Minggu, 21 Agustus 2011

DISKRIMINASI GENDER

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. Stratifikasi Gender Secara umum status wanita bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainya.
Dalam banyak kebudayaan, wanita merupakan subordinat dalam hubungannya dengan pria. Di sisi lain, hubungan antar gender lebih bersifat egaliter. Para ilmuwan sosial secara umum setuju bahwa stratifikasi gender hedir dalam batasan tertentu dalam setiap masyarakat, tapi hanya terdapat sedikit persetujuan mengenai bagaimana mengukur status pria dan wanita karena stratifikasi gender melibatkan banyak komponen berbeda yang bervariasi. Kesulitan lain dalam mendefinisikan status wanita adalah karena status mereka tidak bersifat statis. Pada sejumlah masyarakat tertentu, status hubungan antara pria dan wanita berfluktuasi seiring dengan perubahan situasi politik.

A. EKSPLOITASI AKIBAT IDIELOGI GENDER
Dominasi pria secara universal disebabkan oleh apa yang kita sebut sebagai ideologi gender, yang bisa kita deskripsikan sebagai sistem pemikiran dan penilaian yang melegitimasi peranan gender, status, dan perlakuan sehari-hari. Di banyak belahan dunia, devaluasi nilai wanita telah berlangsung sejak awal. Kelahiran seorang bayi laki-laki dipenuhi oleh kebahagiaan dan sorak-sorai, namun kelahiran bayi perempuan disambut oleh kesunyian.
Dalam banyak masyarakat patrilineal, anak laki-laki memiliki nilai yang begitu tinggi karena ia akan memberikan kontribusi dalam keberlangsungan garis silsilah. Meskipun terdapat juga sedikit masyarakat yang lebih mengutamakan anak pe rempuan, namun yang lebih dominan adalah mengutamakan anak laki-laki.
Dari perspektif lintas budaya, jelas bahwa kekerasan terhadap wanita mencuat di seluruh bagian dunia. Hasil riset PBB menunjukkan bahwa kekerasan fisik terhadap perempuan oleh partner intim mereka di seluruh dunia bervariasi dari mulai tingkat rendah pada level 17% di Selandia Baru, 28% di Amerika Serikat, sampai 60% di Sri Lanka, Ekuador, Dan Tanzania. Kita tidak perlu melihat statistik tambahan bahwa ideologi bias gender bisa mengakibatkan konsekuensi negatif, bahkan berbahaya bagi pihak subordinat.

B. IDENTITAS GENDER
Identitas gender merupakan perasaan seseorang menjadi laki-laki atau perempuan, dan mendeskripsikan perasaan seseorang akan sifat kelaki-lakiannya atau kewanitaanya. Peran gender merupakan bagian dari identitas seseorang. Masyarakat mempunyai peran penting dalam perkembangan identitas gender. Begitu bayi lahir langsung memiliki identitas gender. Diberikan baju dan mainan tertentu. Selain itu respon orang dewasa terhadap anak laki-laki dan perempuan berbeda tergantung pada cara dia di besarkan dan gaya mengasuh anak. Ketika anak tumbuh, ia menyatukan informasi dari masyarakat dan dari persepsi tentang dirinya untuk membangun identitas gender. Pada usia tiga tahun, anak tahu tentang dirinya sendiri, sebagai anak perempuan atau anak laki-laki. Mereka juga tahu bahwa tidak akan dapat mengubah seks dengan mengubah penampilannya. Josselyn (1969), mengemukakan bahwa sumber utama identitas seksual yang menentukan konsep seseorang akan dirinya dan orang lain sebagai wanita/pria tergantung dari :
• Ciri biologis yang di turunkan
• Konsep dan peran gender

C. PERAN GENDER
Peran gender merupakan ekspresi publik tentang identitas gender. Hampir semua ahli sosial yakin bahwa pengaruh sosial (orang tua, teman seusia dan media) merupakan kekuatan perkembangan utama dalam pembelajaran atau peran gender. Selain itu peran gander juga dapat dipelajari dari lingkungan individu berada, termasuk di sekolah dan di rumah. Pembelajaran formal tentang informasi spesifik tentang organ seksual, perubahan tubuh sehubungan dengan puberitas dan keinginan untuk menunda hubungan seksual sampai seseorang dianggap dewasa untuk melakukan hubungan seksual. Pembelajaran yang paling berpengaruh melalui sistem nilai seksual dalam keluarga dan masyarakat. Anak mendapatkan sikap tentang suatu nilai tersebut sejak dini. Sering kali pola ini melibatkan represi dan menghindari topik seksual yang dianggap sebagai pengalaman negatif. Sumber pembelajaran yang juga berpengaruh, adalah berbagai lambang dan diskusi dengan teman sebaya. Meskipun demikian tidak sepenuhnya peran gender merupakan ciri masyarakat. Walaupun demikian, ada perbedaan prilaku anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, bahkan semenjak masih bayi. Diperkirakan hormon seks mempunyai pengaruh pada otak dan prilaku. Peran gender merupakan area seksualitas yang tumbang tindih antara komponen psikologis, biologis dan sosiokultural.
Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di tengah masyarakat kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan memang bukan baru-baru saja tetapi sudah sejak zaman dulu.
Terlepas dari pembahasan di atas, perdebatan mungkin muncul lebih karena anggapan akan stereotype dari masyarakat bahwa akan ada akibat yang timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah yaitu ³mengganggu´ keharmonisan yang telah berlangsung selama ini. Bagaimanapun, tentu saja memang akan ada dampak yang timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah. Namun solusi yang diambil tidak semestinya membebankan istri dengan dua peran sekaligus yaitu peran mengasuh anak (nursery) dan mencari nafkah di luar rumah (provider), yang akan lebih membawa perempuan kepada beban ganda, akan tetapi adanya dukungan sistem yang tidak terus membawa perempuan pada posisi yang dilematis.
Norma yang berlaku dewasa ini kerja reproduksi adalah tanggung jawab perempuan. Atas nama tradisi dan kodrat, perempuan dipandang sewajarnya bertanggung jawab dalam arena domestik. Institusi pendidikan, agama, media massa, mendukung pula pandangan ini. Jarang yang mempertanyakan secara terbuka kodrat´ tersebut. Lebih jarang lagi yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga.
Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam kerja produksi tidak mengurangi beban tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata lain, tidak mengundang laki-laki untuk berkontribusi lebih besar dalam kerja reproduksi. Kerja perempuan terutama di sektor reproduksi tidak pernah diperhitungkan dalam data perekonomian dan statistik. Jika kerja tersebut diperhitungkan, niscaya akan mematahkan mitos laki-laki adalah pencari nafkah utama´.
Sebenarnya di banyak tempat, terjadi perendahan´ terhadap kerja reproduksi biologis perempuan, meskipun perempuan telah mencurahkan begitu banyak waktu dan energi. Contohnya pernyataan ³buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti juga ke dapur´ atau si X (perempuan) mah paling juga kawin terus ngurus anak´.
Di sektor publik sering kali sistem yang ada tidak mendukung´ perempuan (dan laki-laki) bekerja untuk dapat pula melakukan kerja reproduksi secara optimal sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana penitipan anak di tempat k erja, dan kesulitan perempuan bekerja untuk menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata. Meskipun cuti melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa rugi memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara lain dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan laki laki atau karyawan perempuan lajang.
Situasi di sektor publik sering pula tidak ramah keluarga, baik terhadap karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosan dan inefiesiensi. Berkomitmen tinggi terhadap anak dan keluarga dipandang tidak kompatibel dengan dunia kerja.
Ternyata, kerja reproduksi yang sebagian besar dilakukan perempuan berperan sangat penting guna keberlanjutan suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Perlu perbaikan sistem sosial secara menyeluruh agar jangan sampai suatu bangsa atau lebih parah lagi umat manusia punah, hanya karena berkeluarga dan memiliki anak menjadi semakin tidak menarik. Sangat penting pula demokratisasi institusi keluarga, termasuk di dalamnya peningkatan peran serta laki-laki dalam kerja reproduksi dalam rumah tangga.
Berkaitan dengan masalah perempuan bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, pun sesungguhnya sudah lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah. Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara di perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan. Di luar konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan. Data sensus penduduk tahun 1990 menunjukan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, diikuti oleh sektor perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%.

Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan di sektor manapun selalu nampak dicirikan oleh skala bawah´ dari pekerjaan perempuan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri tekstil, garmen, sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha kecil seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, adalah jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan.
Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah kecenderungan perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi kerja buruk dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, bekerja di sektor publik kebanyakan atas dasar dorongan kebutuhan ekonomi. Sedangkan bagi perempuan di kelas menengah ke atas, bekerja bagi mereka adalah bagian dari aktualisasi diri.
Bagi perempuan kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar. Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih terjadi.
Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender adalah segala aturan, nilai, stereotip, yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin (Ratna Saptari dalam Andria dan Reichman, 1999: 9). Karena tugas utama perempuan adalah di sektor domestik, maka pada saat ia masuk ke sektor publik ³sah -sah´ saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya sebagai sampingan´ untuk membantu´ suami.
Persoalannya, generalisasi bahwa semua perempuan bekerja hanya untuk µmembantu suami´ atau semua perempuan bekerja hanya sebagai kegiatan sampingan´ banyak tidak terbukti validitasnya.
Bagi perempuan miskin, dalam situasi krisis ekonomi, banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama keluarga atau bersama-sama suami memberikan kontribusi finansial hingga 50% dari total penghasilan keluarga, atau bahkan lebih. Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskiriminasi upah adalah pemilik modal yang dapat menekan biaya produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja. Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarkis yang dominan.
Hal ini diindikasikan dengan minimnya jumlah perempuan yang menduduki posisi pengambil keputusan dan posisi strategis lainnya baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Meskipun persentase perempuan lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia, namun perempuan yang menjadi anggota parlemen hanya 7-8% dari total anggota parlemen. Demikian pula dapat dihitung dengan jari, jumlah perempuan yang menduduki jabatan struktural, bupati, walikota, menteri, dll.

A. Faktor diskriminasi dibidang hukum dan politik
Faktor penyebab diskriminasi kondisi dan posisi perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang bias gender karena dalam bidang hukum masih banyak dijumpai substansi, struktur, dan budaya hukum yang diskriminatif gender. Jumlah peraturan perundang-undangan yang diskrimintaif terhadap perempuan berjumlah kurang lebih 32 buah.
Faktor penyebab diskriminasi gender pada aspek lain misalnya politik sebagai berikut: hasil Pemilu tahun 1999 yang menyertakan 57% pemilih perempuan hanya terwakili 8,8% dari seluruh anggota DPR, lebih rendah dari hasil pemilu 1997 yang berjumlah 11,2% dari jumlah pemilih 51%, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002). Pemilu 2004 perempuan hanya terwakili 11%.
Jumlah perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung dan Hakim Yustisial Non Struktural di Mahkamah Agung juga menunjukkan penurunan dari 36 pada tahun 1998 menjadi 34 pada tahun 1999, dan 28 pada tahun 2002, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002-Bab7).
Pada tahun 1999 jumlah PNS perempuan adalah 36,9%, laki-laki sebesar 63,1% dari jumlah seluruh PNS (4.005.861), dan dari jumlah tersebut hanya 15,2% PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,8%. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit perubahan dimana jumlah PNS perempuan adalah 37,6%, laki-laki sebesar 62,4% dari jumlah seluruh PNS (3.927.146), dan dari jumlah tersebut hanya 15,7% yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3%. (Statitik dan Indikator Gender, BPS, 2000).
Masalah HAM bagi perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.
Faktor penyebab diskriminasi gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.
Adanya diskriminasi pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki tanpa diskriminasi. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faqih dalam Achmad M. menyatakan, diskriminasi gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, diskriminasi gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe/pelabelan negative sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manisfestasi diskriminasi gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33, 2001).

B. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Akibat Diskriminasi Gender
1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender Proses
Marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya menggunakan sabit. Contoh-contoh marginalisasi:
• Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki; Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani;
• Usaha konveksi lebih suka menyerap tenaga perempuan; Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan;
• Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti guru taman kanak-kanak´ atau sekretaris´ dan ³perawat´.
2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
3. Pandangan stereotipe
Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai ³ibu rumah tangga´ merugikan, jika hendak aktif dalam ³kegiatan laki-laki´ seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4. Kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.
Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan. 5. Beban Ganda Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.

C. Upaya-Upaya Dan Usaha Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Rangka Penghapusan Diskriminasi Gender
Upaya penghapusan diskrinimasi dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.
Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.
Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan
Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indik ator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).
Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama) agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-bedakan. (Zaitunah Subhan, hal. 1718, 2001)
Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai histories perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan pe rempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam meghapus diskriminasi gender merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan.
Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan.
Selanjutnya Propenas telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana Pembangunan tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001). Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2001-2004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender harus menjadi komitmen bersama.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegiatan Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and Population Policies and Programmes.
Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi dan kependudukan.
Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi kan PUG di sektor strategis, propinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain:
• Program Pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan, serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan und angundang yang masih bias gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
• Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;
• Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender; Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway (G AP); dan Problem Base Analysis (PROBA).
• Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan gender dan jaringan informasi dengan website;
• Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi; Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota; Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.