miskin, Tiga bentuk perangkap kemiskinan dan Kemiskinan di Dunia Ketiga serta kami lampirkan angket yang menjadi objek penelitian dalam masalah kemiskinan.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada Mahasiswa dan Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada pembimbing kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang.

Cirebon, Desember 2010
Penyusun,

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II TEORI YANG MENDUKUNG
1. Sayogya, 1997
2. Gardu Taskin, 1998
3. Somantri Confusion, 1999
4. Siswanto, 1998
5. Soeiti, 1998
6. Simon, Schum Peter, 1990
7. Ehrlich, 1981
8. Peter, 1990
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengerian Kemiskinan
B. Karakterisrik ekonomi penduduk miskin
C. Tiga bentuk perangkap kemiskinan
D. Kemiskinan dan Kesenjangan
E. Kemiskinan di Dunia Ketiga
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran dan Kritik
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang jumlah penduduknya terbanyak dan menempati posisi ke 4 didunia. Dengan adanya jumlah penduduk yang banyak akan menimbulkan beban dan masalah bagi Negara.
Contoh : kemiskinan, kriminalitas dan kelaparan, namun masalah yang paling vital adalah kemiskinan merupakan masalah yang harus diminimalisir karena kemiskinan akan menimbulkan berbagai macam persoalan akan kemiskinan merupakan akar dari semua masalah yang dihadapi Negara saat ini.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, namun pada halnya kemiskinan belun juga teratasi hingga kini.
B. Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud kemiskinan
B. Jelaskan karakteristik ekonomi penduduk miskin
C. Sebutkan tiga bentuk perangkap kemiskinan.
D. Apa kaitannya kemiskinan dan kesenjangan
E. Bagaimana kemiskinan didunia ketiga.
C. Tujuan Masalah
A. Mengetahui pengertian kemiskinan
B. Menjelaskan karakteristik ekonomi penduduk miskin
C. Menyebutkan tiga bentuk perangkap kemiskinan.
D. Memaparkan kemiskinan dan kesenjangan
E. Menguraikan kemiskinan didunia ketiga.

BAB II
TEORI YANG MENDUKUNG
Teori - teori Tentang Kemiskinan
1. Menurut Sayogya, 1997 : Mengatakan bahwa alat ukur pendapatan perkapita dan alat ukur krbutuhan relative yang dianggap lebih maju masih juga memiliki kelemahan, maka dikembangkan alat ukur kemiskinan lain yang mendasarkan diri atas batas minimal jumlah kalori yang dikomsumsi per orang dan diambil persamaannya dengan beras.
2. Gardu Taskin, 1998 : Kepedulian pemerintah terhadap penanggulangan kemisinan dapat dilihat melalui program gerakan terpadu penanggulangan kemiskinan.
3. Somantri Confusion, 1999 : Pemberdayaan masyarakat digunakan secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat. Digunakan seperti pembuat kebijakan kalangan praktisi pelaksanaan program atau protek petugas sosial dan kelompok professional.
4. Siswanto, 1998 : Kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok, sehingga ia mengalami kesusahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya.
5. Soeiti, 1998 : Sumber daya alam adalah semua benda yang merupakan hadiah alam, baik ada dipermukaan tanah atau yang menyimpan didalamnya untuk dipergunakan dalam proses produksinya.
6. Simon, Schum Peter, 1990 ) : Pandangan optimis yang berpendapat bahwa penduduk adalah aset yang memungkinkan untuk mendorong pembangunan ekonomi dan promosi inovasi teknologi dan institusional
7. Ehrlich, 1981 : Pandangan pesismis yang berpendapat bahwa penduduk dapat mengantarkan dan mendorong terjadinya pengurasan sumberdaya, kekurangan tabungan dan kerusakan lingkungan.
8. Peter, 1990 ) : Pandangan optimis ase yang memungkinkan untuk mendorong perkembangan ekonomi dan promosi inovasi teknolog

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kemiskinan
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan pokok sehingga ia mengalami kesusahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langka kehidupannya
( Siswanto, 1998 )
Kemiskinan timbul dari berbagai faktor yang setiap faktornya memerlukan pananganan khusus.
1. Terbatasnya sumber daya alam pada hakikatnya adalah karunia tuhan
Sumber daya alam adalah semua benda yang merupakan hadiah alam, baik ada dipermukaan tanah atau yang menimpan didalamnya untuk dipergunakan dalam prosos produksi ( Soeiti, 1998 )
Sumber daya alam bukanlah pilihan atau buatan manusia, tetapi sudah tersedia dibumi dan manusia dapat mengambil manfaat darinya.
Kalau sumber daya alam ini buatan seseorang atau bangsa, tentu Negara yang miskin sumber daya alam akan berusaha untuk membuatnya.
Pengolahan yang kurang baik, selain tidak dapat memberikan manfaat yang optimal juga tidak dapat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
2. Terbatasnya Sumber Daya Manusia
Bahwa sumber manusia alam tidak dengan sendirinya menjadi sediaan yang langsung bermanfaat untuk menutupi kebutuhan hidup manusia didaerah atau Negara dengan sumber daya manusia.
Tingkat kerendahan dan tingkat kemiskinan disuatu Negara tergantung pada dua faktor utama yakni :
1. Tingkat pendapatan Nasional rata-rata
2. Lebar sempitnya Kesenjangan
Selama dasawarsa 1970-an pada saat minat dan perhatian bagi masalah kemiskinan tengah meningkat, para ahli ekonomi pembangunan mulai berusaha mengukur luasnya atau kadar perannya didalam suatu Negara dan antar Negara dengan cara menentukan atau menciptakan suatu batasan yang lazim disebut sebagai garis kemiskinan.
Konsep dimasukan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik, minimum setiap orang berupa kecukupan makanan, pakaian serta perumahan sehingga dapat menjawab kelangsungan hidupnya.
Oleh karena itu, para ahli ekonomi cenderung membuat perkiraan yang serba konservatif atau sederhana tentang kemiskinan dunia dalam rangkaian menghindari perkiraan yang berlebihan.
Sehubungan dengan sedemikian terbatasnya informasi-informasi yang tersedia, maka hal yang relativ paling baik yang bisa dilakukan terhadap erbandingan data statistik antar Negara tersebut adalah mencoba mengukur persentase kemiskinan absolut terhadap total penduduk Negara yang bersangkutan.
Satu hal lagi kiranya yang masih perlu dijelaskan mengenai tidak adanya kemiskinan absolut dalam jumlah besar. Dengan demikian masalah-masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan tersebut sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh proses-proses pertumbuhan ekonomi yang alamiah.
B. Karakteristik ekonomi kelompok penduduk miskin
Jika distribusi yang sangat tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, akan tetapi sebagaimana yang telah diungkapkan tingginya tingkat pendapatan perkapita tidak menjamin labih rendahnya tingkat kemiskinan absolut.
Upaya – upaya kemiskinan melalui serangkaian kebijakan dan rencana yang langsung terarah kepada kemiskinan tampaknya akan lebih efektif baik itu dalam jangka pendek maupun jangka panjang 3 efek lingkaran perangkap kemiskinan terhadap pembangunan ekonomi.
Perangkap kemiskinan adalah serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan kemiskinan sering didefinisikan dengan kekurangan, terutama kekurangan bahan pokok. Seperti pangan, kesehatan, sandang, papan dan sebagainya.
Keadaan disuatu Negara akan tetap miskin dan akan tetap mengalami banyak
kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi.
Dalam mengemukakan teori tentang lingkaran kemiskinan, perangkap kemiskinan pada hakikatnya nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan pembangunan pada masa lalu tetapi juga menghadirkan hambatan pembangunan dimasa yang akan datang.
Menurut pendapatnya perangkap kemiskinan yang terpenting adalah keadaan-keadaan yang mnyebabkan timbulnya hambatan terhadap terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi.
Jad menurut nurkse terdapat dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan yang menghalangi Negara berkembang mencapai tingkat pembangunan yang pesat, dari segi penawaran modal dan dari segi permintaan modal.
C. Tiga bentuk Perangkap Kemiskinan
Dari segi penawaran modal lingkaran kemiskinan, perangkap kemiskinan keadaan ini selanjutnya akan dapat menyebabkan suatu Negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat produktivitas akan tetap rendah di negara – negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal redah karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas dan hal yang belakangan disebutkan ini disebabkan oleh produktivitas yang rendah.
Di Negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal, corak lingkaran perangkap untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas dan hal belakangan disebutkan ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah.
Dalam bagian lain analisis nurkse ia menyatakan bahwa peningkatan pembentukan modal bukan saja dibatasi oleh lingkaran perangkap kemiskinan seperti yang dijelaskan diatas, tetapi juga oleh adanya International Demonstration Effect.
Andai kata keadaan sedemikian berlaku maka International Demonstration Effect akan memperburuk lagi keadaan lingkaran perangkap kemiskinan yang dihadapi oleh suatu Negara berkembang.
Lingkaran perangkap kemiskinan ini, Merk dan Baldwn mengemukakan pula suatu lingkaran kemiskinan lain. Perangkap kemiskinan timbul dari hubungan saling mempengaruhi antara keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan alam yang belum dikembangkan.
Di Negara berkembang kekayaan alam belumlah sepenuhnya diusahakan dan dikembangkan, karena tingkat pendidikan msyarakat masih relative rendah, tenaga ahli yang diperlakukan jumlahnya terbatas dan mobilitas seuber daya juga terbatas.
Kritik terhadap teori perangkap kemiskinan
Inti kritik Bauer mengatakan adalah tidak benar bahwa Negara berkembang terjerat dalam suatu lingkaran perangkap kemiskinan dan satagnasi. Dia selanjutnya mengatakan, andai kata teori itu benar, individu diberbagai pelosok dunia tidak akan pernah mencapai tingkat kekayaan dan kesejahteraan seperti yang telah mereka capai sekarang ini. Untuk membuktikan ia mengemukakan beberapa fakta empiris.
Pendapat yeng mengatakan bahwa International Demonstration Effect akan memperburuk keadaan lingkaran perangkap kemiskinan, karena akan lebih memperkecil tingkat tabungan dan penanaman modal yang dapat dilakukan dan pada akhirnya akan memperlambat pembangunan juga disangkal oleh Bauer.
Hubungan tersebut akan mengembangkan pandangan baru, teknik produksi baru, sikap dan cara baru dalam mengembangkan tanaman baru untuk eksport.
Pada akhirnya keadaan itu akan memperlambat laju pembangunan ekonomi yang dicapai. Dengan demikian kenaikan tingkat pendapatan akan merangsang penduduk di Negara berkembang untuk bekerja lebih giat.
Jelas dapat dilihat bahwa antara Bauer dan para pendukung International Demonstration Effect terdapat perbedaan pandangan mengenai pengaruh dari hubungan dengan dunia luar terhadap usaha Negara berkembang untuk mempercepat pembangunan ekonominya.
Menurut Bauer adanya perdagangan dengan Negara maju tersebut akan menjadi perangsang untuk mempertinggi daya usaha masyarakat dan akan menaikan tingkat kegiatan ekonomi, dengan demikian tingkat perkembangan ekonomi yang dicapai akan menjadi bertambah cepat dan bukan sebaliknya.
Implikasi proyeksi penduduk terhadap pengangguran dan kemiskinan.
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai pengaruh penduduk pada pembangunan :
1. Pandangan pesimis yang berpendapat bahwa penduduk dapat mengantarkan dan mendorong terjadinya pengurasan sumber daya kekurangan tabungan, kerusakan lingkungan, kehancuran ekologis yang kemudian dapat memunculkan masalah-masalah sosial , seperti kamiskinan, katerbelakangan dan kepalaran ( Ehrlich, 1981 ).
2. Pandangan optimis yang berpendapat bahwa penduduk adalah aset yang memungkinkan untuk mendorong perkembangan ekonomi dan promosi inovasi teknologi dan instusional ( Simon, Schum Peter, 1990 )
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pertumbuhan penduduk tinggi akan memperlambat pembangunan :
1. Akan memersulit pilihan antara meningkatkan konsumsi saat ini dan intervasi yang dibutuhkan untuk membuat konsumsi dimasa mendatang semakin tinggi.
2. Di Negara yang penduduknya bergantung pada sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mengancam keseimbangan antara sumber daya alam yang langka dan penduduk.
3. Semakin sulit melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan ekonomi dan sosial.
Kajian Okita dan Kureda ( 1981 ) yang berusaha mengupas perubahan demografis ( transisi ) dan dampak terhadap pembangunan, khususnya pertumbuhan ekomoni menunjukan bahwa perubahan struktur penduduk uis kerja di Jepang, sebagai akibat pesatnya pertumbuhan penduduk berpengaruh pada perluasan kapasitas produksi perkapita dan mempunyai kontribusi cukup penting pada pertumbuhan ekomoni. Dan dari telaahan terhadap beberapa penelitian tahun 2000 diperoleh kesimpulan :
1. Pertumbuhan penduduk mempunyai hubungan kuat negatif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekomoni.
2. Penurunan pesat dari fertilitas memberikan konstibusi relevan terhadap pertumbuhan kemiskinan.
Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk yanh disebabkan oleh menurunnya mortalitas akan memicu pertumbuhan penduduk Sedangkan yang disebabkan oleh peningkatan fertilitas akan menekan pertumbuhan ekonomi.
D. Kemiskinan dan Kesenjangan
Pemerataan dan keadilan sosial pada umumnya merupakan salah satu dari tujuan utama rezim orde baru sebagai mana dikemukakan. Misalnya dalam Trilogi Pembangunan.
Bagi beberapa pihak dan selama beberapa periode, konsep ini belum termasuk penerapannya-bervariasi.
Bagi para akademis, ahli statistic di BPS dan pemerintahan “kemiskinan didefinisikan dan analisis sebagai orang yang berada dibawah garis kemiskinan yang definisinya bervariasi, sedangkan distribusi diukur dengan menggunakan kesenjangan”.
Baru-baru ini fokusnya diarahkan pada provinsi dibagian timur yang teringgal dibandingkan di daerah lain terutama di jawa dan Sumatra.
Catatan pengurangan kemiskinan di Indonesia dianggap kisah yang berhasil dimata internasional. Kemajuan Negara di puji oleh Bank dunia dan kelihatannya merupakan anggota Negara di Asia Timur yang berprospek bagus.
Bantuan minyak pada tahun 1970-an menempatkan sumber daya yang sangat besar ditangan individu yang berkuasa didalam sistem politik sentralisasi dimana sistem konstituensi miskin di edesaan hampir sama sekali tidak memiliki suara
Memberikan ringkasan gambaran dari perubahan didalam kemiskinan dan kesenjangan. Rangkaian pemerataan yang lebih panjang tidak menunjukan perubahan yang signifikan untuk Negara secara keseluruhan selama lebih dari 28 tahun. Sampai tahun 1993 bagian dari golongan termiskin, berdasarkan Gu Intile tidak banyak berubah dan tampak sedikit menurun pada akhir 1970-an, namun naik sepanjang tahun 1980-an sampai ke angka yang lebih tinggi ketimbang angka pada tahun 1969 / 70.
Untuk semua tahun, kecuali dua tahun pertama, kesenjangan lebih rendah di daerah pedesaan. Rasio urban menunjukan sedikit perubahan sepanjang periode ini, yang berpuncak pada tahun 1987 pada saat minyak berada dilevel tinggi. Sebagai akibatnya jumlah kemiskinan menurun dengan tajam : pada tahun 1993, presentasi populasi yang hidup dalam kemiskinan di daerah urban dan pedesaan adalah sekitar sepertiga dari tahun 1976, secara khusus urbanisasi yang cepat menjelaskan mengapa angka absolut dari kau miskin urban cukup banyak pada periode ini, meskipun terjadi penurunan tajam.
Dipandang dari segi presentasi, kritik terhadap dekade pada pertama masa rezim orde baru mangakui bahwa memang ada keuntungan output signifikan, namun juga menambahkan bahwa distribusi sangat buruk, kemiskinan hampir tidak berkurang.
Selain itu ia menekankan pada persoalan yang akan kita bahas sebentar lagi yaitu meningkatkan disparitas pengeluaran perkapita seperti dicatat oleh susenas dan naiknya pengeluaran konsusmsi pribadi seperti dicatat dalam laporan nasional. Ia juga berpendapat bahwa catatan susenas banyak mengabaikan berbagai aspek.
Beberpa pihak yang pada tahun 1970-an merasa pesimis, kini melihat fajar tenaga kerja tradisional yang semakin ketat bahkan kenaikan upah Riil sebuah trend yang tidak terbayangkan satu dekade sebelumnya. Lebih jauh kesimpulannya, tampaknya menjadi kenyataan katika berupa analisis kuantitatif yang lebih canggih menunjukan arah yang sama, keberatan ini mungkin melemahkan beberapa penilaian terkuat sehubungan dengan penurunan kemiskinan, namun beragam keberatan tersebut tidak menjungkirbalikan profesi fubdamental yaitu bahwa catatan ekuitas orde baru secara komfaratif adalah bagus.
1. Hasilnya tergantung kepada satu set data dan banyak dipolitisasi jelas adanya kekurangan dalam laporan data pengeluaran dikarenakan diskrepensasi yang berfluktuasi lumayan besar antara rata-rata pengeluaran dari susenas dan konsumsi perkapita personal dari laporan nasional.
2. Beberapa peneliti pedesaan, terutama para antropolog malaporkan studi kasus tentang memburuknya keadaan. Menurut analisa ini hampir seluruhnya difokuskan pada pedesaan dijawa, terlihat semakin banyaknya orang tidak punya lahan, munculnya kecenderungan kearah kuli kontrak, penerapan teknologi yang baru mengurangi kebutuhan tenaga kerja, hilangnya lembaga pedesaan tradisional yang memberikan beberapa perlindungan kepada kelompok yang paling miskin dan untuk petani kecil, akses yang tidak setara kepada teknologi, kredit dan pelayanan pemerintah. Poin yang perlu ditekankan dalam mengevaluasi data kemiskinan dan kesenjangan ditingkat makro adalah bahwa kesenjangan hanya mengacu kepada pengeluaran dan pendapatan rumah tangga.
Garis kemiskinan yang biasa digunakan di Indonesia lebih rendah ketimbang Negara-negara lain dan definisi alternativ telah menimbulkan beragam penafsiran faktor apa yang menjelaskan catatan Indonesia yang secara komparatif baik dalam hal distribusi dan pengurangan kemiskinan sejak 1996.
1. Warisan sejarah adalah konsis awal yang mendukung, karena pengalaman Indonesia tampaknya memberikan konfirmasi empiris dan proposisi bahwa kondisi awal memainkan peran kecil dalam menentukan hasil distribusional bahwa lebih sulit melakukan retdistribusi ketika proses pertumbuhan pertumbuhan ekonomi yang pesat telah dimulai.
2. Lintasan pertumbuhan Indonesia kondusif untuk hasil yang adil, setidaknya dalam dua hal penting.
3. Sektor hasil pangan secara Inheren cenderung dialokasikan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih merata, karena itu singkatnya sementara catatan ini dapat lebih ditingkatkan, kebijakan publik telah memainkan peran signifikan dalam mengurangi jumlah kemiskinan pertengahan 1960-an.
E. Kemiskinan di Dunia Ketiga
Hal terpenting berikutnya yang harus dikemukakan disini adalah jika kita hanya menggunakan Kurs untuk mengkonversikan pendapatan perkapita Negara tersebut kedalam satuan Dolar tanpa memperhitungkan variasi daya beli uang dimasing-masing Negara, maka ketimpangan antara pendapatan perkapita di Negara maju dan berkembang akan nampak jauh mencolok, karena perhitungan seperti itu tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya
Maka para ekonom berusaha mencari ukuran indikator baru agar mereka dapat menghitung pendapatan perkapita Riil suatu Negara dengan memperhitungkan daya beli mata uangnya.
Meskipun demikian sekalipun variasi daya beli itu telah diperhitungkan, ternyata ketimpangan pendapatan perkapita Riil antara Negara maju dan berkembang masih cukup besar pertumbuhan yang memiskinkan.
Sudah jatuh tertimpa tangga inilah yang biasa disebut sebagai kasus pertumbuhan yang memiskinkan. Namun untunglah fenomena pertumbuhan memiskinkan yang mengerikan itu jarang ditemukan di dalam kenyataan sehari-hari.
Pendapatan perkapita Riil di Negara berkembang itu akan meningkat jauh lebih pesat, seandainya saja jumlah penduduknya tidak terus berkembang sebanyak sekarang.
Kemiskinan dibeberapa Negara berkembang yang paling miskin masih banyak Negara berkembang paling miskin terutama kawasan Subsahara Afrika, tetap menghadapi kemiskinan paling buruk. Masalah hutang luar negeri, stagnasi ekonomi serta semakin melebarnya jurang ketidak adilan standar hidup.
Sistem ekonomi yang telah menyebarkan keuntungan perdagangan internasional dan spesialisasi secara merata tidak dapat dikatakan tidak berfungsi sempurna apalagi disebut talah memberikan keadilan dunia yang dipenuhi oleh jutaan orang yang kelaparan, bukan saja tidak diterima dari sisi etika namun juga akan sulit mewujudkan suatu dunia yang aman dan sentosa.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok, sehingga ia mengalami kesusahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya.
Perangkap kemiskinan adalah serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi secara demikian rupa sehingga menimbulkan kemiskinan
Di Negara miskin perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah, karena luas pasar untuk berbagai jenis barang terbatas dan hal belakangan disebutkan ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah.
Dalam bagian lain dari analisis nurkse, ia menyatakan bahwa peningkatan pembentukan mdal bukan saja dibatasi oleh perangkap kemiskinan seperti di jelaskan diatas, tetapi juga oleh adanya International Demonstration Effect.
Andai kata keadaan sedemikian berlaku maka International Demonstration Effect akan memperburuk lagi keadaan lingkaran perangkap kemiskinan yang dihadapi oleh suatu Negara berkembang.
B. Saran dan Kritik
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan pokok sehingga ia mengalami kesusahan, kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langka kehidupannya, sehingga kemiskinan merajalela baik di dunia berkembang maupun di dunia maju seperti zaman sekarang ini, dan terjadi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya.
Tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada Dosen Pengampu kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Siswanto. 1998. Ilmu sosia dan budaya. Bandung : Eresco
2. Todaro, Michael. 1997. Pembangunan ekonomi dunia. Karta : Erlangga
3. Sagir, Soeharsono. 2008. Ekonomi Indonesia. Bandung : Prenada Media Group
4. Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan. Jakatra : Perenada Media
5. Hiil, Hal. 1994. Ekonomi Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo
6. Hikmat, Hari. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Humanivora. Jakatra : PNBT
7. Hartono. 1986. Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta : Karunka
8. Soelaman Munandar. 1986. Ilmu Sosil Dasar. Bandung : Eresco
9. Salvatore, Dominich. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta : Erlangga.

LAMPIRAN
Angket ini diajukan menjadi objek penelitiannya adalah anggota keluarga
10. Pernahkan membantu fakir miskin
A. Sering B. Tidak Pernah C. Jarang
Alasan : Karena orang miskin itu harus kita tolong. Kita menolong tidak pandang dia orang kaya atau miskin
11. Bentuk apakah yang diberikan
A. Uang B. Materi C. Nasehat
Alasan : Karena uang bis membeli apa yang dia inginkan.
12. Usaha apakah untuk memberikan fakir miskin
A. Materi B. Moril C. Pendidikan
Aalasan : Karena pendidikan akan memecahkan masalah yang ada didunia
13. Apakah kemiskinan bisa dihilangkan
A. Bisa B. Tidak Bisa C. Di Minimalisir
Alasan : Karena kemiskinan sulit dihilangkan, tapi bisa di Minimalisir
14. Kateori usia apakah orang miskin
A. Semua umur B. Orang tua C. Anak-anak
Alasan : Karena orang miskin itu tidak pandang umur

Selasa, 21 Desember 2010

DEMOKRASI PEMERINTAHAN ( MAKALAH )

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era globalisasi ini kita dituntut untuk mengetahui bagaimana kinerja dalam pemerintahan. Karena kita dituntut bagaimana cara kerja suatu birokrasi pemerintahan.
Sering kali Mahasiswa tidak begitu memahami tentang birokrasi dalam pemerintahan, namun dalam tugas yang diemban sering kali melakukan penyimpangan seperti malakukan KKN dan sebagainya.
Untuk itu kita harus memahami tentang pemerintahan supaya kita tidak dobohongi oleh kebijakan yang mereka buat.
B. Rumusan
1. Jelaskan tentang Birokrasi
2. Apa maksud Uundang-undang tentang Otonomi Daerah
3. Bagaimana Prinsip Dasar Otonomi
4. Sebutkan Azas-azas Pemerintahan
5. Jelaskan masalah dalam pemerintahan
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang Birokrasi
2. Menjelaskan Uundang-undang tentang Otonomi Daerah
3. Memaparkan Prinsip Dasar Otonomi Dearah
4. Menyebutkan Azas-azas Pemerintahan
5. Mengetahui masalah dalam pemerintahan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Birokrasi
Telah kita saksikan bahwa masalah terberat yang dihadapi adalah memahami hubungan antara gagasan rasionalitas dan ciri-ciri khusus yang dilekatkan pada tipe ideal demokrasi.
Telah menjadi kebiasaan untuk menandaskan bahwa dalam hal ini tidak harus ada hubungan antara ciri-ciri khusus dan rasionalitas tersebut. Dan disinilah kesimpulan itu ditarik bahwa ada dua alternative cara mengkonseptualisasikan birokrasi.
Tokoh yang paling mengesankan dalam masalah ini adalah Peter Biau Prancis, dan Stono menegaskan bahwa secara teknis istilah birokrasi mengacu pada mode pengorganisasian yang terutama disesuaikan untuk menjaga stabilitas dan efesiensi dalam organisasi yang besar dan kompleks.
Para sosiolog terpaksa mengakui bahwa gagasan birokrasi ini bertolak belakang dengan konsep birokrasi pada umumnya.
Sebagai Infisiensi administrasi dan sebagai suatu pembenaran, biasanya orang menunjuk pada aspek gagasan umum yang sarat nilai, konsep dia sendiri yang murni “ Teknik atau Netral ”. tidak mengherankan konsep borokrasi seperti ini walaupun dikembangkan oleh para sosiolog menarik minat para teoritis manajemen, karena gagasan efisiensi telah menjadi inti masalah bagi kebanyakan tulisan mereka.
B. Undang-undang Otonomi Daerah
Dengan diundang-undangkannya undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemda sebagai regulasi revisi atas undang-undang No.22 tahun 1999, maka berbagai kewenangan serta pembiayayaan kini dilaksanakan oeh Pemda dengan lebihnya da Riil.
Dalam menjalankan tugas dan perannya pemerintahan daerah diharapkan dapat mengalokasi sumber-sumber daya dan memahami masalah publik secara efesien, mampu mendiagnosa dan memperbaiki kegagalan pasar yang tengah atau pernah terjadi.
Siap menyediakan barang-barang publik yang tidak dapat disediakan oleh pasar, hingga bisa menyusun Imemformulasi regulasi yang efektif dan tidak mendistori pasar.
Salah satu prinsip yang harus dibangun manakala otonomi daerah diberlangsungkan selain transportasi responbilitas Clean Goverment dan sebagainya adalah akuntabilitas yang perfektif pada penyusunan regulasi yang efektif dan berorientasi pada kepentingan publik.
Sekarang pemerintahan daerah tidak lagi sekedar sebagai pelaksana operasional kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan dan ditentukan oleh pusat, Seperti pada masa orde baru, tetapi lebih dari itu diharapkan dapat menjadi agen penggerak pembangunan daerah / lokal.
Oleh karenanya melalui pendekatan akuntabilitas publik yang serumpun dalam bidang demokrasi ekonomi apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakatnya sendiri, apakah kebijakan yang mereka hasilkan bertentangan dengan keigninan masyarakat atau tidak.
Ada beberapa faktor lain yang dapat membuat pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijaksanaan pembangunan diantaranya adalah dialokasikan perizinan-perizinan.
Dalam konteks cerita diatas pada prinsipnya otonomi daerah memberikan kesempatan yang besar bagi pembangunan masyarakat ditingkat lokal, pemerataan pembangunan antar daerah dan membuka peluang baru bagi perbaikan kegiatan ekonomi merujuk pada kondisi sekarang ini, pelaksanaan otonomi masih dirasa jauh dari harapan, masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diberbagai bidang.
Hampir setiap daerah sejak UU No. 22 tahun 1999 di Implementasikan Pemda berkecenderung meningkatkan pajak dan retribusi guna membiayai anggaran belanja dan mengisi pundi pendapatan asli daerah. Karena itu berusaha untuk membahas kebijakan publik tanpa berprentansi menjelaskan secara Ethautive dan Komperensif.
 Bagaimana sesungguhnya politik jaman sebelum Orde Baru
 Pertama
Peta ketakutan itu harus dilihat sebagai hasil dari pemilu 1955 yang menampilkan Empat kekuatan utama yakni : PN, NU, Masyumi dan PKI. Ide ini sudah terbaca dari pemikiran lama ( tahun 20-an ) Soekarno memandang bahwa Empat kekuatan tersebut merupakan bagian dari raelitas bangsa Indonesia. Gagasan ini secara legal formal diakui dan tercermin dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
 Kedua
Pada periode 50 an – 60 an ditingkat dunia terjadi suatu perang dingin antar dua blok : blok barat dan blok timur, namun pergulatan dua blok tersebut berhenti dan bahkan membawa Implikasi yang luas termasuk memberi warna pada perpolitikan nasional sementara itu, watak anti kolonialisme dan anti kapitalisme yang sangat kuat pada diri Soekarno, menjadikan pihaknya secara tidak langsung telah menarik garis perlawanan terhadap blok barat. Dimana Amerika menjadi kekuatan pelopor dua situasi tersebut, merupakan kondisi yang melingkupi usaha-usaha Rezim Soekarno untuk menjalankan pemerintahan, termasuk melakukan penataan kembali struktur kekuasaan, baik tingkat pusat maupun hubungan antara pusat dan daerah.
C. Prinsip Dasar Otonomi Daerah
Bagaiman hubungan pusat dan daerah dikembangkan, sebagaimana yang termuat dala UU No.1 tahun 1957 oleh karena itu posisi yang diambil adalah memberikan jawaban atas persoalan yang berkembang. Masalah yang hendak memberikan jawaban dan pengaturannya adalah bagaimanakah seharusnya itu bahwa pembagian kekuasaan yang sedemikian itu bukan pembagian yang isinya dapat diperincikan satu persatu. Maka pemecahan perihal dasar dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan factor-faktor yang Riil dan nyata.
 Pemerintahan berasal dari kata perintah yang diartikan :
1. Memerintah berarti melakukan pekerjaan menyuruh / perkataan menyeluruh melakukan sesuatu.
2. Pemerintahan berarti perbuatan cara hal atau urusan dari badan yang memerintah tersebut.
Dengan demikian pemerintah adalah sekelompok Individu yang mempunyai wewenang tertentu untuk melaksanakan kekuasaan atau sekelompok individu yang mempunyai dan melaksanakan wewenang yanh syah.
Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah menjaga sustu system ketertiban sehingga masyarakat bis menjalankan kehidupan yang wajar.
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan kepengurusan ( Eksekutif, Legislatif ) Kepemimpinan dan kordinasi pemerintahan pusat dan daerah, rakyat dengan pemerintahan dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan secara baik dan benar.
Objek materi ilmu pemerintahan secara kebetulan sama dengan objek ilmu politik, ilmu administrasi Negara dan ilmu Negara.
Di dalam penjelasan UUD 45 tentang system pemerintahan Indonesia dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan.
Dalam masyarakat jawa terdapat ungkapan yang berbunyi “ Doso mowo coro, Negoro mowo toto ” atau “ Setiap Desa memiliki cara, setiap Negara memiliki aturan ”. ungkapan ini jika dikaitkan dengan materi pokok bahwa Negara RI ini terdapat ragam Desa, yang satu berbeda dengan yang lainnya.
D. Azas-azas Pemerintahan
1. Azaz Aktif adalah pemerintahan memiliki sumber utama pembangunan seperti : keahlian dana kewenangan , organisasi dan lain-lain.
2. Azaz Unj Bestuur adalah kekosongan pemerintahan, hal ini timbul karena melihat bagian seluruh penjabaran setiap departemen dan non departemen sampai ketingkat-tingkat kecamatan apalagi ke desa.
3. Azaz Histori adalah yang dalam penyelenggaraan pemerintahan bila terjadi suatu peristiwa pemerintahan, maka untuk menaggulanginya pemerintah berpedoman kepada penaggulangan pemecahan peristiwa yang pernah terjadi.
4. Azaz Etis adalah azaz dalam penyelenggaraan pemerintahan terlepas dari memperhatikan kaidah normal
5. Azaz Otomatis adalah azaz dalam penyelenggaraan pemerintahan diluar tanggung jawab departemen maupun non departemen baik sifatnya rutin maupun sewaktu-waktu.
E. Masalah dalam Pemerintahan
Perubahan aset menjadi milik pejabat adalah bukti kepemilikan yang syah aset berupa sejumlah aset seperti gedung dan kendaraan di Komandiknas, membuktikan buruknya tata pengolahan aset Negara dilembaga tersebut.
Sistem administrasi terhadap aset memang perlu segera diperbaiki, kalau tidak bisa saja aset milik Diknas itu tiba-tiba berubah menjadi aset pribadi pejabat-pejabat.
Menurutnya ketidakberesan dalam masalah pencatatan aset seperti ini juga merupakan salah satu modus umum dari tindak pidana korupsi.
Pengembangan Ciayu Majakuning adalah komitmen pemerintahan Indonesia dalam maningkatkan kapasitas daerah telah dilakukan dimunsi organisasi etos kerja pengetahuan dan motifasi dari orang yang bekerja di wilayah Ciayu Majakuning.
BAB III
KESIMPULAN

Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemda merupakan kewenangan serta pembiayayaan kini dilaksanakan oleh Pemda dengan jelas dan Riil.
Pemerintahan berarti melakukan pekerjaan menyuruh / perkataan menyeluruh melakukan sesuatu.
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan kepengurusan ( Eksekutif, Legislatif ) Kepemimpinan dan kordinasi pemerintahan pusat dan daerah, rakyat dengan pemerintahan dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan secara baik dan benar.
Ada 5 azaz dalam pemerintahan
1. Azaz Aktif
2. Azaz Unj Bestuur
3. Azaz Azaz Histori
4. Azaz Etis
5. Azaz Otomatis
DAFTAR PUSTAKA
• Al-Brow, Martin. 2004. Birokrasi Yogya : Tiara Wacana
• Widarta. 2004. Pokok-pokok Pemda. Yogyakarta : Lapera Pustaka
• Agustino, Leo. Dasar-dasar kebijakan publik. Bandung : Alfa Beta
• Rohayatin, Titin. 2005. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung : Diklat
• Bidiarjo, Meriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia
• Isjwara, F. 1999. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Purta Badrin
• Hartono. 1986. Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta : Karunika
• Majalah Tempo
• Koran Radar : Sarip
• Supratma : Rakyat Merdeka

SURAT PERMOHONAN

DEPARTEMEN AGAMA
KANTOR URUSAN AGAMA
KECAMATAN CIWARINGIN – KABUPATEN CIREBON
Jl. Jend. Urip Sumoharjo No. 14 Ciwaringin Cirebon 45167

SURAT REKOMENDASI UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN
DANA BANTUAN HIBAH DARI PEMERINTAH SAUDI ARABIA
Nomor : …………….. / ………. / ……. / ……….

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, berdasarkan surat keterangan dari Ketua Nadzir atas wakaf nomor : ………………….
yang berlokasi di Blok Desa Rt. 06 Rw. 02 Desa Gintung Kidul Kecamatan Ciwaringin yang menunjukan dana bantuan hibah dari Saudi Arabia untuk Pendirian Pendidikan dan sarana Pendidikan Islam. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciwaringin memberikan rekomendasi untuk mangajukan bantuan dana hibah dari Arab Saudi.
Adapun surat rekomendasi ini dimohon oleh :
Nama :
Tempat / Tanggal Lahir :
Jenis Kelamin :
Pekejaan :
Jabatan :
Atamat :
Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sebenarnya, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Cirebon, …………………….., 20….
KUA Kecamatan Ciwaringin
Kepala,

( .......................... )






DEPARTEMEN AGAMA
KANTOR URUSAN AGAMA
KECAMATAN CIWARINGIN – KABUPATEN CIREBON
Jl. Jend. Urip Sumoharjo No. 14 Ciwaringin Cirebon 45167


SURAT REKOMENDASI UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN
DANA BANTUAN HIBAH DARI PEMERINTAH SAUDI ARABIA
Nomor : …………….. / ………. / ……. / ……….

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, berdasarkan surat keterangan dari Ketua Nadzir atas wakaf nomor : ……………………..
yang berlokasi di Blok Desa Rt. 06 Rw. 02 Desa Gintung Kidul Kecamatan Ciwaringin yang menunjukan dana bantuan hibah dari Saudi Arabia untuk Pendirian Pendidikan dan sarana Pendidikan Islam. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciwaringin memberikan rekomendasi untuk mangajukan bantuan dana hibah dari Arab Saudi.
Adapun surat rekomendasi ini dimohon oleh :

Nama :
Tempat / Tanggal Lahir :
Jenis Kelamin :
Pekejaan :
Jabatan :
Atamat :

Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sebenarnya, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Cirebon, …………………….., 20….
KUA Kecamatan Ciwaringin
Kepala
( ........................... )




PEMERINTAH KABUPATEN CIREBON
KECAMATAN CIWARINGIN
DESA GINTUNG KIDUL
Jl. Ki Aris Desa Gintung Kidul Ciwaringin Cirebon 45167


SURAT IZIN MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN
Nomor : …………….. / ………. / ……. / ……….

Yang bertanda tangan dibawah ini Kepala Desa Gintung Kidul Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, tidak berkeberatan atau memberi ijin untuk Pendirian Pendidikan dan Sarana Pendidikan Islam tingkat Madrasah Tsanawiyah ( MTs ). Madrasah Mualimin dan Masjid yang berlokasi di di Blok Desa Rt. 06 Rw. 02 Desa Gintung Kidul Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat.
Adapun surat ijin melaksanakan pembangunan ini dimohon oleh :

Nama :
Tempat / Tanggal Lahir :
Jenis Kelamin :
Pekejaan :
Jabatan :
Atamat :


Demikian surat ijin melaksanakan pembangunan ini kami buat dengan sebenarnya, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Cirebon, …………………….., 20….
                                                                                                         Mengetahui,       Kepala Desa 
                                Camat Ciwaringin      Gintung Kidul
(.....................)  (......................)





DEPARTEMEN AGAMA
KANTOR URUSAN AGAMA
KECAMATAN CIWARINGIN – KABUPATEN CIREBON
Jl. Jend. Urip Sumoharjo No. 14 Ciwaringin Cirebon 45167


Cirebon, …………..…,20…..

Nomor : …………... / ……… / …. / ……
Perihal : SURAT KETERANGAN PERMOHONAN BANTUAN

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, berdasarkan surat keterangan dari Ketua Nadzir atas wakaf nomor : ……………………..
Perihal Rencana Pembangunan Sarana Ibadah dan Pendidikan Islam dan Surat Keterangan dari Desa Gintung Kidul Perihal Surat Ijin Melaksanakan Pembangunan
No :….. / ……….. / ….. / ……, Kami atas nama Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciwaringin tidak berkeberatan atas kegiatan amal tersebut. Dan kami mohon atas permohonan bantuan Kepala Nadzir kepada Yang Mulia Raja Abdullah Bin Abdul Aziz melalui Yang Mulia Bapak Duta Besar Saudi Arab Saudi mengabulkan permohonan tersebut.
Demikian surat keterangan ini kami buat dengan sebenarnya, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

KUA Kecamatan Ciwaringin
Kepala,


( .....................)

UUD BANK SYARIAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
b. bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
c. bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;
d. bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah;
Mengingat:
1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 3. Undang-Undang
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
3. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.
5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
6. Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
7. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
8. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
9. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
10. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
11. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya.
12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
13. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
14. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
15. Pihak Terafiliasi adalah:
a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
b. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum; dan/atau
c. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS.
17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
21. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
22. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.
23. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
24. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
25. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
26. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.
27. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.
28. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.
29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hokum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hokum
30. .Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hokum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
31. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut.
32. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Pasal 4
1. Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
2. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi social dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
3. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
4. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR,
DAN KEPEMILIKAN

Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 5
1. Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.
2. Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. kelayakan usaha.
3. Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.
4. Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama banknya.
5. Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
6. Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia.
7. Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional.
8. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat.
9. Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.
Pasal 6
1. Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
2. Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenisjenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
3. Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.
Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum
Pasal 7
Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.
Bagian Ketiga
Anggaran Dasar
Pasal 8
Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan memuat pula ketentuan:
a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;
b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah
Pasal 9
1. Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hokum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau
c. pemerintah daerah.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hokum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga Negara Indonesia;
b. pemerintah daerah; atau
c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
3. Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 10 ...
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 11
Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 12
Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
Pasal 13
Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 14
1. Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hokum Indonesia, atau badan hukum asing dapat memiliki atau membeli saham Bank Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
1. UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia.
2. Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 17
1. Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank Indonesia.
2. Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.
3. Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN
LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS
Bagian Kesatu
Jenis dan Kegiatan Usaha
Pasal 18
Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal 19
1. Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Kegiatan usaha UUS meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
1. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pension berdasarkan Prinsip Syariah;
e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan
i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
2. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan
f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan
2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’;
3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
5. pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan
e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 22
Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur dalam undang-undang lain.
Bagian Kedua
Kelayakan Penyaluran Dana
Pasal 23
1. Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
2. Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas.
Bagian Ketiga
Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS
Pasal 24
1. Bank Umum Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
2. UUS dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
Pasal 25
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia;
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah;
e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan
f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 26
1. Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
2. Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
3. Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
4. Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB V
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS,
DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,
DAN TENAGA KERJA ASING
Bagian Kesatu
Pemegang Saham Pengendali
Pasal 27
1. Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
2. Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen).
3. Dalam hal pemegang saham pengendali tidak menurunkan kepemilikan sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka:
a. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham;
b. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya Rapat Umum Pemegang Saham;
c. deviden yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham pengendali paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah pemegang saham pengendali tersebut mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
d. nama pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Dewan Komisaris dan Direksi
Pasal 28
Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 29
1. Dalam jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 wajib terdapat 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 30
1. Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
2. Uji kemampuan dan kepatutan terhadap komisaris dan direksi yang melanggar integritas dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh Bank Indonesia.
3. Komisaris dan direksi yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib melepaskan jabatannya.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 31
1. Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi dapat mengangkat pejabat eksekutif.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 32
1. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 33
1. Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing.
2. Tata cara penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,
DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH
Bagian Kesatu
Tata Kelola Perbankan Syariah
Pasal 34
1. Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.
2. Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Prinsip Kehati-hatian
Pasal 35
1. Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
2. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
3. Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
4. Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
5. Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 36
Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.
Pasal 37
1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
2. Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor Bank Syariah;
b. anggota dewan komisaris;
c. anggota direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf
e. huruf b, dan huruf c;
f. pejabat bank lainnya; dan
g. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
4. Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Bagian Ketiga
Kewajiban Pengelolaan Risiko
Pasal 38
1. Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 39
Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.
Pasal 40
1. Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
2. Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
3. Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB VII
RAHASIA BANK
Bagian Kesatu
Cakupan Rahasia Bank
Pasal 41
Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
Bagian Kedua
Pengecualian Rahasia Bank
Pasal 42
1. Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak.
2. Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus yang dikehendaki keterangannya.
Pasal 43
1. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan atau Investasi tersangka atau terdakwa pada Bank.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, atau pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
3. Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan penyidik, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan, dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 44
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43.
Pasal 45
Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 46
1. Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi Bank dapat memberitahukan keadaan keuangan Nasabahnya kepada Bank lain.
2. Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 47
Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut.
Pasal 48
Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut.
Pasal 49 ...
Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 50
Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 51
1. Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS.
2. Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 52
1. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
2. Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
3. Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang:
a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank;
b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank; dan
c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.
4. Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Pasal 53
1. Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
2. Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 54
1. Dalam hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan antara lain:
a. membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham;
b. meminta pemegang saham menambah modal;
c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah;
d. meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;
e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain;
f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya;
g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain; dan/atau
h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain.
2. Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dialami Bank Syariah, Bank Indonesia menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke Lembaga Penjamin Simpanan untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan.
3. Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diselamatkan, Bank Indonesia atas permintaan Lembaga Penjamin Simpanan mencabut izin usaha Bank Syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4. permintaan Bank Syariah, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah dimaksud menyelesaikan seluruh kewajibannya.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 55
1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 56
Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 57
1. Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44.
2. Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank.
Pasal 58
1. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini adalah:
a. denda uang;
b. teguran tertulis;
c. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;
d. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;
f. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
g. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau
h. pencabutan izin usaha.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 59
1. Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
2. Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.
Pasal 60
1. Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS, atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
2. Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 61
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 62
1. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 63
1. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
2. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:
1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;
2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya;
3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS; dan/atau
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 64
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 65
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 66
1. Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat;
b. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris;
c. memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau
d. tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang berlaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2. Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
1. Bank Syariah atau UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini.
2. Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini paling lama 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 68
1. Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi Bank Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 70
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 94

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho