Rabu, 27 Juli 2011

ILUSI NEGARA ISLAM

PROLOG
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif


Sebenarnya Dari segi jumlah, tidak ada yang harus dirisaukan te­ntang masa depan Islam di Indonesia. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat bahwa jumlah umat Islam di nege ri ini berada pada angka 88,22%, sebuah persentase yang tinggi sekali. Begitu juga orang lain tidak perlu cemas membaca angka statistik itu, karena dua sayap besar umat Islam, NU dan Muhammadiyah, sudah sejak awal bekerja keras untuk mengembangkan sebuah Islam yang ramah terhadap siapa saja, bahkan terhadap kaum tidak beriman sekalipun, selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan. Tetapi bencana bisa saja terjadi bila pemeluk agama kehilangan daya nalar, kemudian menghakimi semua orang yang tidak sefaham dengan aliran pemikiran mereka yang monolitik.
Contoh dalam berbagai unit peradaban umat manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit untuk dicari. Darah pun sudah banyak tertumpah akibat penghakiman segolongan orang terhadap pihak lain karena perbedaan penafsiran agama atau ideologi.
Dalam sejarah Islam pun, kelompok yang merasa paling sahih dalam ke­imanannya juga tidak sulit untuk dilacak. Jika sekadar merasa paling benar tanpa m­nghukum pihak lain, barangkali tidaklah terlalu berbahaya. Bahaya akan muncul bilamana ada orang yang mengatasnamakan Tuhan, lalu menghukum dan bahkan membinasakan keyakinan yang berbeda. Dalam bacaan saya, dalam banyak kasus, al-Qur'an jauh lebih toleran dibandingkan dengan sikap segelintir Muslim yang intoleran terhadap perbedaan. Fenomena semacam ini dapat dijumpai di berbagai negara, baik di negara maju, mau pun di ne­gara yang belum berkembang, tidak saja di dunia Islam.
Apa yang biasa dikategorikan sebagai golongan fundamentalis berada dalam kategori ini. Di Amerika misalnya kita mengenal golongan fundamentalis Kristen yang di era Presiden George W. Bush menjadi pendukung utama rezim neoimperialis ini. Di dunia Islam, secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan.Yang paling ekstrem di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perang kap terorisme.
Ada beberapa teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan meng hadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk "menghibur diri" dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika se­kadar "menghibur," barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah larut dalam modernitas. Golongan penentang ini tidak kurang kritikalnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, se­kali- pun tidak selalu berhasil.
Teori lain mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di berbagai negara Muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq. Perasaan solider ini sesungguhnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas yang sejauh mungkin menghindari kekerasan dan tetap mengibarkan panji-panji perdamaiaan, sekalipun peta penderitaan umat di kawasan konflik itu sering sudah tak tertahankan lagi.
Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang relatif aman, kemunculan kekuatan fundamentalisme, dari kutub yang lunak sampai kekutub yang paling ekstrem (terorisme), sesungguhnya berada di luar pe­nalaran.
Kita ambil misal praktik bom bunuh diri sambil membunuh manusia lain (kasus Bali, Marriot, dan lain-lain), sama sekali tidak bisa difahami. Indonesia bukan Palestina, bukan Kashmir, bukan Afghanistan, dan bukan Iraq, te­tapi me­ngapa praktik biadab itu dilakukan di sini?
Teori ketiga, khusus untuk Indonesia, maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang masih menggurita adalah bukti nyata dari kegaglan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini.
Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan: melaksanakan syari'at Islam me­lalui ke­kuasaan. Jika secara nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Perda-Perda (Peraturan Daerah). Dibayangkan dengan pelaksanaan syar'ah ini, Tuhan akan meridhai Indo­ne­sia. Anehnya, semua kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya. Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu hal: bagi mereka bentrokan antara teori dan praktik tidak menjadi persoalan. Dalam ungkapan lain, yang terbaca disini adalah ketidakjujuran dalam berpolitik. Secara teori demokrasi di haramkan, dalam praktik digunakan, demi tercapainya tujuan.
Akhirnya, saya menyertai keprihatinan kelompok kelompok fundamentalis tentang kondisi Indonesia yang jauh dari keadilan, tetapi caracara yang mereka gunakan sama sekali tidak akan semakin mendekatkan negeri ini kepada cita-cita mulia kemerdekaan, malah akan membunuh cita-cita itu di te­ngah jalan. Masalah Indonesia, bangsa Muslim terbesar di muka bumi, tidak mungkin dipecahkan oleh otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas, kadang-kadang dalam bentuk kekerasan. Saya sadar bahwa demokrasi yang sedang dijalankan sekarang ini di Indonesia sama sekali belum sehat, dan jika tidak cepat dibenahi, bisa menjadi sumber malapetaka buat sementara. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain, kecuali melalui sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.

Jogjakarta, 18 Pebruari 2009



PENGANTAR EDITOR
MUSUH DALAM SELIMUT
KH. Abdurrahman Wahid


Buku yang sedang anda baca ini Merupakan hasil penelitian yang berlangsung lebih dari dua tahun dan dilakukan oleh Lib For All Foundation, sebuah institusi non pemerintah yang memperjuangkan terwujudnya kedamaian, kebebasan, dan toleransi di seluruh dunia yang diilhami oleh warisan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Secara formal, kami bersama C. Holland Taylor adalah pendiri-b­rsama LibF or All Foundation, dan bersama-sama dengan KH. A. Mustofa Bisri, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, Sye­ikh Musa Admani, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Dr. Sukardi Rinakit, dan Romo Franz Magnis Suseno menjadi Penasehat Lib For All Foundatin. Dalam kunjungan CEO Lib For All Foundation ke Mesir pada akhir Mei 2008, Syeikh al Akbar al Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi juga menyatakan kesediaannya untuk menasehati Lib For All Foundation dalam usaha menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil-'âlamîn. Dan sebenarnya, siapa pun di seluruh dunia yang berhati baik, berkemauan baik, dan punya perhatian kuat pada usaha-usaha mewujudkan kedamaian, kebebasan, dan toleransi, secara kultural adalah keluarga Lib For All Foundation.
Dalam usaha dimaksud, Lib For All Foundation selalu mengutamakan pendekatan spiritual untuk menumbuhkan kesadaran yang mampu mendorong transformasi individual maupun sosial. Hal ini didasari kenyataan bahwa ketegangan batiniah antara roh dan hawa nafsu berdampak pada aktivitas lahiriah. Bahkan, ketegangan batiniah ini kerap memicu konflik-konflik lahiriah, baik antarindividu maupun sosial. Dalam konteks inilah, sabda Kanjeng Nabi Muhammad saw. ke­pada para sahabat, "Raja'nâ min jihâd al-ashghar ilâ jihâd al akbar" (Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar), sepulang dari perang Badr menjadi sangat penting untuk kita renungkan. Mendengar pernyataan tersebut, para sahabat sangat terkejut. Mereka bertanya-tanya, perang (qitâl) apa lagi yang lebih dahsyat. Rasulullah saw. menjelaskan, "Pe­rang me­lawan hawa nafsu." Para sahabat terdiam, sadar betapa berat dan sulit melawan musuh di dalam diri. Selain sulit diidentifikasi, melawan musuh dalam selimut juga menuntut ketegasan dan ketegaran emosional karena ia merupakan bagian tak terpisahkan dari diri setiap orang.
Hawa nafsu adalah suatu kekuatan yang selalu menyimpan potensi destruktif dan membuat jiwa selalu resah, gelisah, dan tidak pernah tenang. Para ulama kerap membandingkan hawa nafsu dengan binatang liar. Siapa pun yang telah menjinakkan hawa nafsunya, dia akan tenang dan mampu menggunakan nafsunya untuk melakukan aktivitas dan/atau mencapai tujuan-tujuan luhur. Sebaliknya, siapa pun yang masih dikuasai hawa nafsunya, dia akan selalu gelisah dan ditunggangi oleh hawa nafsunya, dia membahayakan dirinya dan orang lain.
Dari perspektif ini ada dua kategori manusia: Pertama, orang- orang yang sudah mampu menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa membe­ri manfaat kepada siapa pun. Mereka adalah pribadi- pribadi yang tenang dan damai (al-nafs al-muthmainnah) dan menjadi representasi kehadiran spiritualitas, khalîfat Allah yang sebenarnya (dalam konteks Mahabharata, para Pandawa). Kedua, mereka yang masih dikuasai hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapa pun. Mereka adalah pribadi-pribadi gelisah dan menjadi biang kegelisahan sosial dan pembuat masalah (al nafs al lawwâmah) dan menjadi representasi kehadiran hawa nafsu, orang-orang musyrik yang sebenarnya (dalam konteks Mahabharata, para Kurawa). Kedua kelompok ini hadir dalam ber bagai tingkat realitas dan interaksi sosial dengan intensitas yang beragam. Dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; dalam bidang pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik; dalam urusan pribadi hingga kelompok, dan sebagainya.
Pada kenyataannya, pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara lain seperti pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafirmusyrik di Hijaz. Namun satu hal yang unik di Nusantara adalah, sekalipun pertentangan semacam ini terjadi berulang ulang sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan di tanah air kita. Prinsip "Bhinneka Tunggal Ika" Mpu Tantular misalnya, telah mengilhami para penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini; dan Sunan Kalijogo yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Melalui para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing Alogo­, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur tersebut yang manfaatnya tetap bisa kita nikmati hingga de­wasa ini.
Di Indonesia modern pun kita menyaksikan kehadiran jiwa- jiwa yang tenang (al nafs al muthmainnah) ini antara lain dalam proses kelahiran dan tumbuhnya kesadaran kebangsaan kita, khususnya dalam dialog antara Islam dan nasionalisme Indonesia. Memang tidak banyak yang tahu salah satu penggalan sejarah konseptual ke­bangsaan kita. Sejak tahun 1919, tiga sepupu secara intensif mulai membicarakan hubungan antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme. Mereka adalah H. O. S. Tjokroaminoto, KH. Hasjim Asy'ari, dan KH. Wahab Chasbullah. Belakangan, menantu Tjokroaminoto, Soekarno yang ketika itu baru berusia 18 tahun, terlibat aktif dalam pertemuan mingguan yang berlangsung bertahun-tahun tersebut. Kesadaran kebangsaan inilah yang diwarisi oleh generasi berikutnya, seperti Abdul Wahid Hasjim (putra KH. Hasjim Asy'ari), KH. A. Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo Sugito (tokoh Ahmadiyah).
Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk tidak mendukung terb­ntuknya Negara Islam melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami dan sekaligus membolehkan pendirian negara bangsa. Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh Muslim Nusantara yang terlibat dalam proses kem­rdekaan menerima konsep Negara Pancasila yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin organisasi organisasi Islam ketika itu menerima gagasan Soekarno tersebut. Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Soekarnodan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah negara bangsa yang mengakui dan melindungi keragaman budaya, tradisi, dan keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Gagasan negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan mengalami peradaban- peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam selama masa kerajaan Sriwijaya, Sailendra, Mataram I, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Aceh, Makasar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran tentang siginifikansi melestarikan kekayaan dan kragaman budaya dan tradisi bangsa. Sementara pada sisi yang lain, dialog terusmenerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya, dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.
Dengan segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang harus kita sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat konflik yang te­rjadi antara lainatas nama agama. Para ulama seperti AbikusnoTjokrosujoso, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting Pendiri Bangsa lainnya, sadar bahwa ne­gara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Para Pendiri Bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqâshid al-syarî'ah, yaitu kemaslahatan umum (al ashlahat al âmmah, the common good). Dengan ke­sadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk ya (rahmatan lil âlamîn) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang pertama.
Memang ada relasi fluktuatif antara agama (c.q. Islam) dengan nasionalisme (c.q. Pancasila). Ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam melalui konstitusi (misalnya dalam Majlis Konstituante) dan lainnya melalui ke­kuatan senjata (seperti dalam kasus DI/TII). Namun selalu ada mayoritas bangsa Indonesia (Muslim dan nonMuslim) yang setuju dengan Pancasila dan memperjuangkan gagasan para Pendiri Bangsa. Semua ini menjadi pelajar-an sangat berharga bagi ke­sadaran tentang pentingnya bangunan negara bangsa. Sikap ormas-ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah misalnya, maupun parpol-parpol berhaluan kebangsaan yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 me­rupakan bentuk final dan konsensus nasional bangunan kebangsaan kita, bukanlah sikap oportunisme politik melainkan kesadaran sejati yang didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi bangsa kita sendiri serta substansi ajaran agama yang kita yakini kebenarannya.
Sikap nasionalis ini juga merupakan suatu bentuk tanggung jawab untuk menjamin masa depan bangsa agar tetap be­rjalan sesuai dengan budaya dan tradisi Nusantara, dan sesuai pula dengan nilai-nilai substantif ajaran agama yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Sikap para tokoh nasionalis religius yang berjuang mempertahankan bangunan kebangsaan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini bisa disebut sebagai kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al afs al uthmainnah), pribadi-pribadi yang terus berusaha untuk memberi manfaat sebanyak mungkin kepada siapa pun tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dan dengan cara demikian mereka berjuang keras mewujudkan kasihsayang (rahmat) bagi semua makhluk.
Sikap serupa tidak tampak pada beberapa ormas maupun parpol yang bermunculan menjelang dan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Mereka mengingatkan kita pada gerakan Darul Islam (DI), karena seperti DI, mereka juga berusaha mengubah negara bangsa menjadi negara agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan Islam versi mereka, atau bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah.
Tentang klaim-klaim implisit para aktivis garis keras bahwa mereka se­pe­nuhnya memahami maksud kitab suci, dan karena itu mereka berhak menjadi wakil Allah (khalîfat Allâh) dan menguasai dunia ini untuk memaksa siapa pun mengikuti pemahaman 'sempurna' mereka, sama sekali tidak bisa diterima baik secara teologis maupun politis. Mereka benar bahwa kekuasan hanya milik Allah swt. (lâ hukm illâ li Allâh), tetapi tak seorang pun yang sepenuhnya memahami kekuasaan Allah swt. Karena itu Nabi be­rsabda, "[K]alian tidak tahu apa se­be­narnya hukum Allah." Ringkasnya, sekalipun didasarkan pada al-Qur'an dan sunnah, fiqh yang lazim digunakan sebagai justifikasi teologis kekuasaan oleh mereka sebenarnya adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan tempat, waktu, dan kemampuan penulis fiqh yang bersangkutan.
Tidak sadar atau mengabaikan prinsip-prinsip ini, para aktivis garis keras berjuang mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Pada gilirannya, Islam menjadi dalih dan senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang pandangan politik dan pemahaman keagamaannya berbeda dari mereka. Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemas an dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapa pun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam. Padahal jelas tidak demikian.
Pada saat yang sama, dengan dalih memperjuangkan dan membela Islam, mereka berusaha keras menolak budaya dan tradisi yang selama ini telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia, mereka ingin menggantinya dengan budaya dan tradisi asing dari Timur Tengah, terutama kebiasaan Wahabi-Ikhwanul Muslimin, semata karena mereka tidak mampu membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan. Mereka selalu bersikap keras dan tak kenal kompromi seolah-olah dalam Islam tidak ada perintah ishlah, yang ada hanya paksaan dan kekerasan. Karena sikap seperti itu maka mereka populer disebut sebagai kelompok garis keras.
Kita harus sadar bahwa jika Islam diubah me­njadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik. Pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka, dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan. Dalam bingkai inilah aksi-aksi pangkafiran mau pun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku.
Pada umumnya aspirasi ke­lompok-kelompok garis ke­ras di Indonesia dipengaruhi oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah, terutama yang berpaham Wahabi atau Ikhwanul Muslimin, atau gabungan keduanya. Kelompok-kelompok garis keras di Indonesia, termasuk partai politiknya, menyimpan agenda yang berbeda dari ormas-ormas Islam moderat seperti Muhammadiyah, NU, dan partai-partai berhaluan kebangsaan. Dalam beberapa tahun terakhir sejak kemunculannya, kelompok-kelompok garis keras telah "berhasil" mengubah wajah Islam Indonesia mulai menjadi agresif, be­ringas, into­le­ran, dan pe­nuh ke­be­ncian. Padahal, selama ini Islam Indonesia dikenal lembut, toleran dan penuh kedamaian
Kelompok-kelompok garis keras berusaha merebut simpati umat Islam dengan jargon memperjuangkan dan membela Islam, dengan dalih tarbiyah dan dakwah amar ma'rûf nahy munkar. Jargon ini sering memperdaya banyak orang, bahkan mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun, semata karena tidak terbiasa berpikir tentang spiritualitas dan esensi ajaran Islam.Mereka mudah terpancing, terpesona dan tertarik dengan simbol-simbol ke­agamaan.
Sementara kelompok-kelompok garis keras sendiri memahami Islam tanpa mengerti substansi ajaran Islam sebagaimana dipahami oleh para wali, ulama, dan Pendiri Bangsa. Pemahaman mereka tentang Islam yang telah dibingkai oleh batasan-batasan ideologis dan platform politiknya tidak mampu melihat, apalagi memahami, kebenaran yang tidak sesuai dengan batasan-batasan ideologis, tafsir harfiah, atau platform politik mereka. Karena terbatasnya kemampuan memahami inilah maka mereka mudah menuduh kelompok lain yang berbeda dari mereka atau tidak mendukung agenda mereka sebagai kafir atau murtad.
Terkait dengan pengikutnya, ada orang-orang yang bergabung dan mendukung garis keras karena mereka terpesona dan tertarik dengan simbo­l-simbol kegamaan yang dikampanyekan tokoh-tokoh garis keras. Pada sisi yang lain, ada orang-orang yang memang secara sengaja memperdaya masyarakat dengan meneriakkan simbol-simbol ke­agamaan demi memuaskan agenda hawa nafsu mereka. Kita harus berusaha mengajak dan mengilhami masyarakat untuk rendah hati, terus belajar dan bersikap terbuka agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran Islam, dan menjadi jiwa-jiwa yang tenang. Lebih dari itu, sebagai bangsa kita harus sadar bahwa apa yang para aktivis garis keras lakukan dan perjuangkan sebenarnya bertentangan dengan dan mengancam Pancasila dan UUD 1945, dan bisa menghancurkan NKRI. Aksi-aksi anarkis, pengkafiran, pemurtadan, dan berbagai pembunuhan karakter lainnya yang sering mereka lakukan adalah usaha untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Kami sudah sering dituduh kafir dan murtad, tetapi kami tetap tenang-tenang saja. Ke­o­mpok-kelompok garis keras mengukur kebenaran pemahaman agama secara ideo­ogis dan politis, sementara kami mendasarkan pemahaman dan praktik keagamaan kami pada semangat rahmat dan spiritual yang terbuka. Kami berpedoman pada paham Ahlussunnah wal Jamâ'ah, sementara mereka mewarisi kebiasaan ekstrem Khawârij yang gemar mengkafirkan dan memurtadkan siapa pun yang berbeda dari mereka, kebiasaan buruk yang dipelihara oleh Wahabi dan kaki tangannya
Karena kelompok-kelompok garis keras menganggap setiap Muslim lain yang berbeda dari mereka sebagai kurang Islami, atau bahkan kafir dan murtad, maka mereka melakukan infiltrasi kemasjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta, dan ormas-ormas Islam moderat, teruta-ma Muhammadiyah dan NU, untuk mengubahnya menjadi keras dan kaku juga. M­reka mengklaim memperjuangkan dan membela Islam, padahal yang dibela dan diperjuangkan adalah pemahaman yang sempit dalam bingkai ideologis dan platform politik mereka, bukan Islam itu sendiri. Mereka berusaha keras menguasai Muhammadiyah dan NU karena keduanya merupakan ormas Islam yang kuat dan te­rbanyak pengikutnya. Selain itu, kelompok-kelompok ini menganggap Muhammadiyah dan NU sebagai penghalang utama pencapaian agenda politik mereka, karena keduanya sudah lama memperjuangkan substansi nilai-nilai Islam, bukan formalisasi Islam dalam bentuk negara maupun penerapan syariat sebagai hukum positif.
Infiltrasi kelompok garis keras ini telah menyebabkan kegaduhan dalam tubuh ormas-ormas Islam besar tersebut. Dalam konteks inilah kami ingat pada pertarungan tanpa henti dalam diri manusia (insân shaghîr), yakni pertarungan antara jiwa-jiwa yang tenang (al nafs al muthmainnah) melawan hawa nafsu (al nafs al lawwâmah), atau pertarungan antara Pandawa melawan Kurawa. Sementara yang pertama berusaha mewujudkan kedamaian dan ketenangan, maka yang kedua selalu membuat kegaduhan, keributan, dan kekacauan.
Gerakan garis keras transnasional dan kaki tangannya di Indonesia sebenarnya telah lama melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah. Dalam Muktamar Muhammadiyah pada bulan Juli 2005 di Malang, para agen kelompok-kelompok garis keras, termasuk ka-der-kader PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mendominasi banyak forum dan berhasil memilih beberapa simpatisan gerakan garis keras menjadi ketua PP. Muhammadiyah. Namun demikian, baru setelah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mudik kedesa Sendang Ayu, Lampung, masalah infiltrasi ini menjadi kontroversi besar dan te­rbuka sampai tingkat internasio­nal.
Masjid Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu yang dulunya damai dan tenang menjadi ribut karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar mengkafirkan orang lain, dan menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah sendiri. Prof. Munir kemudian memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara Muhammadiyah mengatasi perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat tidak lagi membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan ke prihatinannya dalam Suara Muhammadiyah.
Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan. Artikel Prof. Munir mengilhami Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membicarakan infiltrasi garis keras kedalam Muhammadiyah secara lebih luas dalam dua artikel di Suara Muhammadiyah.
Dalam yang pe­rtama, "Ahmad Dahlan Me­nangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan)," Farid mendesak agar Muhammadiyah segera mengamputasi virus kanker yang, menurut dia, sudah masuk kategori stadium empat. Karena jika diam saja, "tidak tertutup kemungkinan kedepan Muhammadiyah hanya memiliki usia sesuai dengan umur para pimpinannya sekarang. Dan juga tidak tertutup kemungkinan jika Alm. KH. Ahmad Dahlan dapat bangkit dari liang kuburnya akan terseok dan menangis meratapi kondisi yang telah menimpa kader dan anggota Muhammadiyah"yang sedang direbut oleh kelompok-kelompok garis keras.
Dalam artikelnya yang kedua, "Tiga Upaya Mu'allimin dan Mu'allimat," Farid mengungkapkan bahwa "pro­duk po­la ka- de­risasi yang dilakukan 'virus tarbiyah'11 membe­ntuk diri serta jiwa para kadernya menjadi seorang yang berpemahaman Islam yang untuk "me­nye­lamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikan Persyarikatan" dan me­mbebaskannya "dari pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah" karena telah memperalat ormas itu untuk tujuan politik mereka yang bertentangan dengan visi-misi luhur Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat :
"...Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas dari segala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat me­ngganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya"
"Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, te­rmasuk partai politik yang mengklaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut"
Keputusan ini dapat dipahami, karena pada kenyataannya PKS tidak hanya "menimbulkan masalah dan konflik dengan sesama dan dalam tubuh umat Islam yang lain, termasuk dalam Muhammadiyah," tapi menurut para ahli politik juga merupakan ancaman yang lebih besar dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI) terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Menurut seorang ahli politik dan garis keras Indonesia, Sadanand Dhume, "Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan siste­m sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin.... Bedanya, JI bersifat revolusioner sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk mempe­rjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah dan suara demi suara.... Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan apakah masa depannya akan sama dengan negarane­gara Asia Tenggara yang lain, atau ikut gerakan yang berorientasi kemasa lalu dengan busana jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan menentukan masa depan Indone­sia."
Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh studi yang dipaparkan dalam buku ini, sekalipun SKPP tersebut telah diterbitkan pada bulan De­se­mbe­r 2006, hingga kini belum bisa diimplementasikan secara efektif. Gerakan-gerakan Islam transnasional (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir) dan kaki tangannya di Indonsia sudah melakukan infiltrasi jauh kedalam Muhammadiyah dan mematrikan hubungan dengan para ekstremis yang sudah lama ada di dalamnya. Keduanya terus aktif merekrut para anggota dan pemimpin Muhammadiyah lain untuk ikut aliran ekstrem, seperti yang terjadi saat Cabang Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Bantul masuk PKS secara serentak (en masse). Sementara Farid Se­tiawan prihatin bahwa mungkin Muhammadiyah hanya akan mempunyai usia sesuai de­ngan umur para pengurusnya, gerakan garis keras justru terus berusaha mere­but Muhammadiyah untuk menggunakannya sebagai kaki tangan mereka berikutnya dengan umur yang panjang. Banyak tokoh moderat Muhammadiyah prihatin bahwa garis keras bisa mendominasi Muktamar Muhammadiyah 2010, karena aktivis garis keras semakin kuat dan banyak.
Persis karena infiltrasi yang semakin kuat inilah, tokoh-tokoh moderat Muhammadiyah menganggap situasi semakin berbahaya, baik bagi Muhammadiyah sendiri maupun bangsa Indonesia. Kita harus bersikap jujur dan terbuka serta berterus terang dalam menghadapi semua masalah yang ada, agar apa pun yang kita lakukan bisa menjadi pelajaran bagi semua umat Islam dan mampu mendewasakan mereka dalam beragama dan berbangsa.
Salah satu temuan yang sangat mengejutkan para peneliti lapangan adalah fenomena rangkap anggota atau dual membership, terutama antara Muhammadiyah dan garis keras, bahkan tim peneliti lapangan memperkirakan bahwa sampai 75% pemimpin garis keras yang diwawancarai punya ikatan dengan Muhammadiyah.
Selain terhadap Muhammadiyah, penyusupan juga terjadi secara sistematis terhadap NU. Realitas fungsi strategis masjid mendorong kelompok-kelompok garis keras terus berusaha merebut dan menguasai masjid dengan segala cara yang mungkin, termasuk yang tak pernah terpikirkan kecuali oleh penyusup itu sendiri. KH. Mu'adz Thahir, Ketua PCNU Pati, Jawa Tengah, menceritakan tentang kelompok garis keras berhasil masuk kemasjid-masjid NU dengan memberikan cleaning service gratis.
Awalnya, sekelompok anak muda datang membersihkan masjid secara suka rela, demikian berulang-ulang. Tertarik dengan keungguhan mereka, takmir memberinya kesempatan beradzan, lalu melibatkannya sebagai anggota takmir masjid. Dengan pandai dan cekatan mereka melakukan tugas-tugas itu. Tentu saja karena mereka memang agen yang khusus menyusup untuk mengambil alih masjid. Setelah posisinya semakin kuat, mereka mulai mengundang teman-temannya bergabung dalam struktur takmir, dan akhirnya menentukan siapa yang me­njadi imam, khatib, dan mengisi pengajian dan yang tidak boleh. Bahkan, menentukan apa yang boleh dan harus disampaikan, dan apa yang tidak boleh. Secara perlahan tapi pasti, masjid jatuh ketangan kelompok garis keras sehingga tokoh setempat yang biasa memberi pengajian dan khotbah di masjid tersebut kehilangan kesempatan mengajarkan Islam kepada jamaahnya, bahkan kehilangan masjid dan jamaahnya, kecuali jika bersedia menerima dan mengikuti ideologi keras mereka.
Kasus di Pati ini hanya salah satu dari sejumlah kasus penyerobotan masjid yang sering dilakukan di lingkungan Nahdliyin. Jika kasus ini digambarkan dalam sebuah film, penonton akan berpikir bahwa ini hasil imaginasi sutradara. Tapi sebenarnya ini adalah manifestasi ideologi, dana, dan sistem gerakan Islam transnasional dan kaki tangannya di Indonesia yang terus bergerak untuk menguasai negeri kita. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penyerobot masjid NU adalah kelompok PKS dan HTI.
Setelah menyadari banyak masjid dan jamaahnya diserobot oleh kelompok-kelompok garis ke­ras, NU mulai melakukan konsolidasi dengan menata kembali organisasinya, antara lain, di masjid-masjid. PBNU menyatakan dengan tegas bahwa gerakan Islam transnasional seperti al-Qaidah, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir adalah gerakan politik yang berbahaya karena mengancam paham Ahlussunnah wal Jamâ'ah, dan berpote­nsi memecah belah bangsa. Kemampuan mereka berpurapura bisa menerima paham dan tradisi NU juga membuat mereka sangat berbahaya karena bisa menyusup kapan saja dan kemana saja.
Sementara terkait dengan isu khilafah yang diperjuangkan HTI, Majlis Bahtsul Masa'il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak me­miliki rujukan teologis, baik di dalam al-Qur'an maupun hadits.
Walaupun di beberapa tempat NU telah berhasil mengusir kelompok garis keras, namun di banyak tempat upaya penyusupan dan penyerobotan masjid dan jamaah NU terus dilakukan. Secara umum, sebagaimana ditunjukkan penelitian ini, penyusupan garis keras jauh lebih gencar daripada upaya NU untuk mengusirnya. Jika ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin bahwa NU akan kehilangan presentase signifikan jumlah jamaah dan masjid- masjidnya, dan berubah menjadi kurang spiritul dan lebih keras.
Penyusupan garis keras di lingkungan NU, dan kegagalan or-mas terbesar dunia ini menghentikan infiltrasinya kepemerintahan, MUI dan bidang-bidang strategis lain secara umum di negara ini, salah satu sebabnya terjadi karena fenome­na "kyai materi" yang tersebar luas. "Kyai-kyai materi" lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada kepentingan jamaah dan jam'iyah NU serta negara. Puluhan juta jamaah NU yang terkonsentrasi di desa-desa dan daerah-daerah tertentu, adalah kelompok pemilih terbesar (the largest single group of voters) di Indonesia. Suara mereka bisa menentukan siapa yang akan terpilih untuk naik ke kursi DPRD, DPR, Bupati, Gube­rnur dan Presiden. Realitas ini mendorong banyak parpol tergoda untuk memanipulasi NU dan memanfaatkan hubungan dengan kyai-kyai materi demi kepentingan politik mereka. Karena sifat dasar manusia, ada kyai-kyai yang merindukan amplop atau kedudukan politik kemudian maju untuk menjadi pengurus NU di tingkat cabang, wilayah, atau pusat, sebagai jembatan untuk memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh parpol-parpol dan politisi tertentu.
Pada saat yang sama, banyak kyai-kyai spiritual yang mundur dari arena penuh pamrih dan kepentingan pribadi tersebut dan hanya berbagi ilmu dengan orang-o­rang yang datang tanpa pamrih untuk mendekati Tuhan, bukan kedudukan. Dengan jumlah anggota sekitar empat puluh juta, NU bersama Muhammadiyah betul-betul bisa menjadi soko guru yang mampu untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, untuk bisa memenuhi amanah tersebut, NU harus melakukan revitalisasi spiritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan cara demikian, para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya diperalat oleh mereka. Nenek moyang kita meyakini hal ini sebagai dharma manusia, dan karena alasan itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja bersikap hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebaliknya.
Dewasa ini, kultur wayang yang khas Indonesia dan penuh nilai-nilai luhur sudah mulai tersisih oleh kultur asing. Adopsi kultur asing secara tidak cerdas akan membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidirinya sebagai bangsa. Hal ini bisa dilihat antara laindalam kasus yang terjadi di Cairo pada awal tahun 2004. Saat itu salah seorang Ketua PBNU diundang menyampaikan paper dalam forum Pendidikan dan Bahtsul Masa'il Islam Emansipatoris bersama Prof. Dr. Hassan Hanafi dan Dr. Youhanna Qaltah. Sehari sebelum paper disampaikan, Presiden Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir dan teman-temannya masuk kehotel Sonesta tempat acara akan dilaksanakan dan mengancam Ketua PBNU dimaksud menyajikan papernya. Mereka mengancam, jika larangannya tidak diindahkan, apa pun akan dilakukan untuk menghentikan, termasuk pembunuhan. "Kalau Bapak masih bersikeras, saya sendiri yang akan membunuh Bapak," ancam Limra Zainuddin, Presiden PPMI. Se­te­lah diselidiki, konon para mahasiswa tadi adalah para aktivis PK (PKS) di Cairo.
Sebagai Muslim, mahasiswa itu se­harusnya be­rsikap tawâdlu' (rendah hati), menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda (laisa minnâ man lam yukrim kibâranâ wa lam yarham shighâranâ). Namun semua ini tidak terjadi karena tidak adanya pemahaman dan internalisasi ajaran Islam yang penuh spiritualitas, dan mereka telah mengadopsi kultur asing secara tidak cerdas. Dua hal ini bisa membuat siapa pun mudah terjebak kedalam pemahaman-pemahaman yang sempit dan kaku. Siapa pun yang tidak mempunyai pemahaman yang mendalam tentang Islam, khususnya tentang hakikat dan ma'rifat, akan melihat bahwa apa yang disampaikan kelompok-kelompok garis keras sama belaka seperti yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam. Mereka menggunakan bahasa yang sama dengan umat Islam pada umumnya, seperti dakwah, amar ma'rûf nahy munkar atau Islam rahmatan lil-'âlamîn, tapi sebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.
Di tangan mereka, amar ma'rûf nahy munkar telah dijadikan legitimasi untuk melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap siapa pun yang berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma'rûf dan menolak al-munkar setiap kali melakukan aksi-aksi kekerasan atau pun mendiskreditkan orang atau pihak lain. Sementara konsep rahmatan lil-'âlamîn digunakan sebagai dalih formalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan menuduh siapa pun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai menolak konsep rahmatan lil-'âlamîn, sebelum akhirnya dicap murtad dan kafir. Padahal, sebenarnya semangat dasar dakwah adalah memberi informasi dan mengajak, dan Islam menjamin kebebasan dalam beragama (lâ ikrâh fi al-dîn [QS. al-Baqarah, 2: 256]). Di sini kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok-kelompok garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran, dan terbuka.
Penggunaan bahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat berbahaya, karena dengan bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak umat Islam dan mudah pula menyusup kemana-mana dan kapan saja. Dengan strategi demikian, ditambah militansi yang tinggi dan dukungan dana yang kuat dari luar dan dalam negeri, kelompok-kelompok garis keras ini telah menyusup dan berusaha mempengaruhi mayoritas umat Islam untuk mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah selama ini telah terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok-kelompok garis keras sehingga mereka semakin besar dan kuat dan semakin mudah memaksakan agenda-agendanya, bukan saja kepada ormas- ormas Islam besar tetapi juga kepada pemerintah, partai politik, media massa, dunia bisnis, dan lembaga-lembaga pendidikan.
Sikap militan dan klaim-klaim kebenaran yang dilakukan kelompok-kelompok garis keras memang tak jarang membuat mayoritas umat Islam, termasuk politisi oportunis, bingung berhadapan dengan mereka, karena penolakan kemudian akan dicap sebagai penentangan terhadap syariat Islam, padahal tidak demikian yang sebenarnya. Maka tidak heran jika banyak otoritas pemerintah dan partai-partai politik oportunis mau saja me­ngikuti dikte kelompok-kelompok garis keras, misalnya dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang inkonstitusional. Padahal, itu adalah "Perda fiqh" yang tidak lagi sepenuhnya membawa pesan dan ajaran syari'ah, dan muatannya bersifat intoleran dan melanggar hak-hak sipil serta hak-hak minoritas karena diturunkan dari pemahaman fiqh yang sempit dan terikat, di samping juga tidak merefleksikan esensi ajaran agama yang penuh spiritualitas, toleransi, dan kasih sayang kepada se­sama manusia.
Ringkasnya, para politisi oportunis yang bekerjasama dengan partai atau kelompok-kelompok garis keras sangat berbahaya juga. Mereka ikut menjerumuskan negara kita kearah jurang perpecahan dan kehancuran. Mereka tidak memperhatikan, dan bahkan mengorbankan, masa depan bangsa yang multi-agama dan multi etnik. Sepertinya mereka hanya mementingkan ambisi pribadi demi melanggengkan kekuasaan dan meraih kekayaan.
Gerakan garis keras terdiri dari kelompok-kelompok yang saling mendukung dalam mencapai agenda bersama mereka, baik di luar maupun di dalam institusi pemerintahan negara kita. Ancaman yang sangat jelas adalah usaha mengidentifikasi Islam dengan ideologi Wahabi/Ikhwanul Muslimin serta usaha untuk melenyapkan budaya dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan budaya dan tradisi asing yang bernuansa Wahabi tapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Bagian manapun dari kedua bahaya tersebut, atau keduanya, hanya akan menempatkan bangsa Indone­sia di bawah ketiak jaringan ideologi global Wahabi/Ikhwanul Muslimin. Dan yang paling memprihatinkan, sudah ada infiltrasi kedalam institusi pemerintah yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Agen-agen garis keras juga melakukan infiltrasi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan sudah dibilang, MUI kini telah menjadi bungker dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Ind­ne­sia. Lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru untuk mengontrol umat Islam itu, kini telah berada dalam genggaman garis keras dan berbalik mendikte/mengontrol pemerintah. Maka tidak heran jika fatwa-fatwa yang lahir dari MUI bersifat kontra produktif dan memicu kontroversi, semisal fatwa pengharaman sekularisme, pluralisme, liberalisme dan vonis sesat terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang telah menyebabkan aksi-aksi kekerasan atas nama Islam.
Berbagai tindakan keke­rasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang menghancurkan dan memberangus orang lain yang dinyatakan sesat oleh MUI, dan dukungan pengurus MUI k­pada mereka yang melakukan aksi-aksi kekerasan terkait, mengkonfirmasi pernyataan bahwa MUI telah memainkan peran kunci dalam gerakan-gerakan garis keras di Indnesia. Saat ini ada anggota MUI dari Hizbut Tahrir Indonesia, padahal HTI jelas-jelas mencita-citakan khilafah Islamiyah yang secara ideologis bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Rendahnya perhatian dan keprihatinan terhadap fenomena garis keras tidak hanya mengenai ideologi, gerakan, dan infiltrasi mereka. Arus dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian publik. Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat perhatian publik secara serius, pada hal dari sinilah fenomena infiltrasi paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.
Ada orang-orang yang sadar bahwa petrodollar Wahabi yang sangat besar jumlahnya masuk ke Indonesia, namun cukup sulit untuk membuktikannya di lapangan karena pihak yang menerima sangat sensitif atas isu ini dan menolak membicarakannya. Sepertinya, penolakan ini dilakukan karena agen garis keras malu jika diketahui bahwa mereka telah menjual agama, malu jika diketahui mengabdi pada tujuan Wahabi, dan memang untuk menyembunyikan infiltrasi Wahabi/Ikhwanul Muslimin terhadap Islam Indonesia. Pada sisi yang lain, badan negara yang bertanggung jawab mengawasi aliran keluar masuk dana di Indonesia juga tidak mengumumkan hal tersebut meskipun sebenarnya ada para pejabat dan pihak yang bertanggung jawab atas keamanan negara mengaku sangat prihatin dengan fenomena ini. Sebagai misal, sudah merupakan rahasia umum di kalang an para ahli bahwa melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai wakilnya di Indonesia, Rabithath al-'Alam al-Islami menyediakan dana yang luar biasa besar untuk gerakan-gerakan radikal di Indone­sia. Berbagai aktivitas dakwah kampus atau lazim disebut Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang menggagas gerakan tarbiyah, yang kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menikmati dana Arab Saudi tersebut dan sekaligus menyebarkan virus tarbiyah di Indone­sia.
Di Kabupaten Magelang, peneliti kami mendapat informasi dari mantan pengurus Muhammadiyah salah satu kecamatan di Magelang bahwa PKS sedang mencari masjid-masjid yang hendak direnovasi, atau daerah-daerah yang membutuhkan masjid baru. Secara terbuka, aktivis PKS yang bertanggung jawab atas proyek ini mengutarakan kepada mantan pengurus Muhammadiyah dimaksud bahwa dana untuk semua itu diperoleh dari Arab Saudi. Jika masjid hendak direnovasi atau dibangun, penduduk setempat hanya diminta untuk mendukung PKS dalam setiap pemilihan. Kata dia, "Tahun 2008 ini sudah ada 11 yang akan dibangun atau direnovasi dengan dana Saudi." Hampir semua jama'ah masjid di Magelang yang diserobot oleh PKS melalui strategi ini adalah warga Nahdliyin. Jika di satu kabupaten saja ada 11 masjid yang dikerjakan, bayangkan berapa jumlah uang Wahabi yang digunakan untuk membangun masjid-masjid di seluruh Indonesa dengan motif politik seperti ini?
Setelah calon PKS menang dalam Pilgub Jawa Barat pada bulan Juli 2008, salah seorang Ketua NU memberitahu peneliti kami bahwa hal tersebut ditandai oleh keberhasilan PKS merebut banyakmasjid NU dan para jama'ahnya. Walaupun Ketua NU dimaksud terkejut dengan kejadian tersebut, sebenarnya keberhasilan PKS merebut masjid dan jamaah NU tidak mengherankan. Tentu saja ideologi yang didukung dana asing dengan jumlah yang luar biasa besar dan dipakai secara sistematis bisa menyusup kemana-mana dan mengalahkan oposisi yang tidak terorganisasi. Atau dengan kata lain yang sering dipakai oleh para ulama, al-haqq bi lâ nizhâmin qad yaghlib al-bâthil bi nizhâmin (kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang te­ro­rganisasi).
Para agen garis keras sering berteriak bahwa orang asing, yayasan-yayasan, dan pemerintah dari Barat menggunakan uang mereka untuk menghancurkan Islam di Indonesia, dan menuding ada konspirasi Zionis/Nasrani di belakangnya. Pada kenyataannya, pemerintah dan yayasan-yayasan Barat seperti Ford Foundation dan The Asia Foundation mempublikasikan program-program yang dilakukannya secara terbuka, sehingga publik bisa mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan dan berapa biaya yang dikeluarkan untuknya. Walaupun dana Lib For All Foundation sangat sedikit dan kebanyakan pembina, penasehat, dan pengurusnya orang Indonesia asli, ia juga melaporkan programpro­gram yang dilaku kannya secara terbuka dan transparan.
Hal ini sangat berbeda dari gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa, sementara para agen garis keras berteriak bahwa orang asing datang ke Indonesia membawa uang yang banyak untuk menghancurkan Islam... tentu itu benar, karena orang asing itu adalah aktivis gerakan transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada.
Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh beberapa pihak telah dipandang lebih tampak sepe­rti preman berjubah, mereka ingin menunjukkan seolah-olah pan- angan ekstre­m yang mereka teriakkan dan paksakan memang benar-benar merupakan pesan Islam yang harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama Islam dan bertanggung jawab atas banyak kekerasan yang mereka lakukan atas nama Islam di Indonesia dan se­luruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus menanggung malu atas perbuatan mereka.
Kare­na itu, alasan utama me­lawan gerakan garis keras adalah untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai dan sekaligus pada saat yang sama untukmenyelamatkan Pancasila dan NKRI. Jika mayoritas moderat melawan kelompok garis keras dengan tegas, kita akan mengembalikan suasana beragama di Indonesia menjadi moderat, dan kelompok garis keras dewasa ini akan gagal lagi seperti semua nenek moyang ideologis mereka di tanah air kita, yang mewakili kehadiran al-nafs al-lawwâmah. Kemenangan melawan mereka akan mengembalikan keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatan lil-'âlamîn, dan ini merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia.
Studi ini kami lakukan dan publikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen bangsa, khususnya para elit dan media massa, tentang bahaya ideologi dan paham garis keras yang dibawa ke tanah air oleh gerakan transnasional Timur Tengah dan tumbuh seperti jamur di musim hujan dalam era reformasi kita. Juga, sebagai seruan untuk melestarikan Pancasila yang merefleksikan esensi syari'ah dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-'âlamîn yang se­jati.
Dalam Bab V, studi ini merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk melestarikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan menegakkan warisan luhur tradisi, budaya dan spiritualitas bangsa Indonesia, antara lain dengan :
• Mengajak dan mengilhami masyarakat dan para elit untuk bersikap terbuka, rendah hati, dan terus belajar agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran agama, dan men-jadi jiwa-jiwa yang tenang;
• Menghentikan dan memutus dengan cara-cara damai dan bertanggung jawab mata rantai penye­baran paham dan idiologi garis keras melalui pendidikan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) yang mencerahkan, serta mengajarkan dan mengamalkan pesan-pesan luhur agama Islam yang mampu menumbuhkan kesadaran sebagai hamba Tuhan yang rendah hati, toleran dan damai.

Bekerjasama, saling mengingatkan tentang kebenaran (wa tawâshau bil-haqq) dan untuk se­lalu be­rsabar (wa tawâshau bil-shabr), me­njadi kunci pe­nting dalam hal ini. Kita harus tetap santun, sabar, toleran, dan terbuka dalam usahausaha melestarikan visi luhur nenek moyang dan Pendiri Bangsa. Tujuan mulia hendaknya tidak dinodai dengan usaha-usaha kotor, kebencian, maupun aksi-aksi kekerasan. Tujuan luhur harus dicapai dengan cara-cara yang benar, tegas, bijaksana dan bertanggung jawab, yang jauh dari arogansi, pemaksaan dan semacamnya.
Kita pantas mengingat nasehat Syeikh Ibn 'Athaillah al-Sakan dari dalam Hikam karyanya: "Janganlah bersahabat dengan siapa pun yang perilakunya tidak membangkitkan gairahmu mendekati Allah dan katakatanya tidak menunjukkanmu kepadaNya" (lâ tash-hab man lâ yunhidluka ilâ Allah hâluhu, wa la yahdîka ilâ Allâh maqâluhu). Orang yang merasa paling mengerti Islam, penuh kebencian kepada makhluk Allah yang tidak sejalan dengan mereka, serta merasa sebagai yang paling benar dan karena itu mengklaim berhak menjadi khalifah-Nya untuk mengatur semua orang pasti perbuatan dan kata-katanya tidak akan membawa kita kepada Tu-han. Cita-cita mereka tentang negara Islam hanya ilusi. Negara Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam konstruksi pemerintahan, tetapi dalam kalbu yang terbuka kepada Allah swt. dan kepada sesama makhluk-Nya.
Kebenaran dan kepalsuan sudah jelas. Garis keras ingin memaksa semua rakyat Indonesia tunduk kepada paham mareka yang ekstrem dan kaku. Catatan sejarah bangsa kita Babad Tanah Jawi, Perang Padri, Pemberontakan DI, dan lain-lain menunjukkan bahwa jiwa-jiwa yang resah akan terus mendorong bangsa kita kejurang kehancuran sampai mereka betul-betul berkuasa, atau kita menghentikannya seperti berkalikali telah dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, nenek moyang kita. Saat ini kitalah yang memilih masa depan bangsa.

Jakarta, 8 Mare­t 2009



BAB I
STUDI GERAKAN ISLAM TRANSNASIONAL
DAN KAKI TANGANNYA DI INDONESIA



Dasar Pemikiran
Para aktivis garis ker­ias sepenuhnya sadar bahwa mereka tengah terlibat dalam "perang ide­ide" untuk meyakinkan umat Islam di seluruh dunia, bahwa ideologi mereka yang e­kstrem adalah satu-satunya interpretasi yang benar tentang Islam. Mereka memahami Islam secara monolitik dan menolak varian-varian Islam lokal dan spiritual seperti diamalkan umat Islam umumnya, sebagai bentuk pengamalan Islam yang salah dan se­sat karena sudah tercemar dan tidak murni lagi.
Strate­gi utama gerakan Islam transnasional dalam usaha membuat umat Islam menjadi radikal dan keras adalah dengan membentuk dan mendukung kelompok-kelompok lokal sebagai kaki tangan "penyebar" ideologi Wahabi/Salafi mereka, serta berusaha meminggirkan dan memusnahkan bentuk-bentuk pengamalan Islam yang lebih toleran yang telah lebih lama ada dan dominan di berbagai belahan dunia Muslim. Dengan cara demikian, mereka berusaha keras melakukan infiltrasi keberbagai bidang kehidupan umat Islam, baik melalui cara-cara halus hingga yang kasar dan keras Di daerah-daerah seperti Arab Saudi, Sudan, Gaza, Afghanistan, Thaliban dan wilayah-wilayah Pashtun Pakistan, mereka sudah berhasil memaksakan ideologinya. Sementara di kebanyakan belahan dunia Islam, hampir tidak ada usaha serius untuk mengungkap gerakan kelompok-kelompok garis keras serta mobilisasi du-kungan untuk pandangan dan pengamalan Islam yang umumnya toleran, pluralistik, dan sejalan dengan dunia modern. Di Indonesia, kenyataannya berbeda, karena Islam spiritual masih kuat dan ada tokoh-tokoh Islam Indonesia yang menyadari bahaya ancaman gerakan garis keras dan berani menghadapi mereka sebelum nasi menjadi bubur.
Di tanah air kita, reaksi terhadap infiltrasi dan aktivitas gerakan garis keras seperti dakwah Wahabi/Salafi ini bisa dilihat dengan terbitnya SKPP Muhammadiyah Nomor 149/Ke­p/I.0/B/2006, Fatwa Majlis Bahstul Masa'il NU te­ntang Khilafah Islamiyah, serta respon para ulama dan tokoh nasional tentang bahaya dan ancaman gerakan-gerakan transnasional. Bahkan seorang mantan Panglima TNI mengemukakan, "Dulu, ancaman garis keras terhadap Konstitusi dan Pancasila ada di luar pemerintahan, seperti DI/NII. Tapi sekarang, garis keras sudah masuk kedalam pemerintahan, termasuk parlemen, dan menjadi jauh lebih berbahaya dari sebe lumnya."
Reaksi ormas-ormas moderat serta respon para ulama dan tokoh nasional ini menjadi indikasi menguatnya pengaruh dan infiltrasi gerakan garis keras di Indonesia belakangan ini. Idealnya, semua ini bisa menjadi teladan bagi umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia untuk memobilisasi perlawanan terhadap agenda Wahabi/Salafi, dan menggalang dukungan dari para pemimpin dan umat Islam yang belum tercemar untuk secara sadar melawan penyebaran ideologi garis keras tersebut. Sementara pada saat yang sama, perlawanan ini bisa mengawali usaha menelanjangi aktivitas- aktivitas gerakan garis keras transnasional secara publik.

Subyek Studi
Pe­rmasalahan utama studi ini menyangkut: asal-usul, ideologi, agenda, ge­akan, dan agen-agen gerakan Islam di Indonesia yang diidentifikasi sebagai kelompok garis keras; strategi mereka dalam memperjuangkan agenda dan ideologi tersebut; dan, infiltrasi yang berhasil ditanamkan kepada masyarakat dan kelompok-kelompok Islam lain yang berhaluan moderat.
Infiltrasi garis keras terhadap Islam Indonesia diduga telah membangkitkan kembali gagasan dan cita-cita formalisasi Islam yang sesungguhnya telah dikubur dalam-dalam oleh bangsa Indonesia setelah menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus final dalam ke­hidupan berbangsa dan bernegara. Atas nasehat tokoh BIN dan para ahli serta tokoh lain, kelompok-kelompok Islam mo derat termasuk dalam subyek studi di sini untuk melihat sejauh mana mereka telah disusupi dan dipengaruhi oleh agen-agen garis keras tersebut.

Definisi Operasional
`Untuk keperluan studi ini kami membuat definisi operasional me­nge­nai Islam garis ke­ras dan Islam mo­de­rat, se­bagai be­rikut :
1. Islam garis keras : Diklasifikasikan sebagai individu dan organisasi.
• Individu garis keras adalah orang yang menganut pemutlakan atau absolutisme pemahaman agama; bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; berperilaku atau menyetujui perilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berperilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada o­rang lain; memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda pandangan; mendukung pelarangan oleh pemerintah dan/atau pihak lain atas keberadaan pemahaman dan keyakinan agama yang berbeda; membenarkan kekerasan terhadap orang lain yang ber beda pemahaman dan keyakinan tersebut; menolak Dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia; dan/atau menginginkan adanya Dasar Negara Islam, bentuk Negara Islam, atau pun Khilafah Islamiyah.
• Organisasi garis keras adalah kelompok yang merupakan himpunan individu-individu dengan karakteristik yang disebutkan di atas, ditambah dengan visi dan misi organisasi yang me­nunjukkan orientasi tidak toleran terhadap perbedaan, baik semua karakter ini ditunjukkan secara terbuka maupun tersembunyi.
2. Islam Moderat : Diklasifikasikan sebagai individu dan organi-sasi.
• Individu moderat adalah individu yang menerima dan menghargai pandangan dan ke­yakinan yang be­rbe­da se­ba- gai fitrah; tidak mau me­maksakan ke­be­naran yang diyakininya kepada orang lain, baik secara langsung atau melalui pemerintah; menolak cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apa pun; menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi negara kita; menerima Dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus final dalam kehidupan berbangsa dan berngera yang melin-dungi pe­rbedaan dan keragamaan yang ada di tanah air.
• Organisasi moderat adalah kelompok yang me­miliki karakteristik seperti yang tercermin dalam karakte­ristik individu moderat, ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menerima Dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup be­rsama bangsa Indonesia dan bentuk Ne­gara Ke­satuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tujuan Studi
Secara akademis, studi ini bertujuan menemukan, me­nunjukkan, dan membuktikan asal-usul, ideologi, dan gerakan kelompok- kelompok garis keras di Indonesia, dan mengetahui respon para agen gerakan garis keras tentang isu-isu sosial-politik dan keagama an.
Se­mentara secara praksis, hasil studi ini diharapkan bisa men-jadi batu loncatan bagi gerakanpe­rlawanan terhadap agenda gerakan Islam transnasional di Indonesia dan seluruh dunia, memobilisasi para pemimpin dan umat Islam yang belum terkontaminasi ideologi gerakan garis keras untuk secara sadar melawan penyebaran ideologi mere­ka.
Pada saat yang sama, studi ini bertujuan mengungkap dan menunjukkan aktivitas gerakan garis keras yang merupakan faktor krusial bagi penyebaran ideologinya di Indonesia dan seluruh dunia.

Masalah Studi
Dengan latar belakang di atas, kami merancang studi ini untuk memetakan dan menjawab beberapa permasalahan se­bagai be­rikut :
1. Bagaimana sebenarnya pandangan dan respon para agen garis keras terhadap isu-isu sosial po­litik dan keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini?
2. Bagaimana peta gerakan-gerakan Islam transnasional dan kaki tangannya di Indonesia saat ini?
3. Apa yang menjadi agenda perjuangan kelompok-kelompok garis keras dan bagaimana agenda itu dikaitkan dengan persoalan-persoalan Indonesia mutakhir?
4. Bagaimana strategi kelompok-kelompok garis keras dalam memperjuangkan agenda-agenda mereka dan menyusup-kan agen-agen mereka ketengah-tengah masyarakat?
5. Bagaimana hubungan kelompok-kelompok garis keras lokal dengan gerakan-gerakan Islam transnasional dari Timur Te­ngah?
6. Bagaimana pula hubungan kelompok-kelompok garis keras itu dengan kelompok-kelompok Islam yang be­rhaluan mode­rat?
7. Apakah kelompok-kelompok garis keras telah mampu mempengaruhi dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan NU?
8. Benarkah masjid dan institusi-institusi pendidikan telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok garis keras untuk menyebarkan paham mereka?
9. Bagaimana hubungan kelompok-kelompok garis keras dibangun dan bagaimana jaringan mereka dibentuk?

Metode Studi
Studi ini dilakukan oleh dua tim, yakni Tim Jakarta dan Tim Yogya. Tim Jakarta melakukan wawancara dan/atau konsultasi dengan para ulama, intelektual, dan tokoh-tokoh nasional mengenai isu-isu sosial-politik dan keagamaan di tanah air serta hal-hal yang terkait dengan aktivitas gerakan garis keras. Tim Jakarta juga melakukan riset pustaka untuk mengetahui kesinambungan dan hubungan berbagai gerakan garis keras di Indonesia dan dunia. Tim Jakarta disebut sebagai Peneliti Konsultasi dan Literatur, beranggotakan C. Ho­lland Taylor, Hodri Ariev, Dr. Ratno Lukito, Niluh Dipomanggolo, dan Ahmad Gaus AF., bertanggung jawab kepada KH. Abdurrahman Wahid.
Adapun Tim Yogya adalah para peneliti yang melakukan interview dengan para aktivis gerakan garis keras, atau individu yang dipengaruhi dan/atau memperjuangkan ideologi dan agenda gariskeras. Tim Yogya disebut sebagai Peneliti Lapangan, beranggotakan Dr. Ratno Lukit, Dr. Zuly Qodir, Dr. Agus Nuryatna, dan Dr. Rizal Panggabean yang dibantu oleh 27 orang peneliti, serta berada di bawah koordinasi Pro­f. Dr. Abdul Munir Mulkhan sebagai K­tua, dan Dr. Sukardi Rinakit sebagai Penasehat.
Secara ringkas bisa dikemukakan, "responden" Tim Yogya adalah para aktivis atau individu yang telah terpengaruh gerakan garis keras, sedangkan "sumber" Tim Jakarta adalah para tokoh moderat. Penelitian lapangan hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan studi ini. Karena itu, secara akade­mik, Tim Yogya hanya bertanggung jawab atas hasil penelitian lapangan saja, sedangkan hasil studi secara keseluruhan berada dalam tanggung jawab Tim Jakarta di bawah arahan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Sesepuh dan Pembina Lib For All Foundation.

A. Penelitian Literatur dan Konsultasi
Dalam studi ini, Tim Jakarta telah mengumpulkan data-data yang terkait dengan isu infiltrasi agen-agen garis keras dari berbagai sumber, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
• Sumber tertulis : Hasil penelitian yang pernah ada dengan topik yang sama atau mirip, karya-karya yang relevan, dan dokumen-dokumen yang terkait dengan isu tersebut, baik yang sudah dipublikasikan maupun belum.
• Sumber tidak te­rtulis : Konsultasi dengan para ulama, pemimpin organisasi massa (ormas) Islam mode­rat seperti Muhammadiyah dan NU, cendekiawan, pemimpin partai politik, pejabat pemerintah, petinggi militer, kalangan bisnis dan media massa.
• Studi terhadap berbagai dokumen dan literatur terkait dilakukan untuk memperkaya informasi, memastikan akurasi data dan informasi yang diperoleh, dan melihat kontinuitas dan perubahan dalam perkembangan gerakan kelompok-kelompok garis keras.
• Sedangkan konsultasi dilakukan untuk mendapatkan informasi dan konfirmasi tentang perkembangan terkini, sekaligus untuk minta nasehat dan rekomendasi mengenai isu-isu terkait. Tokoh-tokoh be­ar dari semua bidang ini memiliki keprihatinan yang sama terhadap adanya infiltrasi ideologi dan agen-agen garis keras terhadap Islam Indonesia dan telah menjadi duri dalam daging, merusak keharmonisan perbedaan dalam hidup bermasyarakat, dan akhirnya berpotensi menghancurkan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

B. Penelitian Lapangan
Dalam penelitian ini, Tim Yogya menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data secara kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interviews), sehingga untuk satu responden saja seorang peneliti bisa bertemu sebanyak 3 -5 kali. Hal ini dilakukan untuk mencapai kedalaman wawancara. Untuk melengkapi hasil penelitian lapangan ini kami juga menggunakan data sekunder, yakni penelitian yang sudah ada atau studi terdahulu yang terkait dengan tema pene­litian.
Setelah data-data wawancara diperoleh, para peneliti mentranskrip isi wawancara, kemudian mengirimkan transkrip tersebut kepada tim manajemen di Yogyakarta untuk bahan analisis yang dibuat oleh tim monitoring dan analis ahli yang secara khusus diundang untuk mengkaji hasil wawancara tersebut. Untuk memperkaya analisisnya, tim monitoring yang terdiri dari para aktivis, sarjana dan ahli juga melakukan observasi langsung kelapangan untuk memverifikasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti di setiap kota/daerah dan melihat visibilitas penelitian itu sendiri di lapangan.

Penelitian Lapangan
A. Tim Yogya dan Lokasi Penelitian
Untuk mengurai isu-isu yang cukup kompleks dalam studi ini, kami menurunkan 27 peneliti lapangan dari jaringan UIN/IAIN, sebagian besar bergelar master/magister dan doktor, yang dikoordinasi oleh tim ahli yang terdri dari 6 orang dan di bawah tanggung jawab Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga anggota Komnas HAM dan Dr. Sukardi Rinakit dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) sebagai penasehat. Penelitian dilakukan di 24 kota/daerah yang tersebar di 17 propinsi di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, Ambo­n, dan Nusa Tenggara Barat, dengan responden sebanyak 591 o­rang yang ditarik se­cara se­ngaja (purposive sampling). Kota/dae­rah yang dipilih didasarkan pada kenyataan adanya aktivitas dan kelompok-kelompok garis keras di kota atau daerah bersangkutan. Aktivitas kelompok-kelompok garis keras ternyata tidak hanya ditemukan di daerah daerah konflik seperti Poso, Ambon, dan Aceh, tetapi juga di daerah lain yang sepertinya aman dan tampak tidak bergejolak seperti ibukota Jakarta, Bogo­r, Bandung, Pekalongan, Yogyakarta, Malang, Pamekasan, Medan, dan beberapa daerah lain.

B. Karakteristik Responden
Responden penelitian lapangan ini dipilih berdasarkan posisi fungsionalnya dalam kelompok bersangkutan. Di antara mereka ada yang menempati posisi se­bagai ketua, sekretaris, atau hubungan masyarakat (humas atau juru bicara) dalam sebuah perkumpulan atau organisasi, dan sebagian lain merupakan anggota biasa tetapi memiliki kedekatan emosional dengan pimpinan sehingga menjadi anggota yang dipercaya oleh pimpinannya.
Agen-agen gerakan garis keras yang menjadi responden penelitian lapangan ini umumnya berprofesi sebagai pegawai ne­geri, dose­n, mahasiswa, guru, wiraswasta, anggota parlemen tingkat daerah (DPRD), pimpinan perguruan tinggi atau Pimpinan partai politik. Mereka te­rlibat aktif dalam 58 organisasi tingkat lokal dan nasional baik sebagai Pimpinan atau pun anggota Pimpinan yang ikut menentukan kebijakan organisasi. Dari 58 organisasi ini ada organisasi-organisasi massa (ormas) Islam moderat yang terhadapnya agen-agen garis keras melakukan infiltrasi.
Para agen garis keras te­rsebut selalu berkomunikasi dengan masyarakat luas melalui semua media yang bisa mereka gunakan untuk menyebarkan ideologinya. Penyebaran ideologi ini bisa dilihat lebih lanjut dalam penjelasan mengenai infiltrasi agen-agen gerakan garis keras kedalam tubuh ormas moderat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), universitas, sekolah, masjid, instansi-instansi pemerintah maupun swasta, dan lainlain.
Tim penelitian lapangan melaporkan bahwa sebanyak 63 persen responden menjadi pengurus inti dari o­ganisasi tempat mereka beraktivitas, dan hanya sekitar 7 persen yang berstatus sebagai anggota biasa. Dilihat dari kedudukan dan jaringannya, organisasi tempat responden beraktivitas terbagi kedalam organisasi lokal dan nasional. Suatu organisasi disebut lokal jika ia tidak memiliki cabang atau jaringan di tempat lain te­tapi hanya berada di daerah di mana responden mene­tap, atau di beberapa daerah sekitar. Suatu organisasi disebut nasional jika memiliki kantor pusat di suatu kota dan cabang-cabangnya di daerah lain.
Karakteristik lain responden yang penting untuk diketahui adalah fenomena rangkap anggota atau dual membership antara ormas moderat dan garis keras yang sangat sering ditemukan oleh para peneliti lapangan, terutama di lingkungan Muhammadiyah. Ini menunjukkan bahwa kelompok-kelompok garis keras sudah melakukan infiltrasi ke dalam Muhammadiyah dan NU. M­reka bergerilya untuk mengubah Muhammadiyah dan NU yang moderat menjadi keras seperti mereka.

C. Nama-nama Organisasi
Nama-nama organisasi di mana para responden terlibat aktif adalah seperti daftar berikut : DDI , DDII, FKUB, FPMI , FORMIS , FPI , FSPUI , FSRMP, FTPS , FUI FUI , FUUI , FUUU , GERPI, GMM , GPI , HIDMI , HIMA PUI , HIMA, HIMI, HMI, HPI, HTI , HUDA , ICMI , IKADI , IMM , IPM , IRM , JMAF , JMF , KAMCI , KAMMI , KNPI , KPPRA , KPPSI , KPSI , LDII , LDK , LDM , LPIK , MMI, MUI , NU , PBB , PBR , PERSIS , PI , PII PKPUS , PKS , PMII , PSII , PUSAKA , RTA , SI dan UKMI


BAB II
INFILTRASI
IDEOLOGI WAHABI – IKHWANUL MUSLIMIN
DI INDONESIA


Wahabi
Kanjeng nabi MuhammaD saw. pernah Menyatakan bahwa umatnya akan terpecah me­njadi 73 kelompok, semua masuk neraka kecuali satu. Me­re­kayang akan selamat adalah "yang berpegang kepada Sunnahku dan jamâ'ah sahabatku" (mâ ana 'alaih wa ash-hâbî). Kelompok ini kemudian masyhur disebut Ahlussun- nah wal-jamâ'ah (aswaja), orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan jamâ'ah sahabat. Para ulama kemudian berusaha keras mengidentifikasi karakter aswaja ini, yang kemudian di dalam konteks interaksi sosial tersimpul dalam sikap al-tawassuth wal-i'tdâl, sikap moderat dan konsisten.
Hadits prediktif ini sangat masyhur karena terkait dengan ke selamatan di akhirat kelak. Itu pula sebabnya muncul dua versi hadits yang sangat berbeda, apakah dari 73 kelompok tersebut 1 yang selamat atau 1 yang celaka. Terkait dengan keselamatan ini pula, ada kelompok yang mengklaim bahwa hanya kelompoknya yang paling benar dan kelak akan selamat di akhirat. Demi klaim kebenaran dan keselamatan ini, mereka mudah mengkafirkan pihak lain semata untuk menegaskan bahwa diri dan kelompoknya saja yang paling benar, paling mukmin, paling muslim, dan paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan tidak ditentukan dengan klaim-klaim semacam itu, tetapi dengan ketulusan dan keikhlasan dalam beragama, dengan berserah diri, tunduk, dan patuh hanya ke­pada Allah swt., dan dalam term negative tidak dikendalikan oleh hawa nafsu. Padahal, dalam kesempatan lain, Nabi saw. memperingatkan bahwa, "Siapa pun yang mengkafirkan saudaranya tanpa penjelasan yang nyata, adalah dia sendiri yang kafir" (man kaffara akhâhu bi-ghairi ta'wîl—fa-huwa kamâ qâla). Atau dalam riwayat lain, "Siapa pun yang mekafirkan saudaranya, maka salah seorang darinya benar-benar kafir" (man kaffara akhâhu—fa-qad bâ'a bihâ ahaduhâ). Maka, yang manapun dan dari sisi manapun kedua riwayat tersebut direnungkan, seorang muslim kâffah lahir batin tidak akan pernah mengkafirkan muslim yang mana pun.
Dalam sejarah Islam, pengkafiran paling awal gemar dilakukan oleh kelompok Khawârij, sekelompok orang yang ke­luar (desersi) dari barisan Khalifah 'Ali ibn Abi Thalib terkait Tahkîm dalam perang Shiffîn melawan Mu'awiyah. Sebagai kelompok yang tidak setuju dengan tahkîm, mereka mengkafirkan siapa pun yang berbeda sikap dan pandangan, baik dari pihak 'Ali maupun Mu'awiyah. Bahkan, mereka membunuh siapa pun yang telah dikafirkan. Jargon mereka bahwa "Hukum hanya milik Allah," telah mengesam pingkan pe­ran akal manusia dalam memahami pesan-pesan wahyu.
Aksi-aksi Khawârij ini telah menjadi preseden buruk bagi generasi Muslim berikutnya. Dengan aksi-aksi kejam dan destruktifnya mereka tidak hanya mengacaukan stabilitas politik, tetapi juga mendistorsi logika berfikir umat Islam dan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dewasa ini, para ulama lazim menyebut siapa pun yang mewarisi kebiasaan buruk Khawârij ini sebagai neo Khawârij.
Beberapa tabi'at buruk Khawârij, antara lain: me­mahami al- Qur'an dan hadits hanya secara harfiah dan te­rtutup; gemar mengkafirkan siapa pun yang mempunyai sikap dan/atau pemahaman yang berbeda dari mereka; dan tidak segan-segan membunuh siapa pun yang dikafirkan. Beberapa tabi'at buruk ini juga menjadi bagian dari tabi'at Wahabi yang muncul di jazirah Arab pada abad ke­18. Memang, Wahabi tidak bisa dikatakan sebagai penerus Khawârij. Bahkan, ia dianggap sebagai fenomena yang sama sekali baru dan tidak mempunyai pendahulu sebelumnya dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, Wahabi tidak menempati posisi penting apa pun, bahkan secara intelektual marjinal (Wahabi menjadi signifikan bukan karena pemikirannya, tapi karena kekuasaan politik Ibn Saud dan penerusnya). Di samping itu, para peneliti dan sejarawan Islam memandang Wahabi sebagai fenomena khas yang terpisah dari aliran-aliran pemikiran maupun gerakan Islam lainnya. Bahkan, para tokoh Sunni paling awal menilai Wahabi tidak termasuk golongan Ahlussunnah wal-jamâ'ah.
Wahabi adalah sebuah sekte keras dan kaku pengikut Muhammad ibn 'Abdul Wahab. Ayahnya, 'Abdul Wahab adalah hakim (qâdlî) 'Uyaynah pengikut madzhab Ahmad ibn Hanbal. Ibn 'Abdul Wahab lahir pada tahun 1703/1115 di 'Uyaynah, termasuk daerah Najd, belahan timur Kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dibandingkan dengan Yaman dan Syria, Nabi pernah mengungkapkan bahwa tidak akan muncul apa pun dari Najd selain goncangan fitnah dan setan (al-zalâzil wal-fitan wa qarn al-syaitân). Mungkin saja pernyata-an Nabi ini tidak terkait dengan Wahabi, tapi jelas bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah yang paling akhir menerima Islam dan kampung Musailamah al-Kadzdzab.
'Utsman ibn 'Abdullah ibn Bisyr, sejarawan standar Saudi, memuji Ibn 'Abdul Wahab sebagai orang yang mendapat berkah Tuhan sehingga mampu memahami masalah-masalah yang bertentangan dan menunjukkan jalan lurus kepada siapa pun. Namun ayah dan kakak kandung Ibn 'Abdul Wahab sendiri telah sejak awal mencium gelagat tak beres dalam pemikiran pendiri Wahabi ini. Konon, 'Abdul Wahab diberhentikan dari posisi sebagai hakim dan diperintahkan meninggalkan 'Uyaynah pada tahun 1726/1139 karena ulah anaknya yang ganjil dan berbahaya ini. 'Utsman menghindari menceritakan detail perselisihan anak dengan ayah dan kakak kandungnya secara diplomatis dengan mengungkapkan seba-gai "percakapan di antara keduanya" (waqa'a bainahu wa baina abîhi kalâm), belakangan Sulaiman ibn 'Abdul Wahab, kakak kandung pendiri Wahabi ini, mengkritik dan menulis penolakan panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya ini (al-Shawâ'iq al-Ilâhiyyah fî al-radd 'alâ al-Wahhâbiyyah).
Pemahaman ekstrem, kaku, dan keras Ibn 'Abdul Wahab, yang t­rus dipelihara dan diperjuangkan para pengikutnya (Wahabi) hingga saat ini, adalah hasil dari pembacaan harfiah atas sumber- sumber ajaran Islam. Ini pula yang telah menyebabkan dia menolak rasionalisme, tradisi, dan beragam khazanah intelektual Islam yang sangat kaya. Dalam hal polemik, Kristen, Syî'ah, tasawuf, dan Mu'tazilah m­rupakan target utamanya. Namun bukan berarti bahwa selain kelompok te­rse­but aman dari kecaman yang didasarkan padapembacaan harfiah atas teks-teks suci (baca: al-Qur'ân dan Sunnah).
Literalisme Wahabi telah membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup te­rhadap cara pembacaan selain pembacaan secara harfiah á la Ibn 'Abdul Wahab. Pemahaman ini telah memutus teks-teks suci dari konteks masa risalah maupun konteks masa pembacaan. Teks-teks suci, dan akhirnya Islam sendiri, tidak lagi komunikatif dengan konteks para penganutnya. Islam yang semula sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalah umat, di tangan Ibn 'Abdul Wahab berubah menjadi tidak peduli, keras dan tak berperasaan.
Dari perspektif Ibn 'Abdul Wahab, tujuan utama literalisme ini mungkin untuk menghindari kompleksitas pemahaman dan praktik hukum, telogi dan tasawuf umat Islam yang telah tumbuh sejak berakhirnya masa risalah. Namun membayangkan bahwa setiap individu atau masyarakat akan mengamalkan Islam sebagaimana makna harfiah kitab suci dan hadits, tanpa pengaruh tradisi maupun budaya setempat, tentu sangat tidak realistis dan merupakan mimpi belaka. Literalisme te­rtutup, dalam kebanyakan kasusnya, lebih disebabkan ketakmampuan memahami kompleksitas realitas sosial dalam kaitannya dengan kompleksitas pesan-pesan luhur ajaran agama. Akibatnya, semua direduksi sesuai dengan daya tampung atau daya paham si pembaca. Dengan kata lain, keluhuran dan keluasan pesan agama kandas di keterbatasan daya pikir pembaca yang kaku.
Lite­ralisme Ibn 'Abdul Wahab yang tertutup tidak bisa dibandingkan dengan literalisme Ibn 'Arabi misalnya yang terbuka. Literalisme tertutup membatasi makna sebuah teks atau teks-teks dari makna-makna lain yang sama-sama berkemungkinan benar, dan ini merupakan reduksi dan distorsi terhadap pesan teks itu sendiri. Sedangkan literalisme terbuka merupakan pencarian makna teks atau teks-teks secara luas dan terbuka dengan tetap berusaha berpegang kuat pada makna harfiah teks yang bersangkutan namun tanpa terikat secara kaku.
Lite­ralisme te­rtutup á la Wahabi sebenarnya mengidap penyimpangan epistemologis yang akut. Ia tidak akan pernah mampu melihat, apalagi memahami, kebenaran lain yang berbeda dari kebenaran harfiah yang dicapainya. Bahkan tidak akan pernah mampu memahami kompleksitas teks-teks suci, apalagi dalam kaitannya dengan kompleksitas realitas sosial. Sebagai penyakit epistemologis, ketertutupan semacam ini lazim melahirkan klaim-klaim kebenaran sepihak (one sided truth claims), serta menolak dan menyalahkan apa pun/siapa pun yang be­rbeda.
Sebenarnya, klaim kebenaran sepihak yang kemudian mengandalkan klaim-klaim teologis dengan mengkafirkan pihak lain, merupakan sikap beragama yang tidak dewasa dan menunjukkan tidak adanya sifat rendah hati (islâm). Keyakinan yang dewasa dan rendah hati tidak akan pernah terganggu oleh keyakinan lain yang berbeda, bahkan akan berbagi secara terbuka untuk mencapai kebe­naran hakiki. Dan al-Qur'ân sendiri menegaskan bahwa perbe daan adalah cobaan, dan tidak perlu diseragamkan. Penolakan terhadap perbedaan ini merupakan dampak langsung dari penyakit penyimpangan epistemologis literalism tertutup manapun.
Setiap konklusi yang dihasilkan dari metode yang tidak sehat, pasti akan menyebabkan aksi-aksi yang tidak sehat pula. Distorsi dan reduksi terhadap pesan-pesan luhur Islam, dalam kasus Wahabi, kemudian menyebabkan aksi-aksi destruktif terhadap tradisi spiritual dan intelektual Islam sendiri, dan kemudian me­nyebabkan distorsi dan kekejaman sosial dan budaya terhadap masyarakat Islam dan masyarakat global secara keseluruhan, bahkan kekerasan terhadap ajaran Islam sendiri.
Dalam perkembangannya, setelah tak sabar dengan proses dialog dalam melakukan perubahan, Ibn 'Abdul Wahab akhirnya menyimpulkan bahwa kata-kata saja tidak cukup (lâ yughnî al- qaul). Dia berusaha melakukan perubahan melalui pe­rbuatan
Ketika ayahnya wafat pada tahun 1740/1153, Ibn 'Abdul Wahab kembali ke 'Uyaynah dan mendapat dukungan dari 'Utsman ibn Mu'ammar, penguasa setempat. Hal ini telah memberinya keleluasaan dan kekuatan untuk tidak hanya menggunakan kata-kata terhadap siapa pun yang dipandangnya menyimpang dari ajaran Islam (harus ditekankan bahwa, sebenarnya menyimpang dari pemahaman Ibn 'Abdul Wahab atas ajaran Islam). Ibn Mu'ammar menyediakan sekitar 600 orang pasukan untuk mengawal Ibn 'Ab- dul Wahab dan para pengikutnya dalam melakukan aksiaksinya. Ibn 'Abdul Wahab memperkuat dukungan ini dengan menikahi al-Jauhara, bibi penguasa 'Uyaynah tersebut.
Aksi kekerasan pe­rtama Wahabi ketika itu adalah menghancurkan makam Zaid ibn al-Khaththab, sahabat Nabi dan saudara kandung 'Umar ibn al-Khaththab. Sebelum itu, aksi-aksi pemurtadan dan pengkafiran pun dilancarkan, sebagai pembuka aksi-aksi kekerasan yang akan dilakukan. Namun patronase ini tidak berlangsung lama karena kepala suku daerah te­rsebut me­ncium bahaya laten dalam gerakan Wahabi. Atas desakan inilah, Ibn 'Abdul Wahab meninggalkan 'Uyaynah, pindah ke Dir'iyah dan menemukan sekutu baru, Muhammad ibn Sa'ud, yang terbukti menjadi sekutu permanen. Aliansi baru ini kelak melahirkan Kerajaan Saudi Wa-habi modern.
Muhammad ibn Sa'ud adalah politikus cerdas. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan sangat berharga untuk memberi dukungan kepada Ibn 'Abdul Wahab demi meraih kepentingan politiknya
Dia minta jaminan Ibn 'Abdul Wahab untuk tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir'iyah. Ibn 'Abdul Wahab meyakinkannya bahwa jihâd ke depan akan memberinya keuntungan yang lebih besar daripada upeti yang dia impikan. Maka, panggung pemurtadan, pengkafiran, dan aksi-aksi kekerasan yang akan dilakukan kese­luruh jazirah Arab pun dibangun di atas aliansi permanen ini.
Pada tahun 1746/1159, Wahabi Sa'ud secara resmi memproklamasikan jihâd terhadap siapa pun yang mempunyai pemahaman tauhîd berbeda dari mereka. Kampanye ini diawali dengan tuduhan syirk (polytheist), murtad, dan kafir. Setiap Muslim yang tidak mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi dianggap murtad, karenanya perang dibolehkan, atau bahkan diwajibkan, terhadap mereka. Razia, penggerebekan dan perampokan terhadap mereka pun dilakukan. Dengan demikian, predikat Muslim menurut Wahabi hanya merujuk secara eksklusif kepada para pengikut Wahabi, seperti digunakan dalam buku 'Unwân al-Majd fî Târîkh al-Najd, salah satu buku sejarah resmi Wahabi.
Sekitar lima belas tahun setelah proklamasi jihad ini, Wahabi sudah menguasai sebagian besar jazirah Arab, termasuk Najd, Arabia tengah, 'Asir, dan Yaman. Muhammad ibn Sa'ud yang meninggal pada tahun 1766/1180 digantikan oleh 'Abdul 'Aziz, yang pada 1773/1187 merebut Riyadh, dan sekitar tujuh belas tahun kemudian mulai berusaha merebut Hijaz. Muhammad ibn 'Abdul Wahab wafat tahun 1791/1206, sesaat setelah perang melawan para penguasa Hijaz dimulai. Kurang dari satu dekade, ajaran Wahabi sudah dipaksakan dengan senjata kepada penduduk Haramain (Makkah dan Madinah), walaupun hanya sesaat, pemaksaan ini mempunyai pengaruh yang luar biasa tidak hanya di Hijaz, tetapi juga di dunia Islam lainnya, termasuk Nusantara.
Tahun 1802/1217 Wahabi menyerang Karbala, membunuh may­ritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk wanita dan anak-anak. Wahabi juga menghancurkan kubah makam Husein serta menjarah berlian, permata, dan kekayaan apa pun yang mereka temukan di makam tersebut. Pada 1803/1217 Wahabi kembali menyerang Hijaz, dan Ta'if adalah kota pertama yang mereka serbu. Pada 1805/1220 mereka merebut Madinah dan 1806/1220 merebut Makkah untuk kedua kalinya. Seperti biasa, Wahabi memaksa para ulama menyatakan sumpah setia dengan todongan se­njata.
Pe­ndudukan Haramain ini berlangsung sekitar enam setengah tahun. Periode kekejaman ini ditandai dengan pembantaian dan pemaksaan ajaran Wahabi kepada penduduk Haramain, penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur'an dan hadits, larangan merayakan Maulid Nabi, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa hadits mau'izhah hasanah sebelum khotbah Jum'at, larangan memiliki rokok dan mengisapnya, bahkan sempat mengharamkan kopi.
Semua kekejaman Wahabi ini berakhir ketika Muhammad 'Ali Pasha, Gubernur Mesir, atas perintah Sultan 'Utsmani berhasil membebaskan Haramain. Pada tahun 1811/1226 Muhammad 'Ali Pasha mendarat di pelabuhan Yanbu', pesisir Laut Merah, dan pada akhiri tahun berikutnya dia berhasil membebaskan Madinah dan membebaskan Makkah tiga bulan kemudian. Wahabi mundur ke Najd dan menyatukan semua kekuatannya di sana, namun Muhammad 'Ali Pasha terus mengejar mereka dan be­rhasil mere but Dir'iyah, ibu kota Wahabi ketika itu, pada tahun 1819/1234. Sayangnya, kemenangan Sultan 'Utsmani ini hanya membuat Wahabi terkubur untuk beberapa tahun. Pada tahun 1832/1248, Wahabi bangkit lagi dari kuburnya dan memulai ekspedisi militer terhadap 'Uman dan memaksa Sultan Muscat membayar upeti kepada Riyadh. Wahabi sadar bahwa Makkah dan Madinah bukan hanya pusat gravitasi religius, tetapi juga sumber k­untungan ekono­mi yang tidak akan pernah berakhir. Karena itu, setelah berhasil menguasai daerah sekitarnya, Wahabi terus berusaha merebut kedua kota suci terse­but, dan baru pada tahun 1925 berhasil kembali merebut Makkah dan Madinah, dan kali ini didukung "perjanjian pertemanan dan kerjasama" yang ditandatangani penguasa Wahabi Saudi ketika itu dengan pihak Inggris.
Sejarah Wahabi tidak pernah lepas dari aksi-aksi kekerasan, baik doktrinal, kultural, maupun sosial. Dalam penaklukan jazirah Arab 1920-an ini, lebih dari 400 ribu umat Islam dibunuh, dieksekusi secara publik atau diamputasi, termasuk wanita dan anak- anak. Selain itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukan sering dibawa sebagai rampasan perang. Setelah itu, seperti biasa, Wahabi memaksakan ajarannya kepada semua Muslim yang berada di daerah taklukannya. Wahabi kemudian menjadi 'agama' baru.
Ringkasnya, sikap dan kesukaan utama Wahabi sejak awal gerakannya, selain membunuh serta merampas kekayaan dan wanita, juga termasuk menghancurkan kuburan dan peninggalan-peninggalan bersejarah; mengharamkan tawassul, isti'âna dan istighâtsah, syafâ'at, tabarruk, dan ziyarah kubur; membakar buku-buku yang tidak sejalan dengan paham mereka; memvonis musyrik, murtad, dan kafir siapa pun yang melakukan amalan-amalan yang tidak se­suai dengan ajaran Wahabi, walaupun sebenarnya tidak haram. Memang, sebelum mempunyai kekuatan fisik atau militer, Wahabi lazim melakukan kekerasan doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapa pun sebagai musyrik, murtad, dan kafir. Namun, setelah mereka mempunyai kekuatan fisik atau militer, tuduhan tersebut dilanjutkan dengan serangan-serangan fisik seperti pemukulan, amputasi, dan pembunuhan.
Wahabi menyebut semua ini sebagai dakwah, amr ma'rûf nahy munkar dan jihad, ter- minologi yang sebe­narnya tidak mempunyai konotasi keke­rasan dalam bentuk apa pun. Fenomena serupa belakangan banyak bermunculan di Indonesia, dan sulit menolak adanya relasi antara fenomena tersebut dengan paham Wahabi yang kini menjadi ideologi resmi Kerajaan Arab Saudi dan disebarkan ke Nusantara oleh para agen mereka dengan dukungan dana yang luar biasa dan cara yang sistematis.

Penolakan terhadap Wahabi
Sebelum serangan ke World Trade Ce­nter (WTC), pemerintah Saudi memang membiayai al-Qaedah, kelompok yang menggunakan kekerasan bersenjata dalam berbagai aksi-aksi agitatif dan destruktifnya. Namun setelah serangan 11 September 2001, teru-tama setelah al-Qae­dah menyerang Kerajaan Arab Saudi, pemerintah Saudi sepertinya berhenti membiayai gerakan teror tersebut. Tetapi, pemerintah Saudi terus membiayai penyebaran ideologi Wahabi keseluruh dunia (wahabisasai global). Kekerasan terorisme dengan peledakan bom dan semacamnya memang sangat berbahaya, namun ideologi dengan kekerasan teologis, psiko­lo­gis, kultural, dan intelektual dengan tujuan untuk menghancurkan budaya (cultural genocide) dan mengendalikan negara lain jauh le bih berbahaya dari bom.
Berbagai bentuk aksi kekerasan yang dilakukan Wahabi membuat kebanyakan ulama dan umat Islam sadar bahwa apa yang mereka perjuangkan bukanlah Islam. Dugaan paling baik, ini pun dari titik pandang Ibn 'Abdul Wahab, yang diperjuangkan adalah pemahaman tertentu atas Islam yang sangat keras dan ekstrem. Pemahaman harfiah tertutup yang berusaha memahami Kebenaran namun karena tertutup kemudian merasa sebagai "Kebenaran" itu sendiri.
Pandangan atas gerakan Wahabi ini akan jauh berbeda jika dilihat dari titik pandang Ibn Sa'ud. Pandangan keagamaan Ibn 'Abdul Wahab yang keras dan kejam bagi Ibn Sa'ud jelas me rupakan senjata politik potensial yang sangat ampuh dan strategis. Bagi siapa pun yang tidak terbiasa memperlakukan teks-teks maupun ajaran agama secara rasional, dewasa, dan penuh perasaan, klaim-klaim dan tuduhan-tuduhan teologis akan sulit ditolak.
Ketakberdayaan di hadapan klaim dan tuduhan teologis inilah yang menjanjikan kekuasaan politik dan kekayaan bagi Ibn Sa'ud. Hal ini terlihat dari kesepakatan antara pendiri Wahabi dan pendiri Kerajaan Saudi ini, bahwa Ibn 'Abdul Wahab dan keturunan laki-lakinya akan mengendalikan otoritas keagamaan, sedangkan Ibn Sa'ud dan keturunan laki-lakinya akan memegang kekuasaan politik, dan masing-masing akan menikahi keturunan wanita yang lain agar aliansi ini bisa terus dilestarikan.
Kesepakatan ini mengantarkan pada perkawinan politik dan agama, walaupun sebenarnya mungkin tanpa disadari agama menjadi tumbal di dalamnya, dan para penganut agama yang pa hamnya berbeda menjadi korban berikutnya. Kelak terbukti bahwa, walaupun tidak sampai menyebabkan perceraian, perkawinan ini sangat duniawi. Hal ini terlihat dalam pemberontakan pengikut fanatik Wahabi di Haram pada tahun 1979 yang telah merusak banyak bagian Masjidil Haram muncul sebagai protes terhadap kebiasaan buruk keluarga kerajaan yang menyimpang dari ajaran Wahabi namun tetap mendapat dukungan ulama Wahabi sekali-pun prilaku mereka tidak benar.
Seara umum, Wahabi sebenarnya bertentangan dengan semangat Islam sendiri. Tabi'atnya yang keras, suka memvonis musyrik, kafir, dan murtad terhadap sesama Muslim, serta aksi-aksi destruktif yang gemar mereka lakukan adalah bukti yang sulit ditolak. Perbuatan mereka seutuhnya bertentangan dengan pandangan para ulama Aswaja seperti ditegaskan dalam kaedah fiqh bahwa, menolak kerusakan, kekacauan, keke­jaman dan semacamnya (maf- sâdah) harus lebih didahulukan daripada mewujudkan kesejahteraan (dar' al-mafâsid muqaddam 'alâ jalb al-mashlâlih). Dalam hal ini, Wahabi justru gemar melakukan mafsâdah demi menurut mereka mewujudkan mashlâhah (ve­rsi Wahabi).
Andai pun aksi-aksi mereka bisa diterima, ini pun sangat bertentangan dengan kerangka dasar kaedah fiqh yang lazim jadi pedoman para ulama Aswaja bahwa, jika menghadapi bahaya-bahaya yang luar biasa, maka mengatasinya adalah dengan menanggung bahaya paling kecil (yudfa'u asyaddu al-dlarûrain bi tahammuli akhaffi- himâ). Wahabi malah menyele­aikan masalah dengan masalah, dan melahirkan banyak masalah baru.
Sedangkan kegemaran mereka mengkafirkan sesama Muslim jelas merupakan pembangkangan terhadap peringatan Kanjeng Nabi Muhammad saw. bahwa, "Siapa pun yang menuduh saudaranya yang Muslim sebagai kafir, dia sendiri adalah kafir." Pada ke nyataannya, tuduhan musyrik, kafir, dan murtad adalah berdasarkan paham Wahabi. Di sini terlihat dengan jelas bahwa Wahabi telah menjelma menjadi 'agama' di dalam agama. Fakta-fakta kekejaman Wahabi ini membuat umat Islam yang berpaham Ahlussunnah wal-jamâ'ah, yang berpegang teguh pada ajaran untuk bersikap toleran dan moderat serta mendahulukan kebersamaan dan kedamaian dengan siapa pun, menolak paham Wahabi. Karena itu pula Sultan 'Utsmani merasa wajib menghntikan gerakan Wahabi dan berusaha menguburnya.
Keputusan Sultan 'Utsmani ini, selain dilandasi alasan politik, juga pertimbangan agama. Ketika Muhammad 'Ali Pasya berhasil menangkap para tokoh Wahabi, mereka diajak berdialog untuk mencari dan membuktikan kebenaran di antara mereka. Ajakan ini tidak berhasil karena tokoh-tokoh Wahabi berkepala batu dan tidak bisa menerima pandangan-pandangan yang berbeda dari paham mereka, apalagi yang bertentangan. Hal ini menunjukkan bahwa, bagi orang-orang Wahabi, paham mereka sudah merupakan kebenaran, dan ini tak bisa lain kecuali menganggap pahamnya sebagai 'agama' itu sendiri. Dan persis karena alasan itulah para penganut ajaran Wahabi menganggap Muslim non Wahabi se­bagai kafir.
Pada masa formatifnya, Wahabi selalu ditentang secara terbu-ka oleh umat Islam di daerah Hijaz dan sekitarnya. Hal ini terjadi karena ajaran Wahabi dengan jelas berte­ntangan dengan ajaran Islam sebagaimana diamalkan oleh umat Islam di daerah-daerah tersebut. Ekstremitas dan teror yang mereka lakukan, belum lagi pemaknaan harfiah secara tertutup atas teks-teks suci Islam, telah membuat umat Islam sadar akan bahaya-bahaya laten yang dikan dung Wahabi. Perselisihan antara Ibn 'Abdul Wahab dan ayahnya, penolakan oleh Sulaiman kakak kandung Ibn 'Abdul Wahab, serta penentangan oleh Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Mufti Makkah pada masanya, adalah bukti kongkret penolakan terhadap Wahabi.
Namun setelah Wahabi menguasai Makkah dan Madinah dan berhasil membangun kerajaan Saudi Arabia seperti dikenal sekarang, umat Islam daerah-daerah yang dikuasai Wahabi tidak berani lagi menolak Wahabi secara terbuka. Bagi umat Islam di daerah-daerah dimaksud tidak ada pilihan lain ke­cuali menerima Wahabi, atau nyawa mereka akan melayang, karena Wahabi seperti biasa memaksa setiap Muslim menganut Wahabi. Pen­lakan secara terbuka hanya bisa terjadi di luar daerah kekuasaan Wahabi.
Contoh lain penolakan kontemporer secara te­rbuka dilakukan oleh Muslim Bosnia beberapa tahun yang lalu. Ingin memancing di air keruh, Wahabi hadir di tengah-tengah konflik bekas Yugoslavia tersebut dengan dalih ingin menyalurkan bantuan kemanusiaan dalam bentuk pembangunan sekolah-sekolah, masjid-masjid, dan pengadaan buku-buku keagamaan. Setelah memperhatikan arsitektur masjid yang khas Wahabi (bersih dari ornamen seni arsitektural masjid pada lazimnya), kurikulum sekolah dan buku-buku pelajaran yang jelas-jelas berisi ajaran Wahabi, Muslim Bosnia sadar bahwa semua bantuan tersebut hanyalah camouflage usaha Wahabisasi Balkan. Sebagian terbesar Muslim Bosnia menolak bantuan-bantuan tersebut karena tahu semua itu akan merusak tradisi dan budaya keberagamaan mereka yang selama berabad-abad dikenal beradab dan toleran.
Sebelumnya, penolakan dan kritik keras terhadap istana kerajaan Arab Saudi dilakukan oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1979. Kebiasaan buruk keluarga istana al-Saud, seperti judi, minum, main perempuan, dan sebagainya, menjadi alasan Khomeini mengritik penguasa kerajaan yang mengklaim sebagai Pelayan Dua Kota Suci (Khâdim al-Haramain) Islam. Ketika itu dia melontarkan gagasan penting, yakni pembebasan Makkah dan Madinah dari cengkeraman Wahabi dan menempatkannya di bawah pengelolaan dan pengawasan internasional. Sebagai pemimpin Iran, Khomeini mungkin punya agenda politik sendiri, tapi jelas gagasannya sangat penting dan berharga.
Pendudukan bersenjata atas Masjid al-Haram oleh Juhayman al-Utaybi dan para pengikutnya pada 1 Muharram 1400/20 Nopember 1979 serta kritik keras dan gagasan strategis Ayatullah Khomeini telah membuat penguasa Wahabi Saudi sadar bahwa borok-borok mereka terungkap secara telanjang kedunia internasional. Hal ini sangat mengganggu dan menurunkan citra mereka sebagai Khâdim al-Haramain. Maka sejak 30 tahun yang lalu penguasa Wahabi Saudi telah membelanjakan uang yang mungkin sudah lebih dari USD 90 milyar yang disalurkan melalui Rabîthat al-'Alam al-Islâmî, International Islamic Relief Orgqanization (IIRO), dan yayasan-yayasan lain keseluruh dunia untuk membela diri dan memperbaiki citra mereka melalui wahabisasi global. Di Indonesia, Rabîthat al-'Alam al-Islâmî dan IIRO menyalurkan dananya di antaranya me­lalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), LIPIA,15 MMI, Kompak, dan lain-lain.
Seorang sayyid dan ulama non Wahabi yang sejak nenek mo yangnya telah tinggal di Hijaz, menuturkan kepada peneliti studi ini bahwa, "Bagi dunia Islam, Makkah dan Madinah laksana jantung. Jika jantung sehat, ia akan mengalirkan kesehatannya keseluruh tubuh. Jika jantung sakit, ia akan mengalirkan sakitnya keseluruh tubuh. Karena itu jantung harus sehat dan bersih. Sudah sejak sangat awal sekali para ulama besar telah berkunjung ke Makkah dan Madinah dan kembali ke kampung halamannya membawa pengaruh yang diterimanya selama di tanah suci terse­but."
Sebelum dikuasai Wahabi, kedua kota suci Makkah dan Ma-dinah pernah menjadi pusat ibadah dan kegiatan belajar semua madzhab. Pada masa itu, madzhab-madzhab yang berbe­a berdialog secara terbuka dan de­wasa, menikmati kebebasan untuk bersama-sama mencari kebenaran, bebas beribadah dan berkeyakinan sesuai dengan madzhab yang bersangkutan. Pada masa itu, para teolog (mutakallim), ahli hukum Islam (fuqahâ), para sufi (mutashaw- wifîn), dan para ahli berbagai disiplin ilmu lainnya bertemu di kota suci tersebut.
Mereka berbagi pandangan, berdialog, berdebat, serta memperdalam pemahaman dan memperkuat pengamalan agamanya. Mereka tinggal dalam rentang waktu yang lama untuk kepentingan ibadah dan belajar di kedua kota suci terse­but. Di samping mereka yang tinggal lama di tanah suci, ada para jamaah haji yang lazim memanfaatkan kesempatan selama musim haji un-tuk belajar dari para ulama berbagai madzhab, dan membawa pu-lang hikmah yang mereka peroleh selama di tanah suci.
Tokoh-tokoh besar seperti Abu Hanifah, Anas ibn Mâlik, Muhammad ibn Idris al-Syâfi'î, Ahmad ibn Hanbal, Abu Yazid al-Bisthami, Junaid al-Baghdadi, Abu Manshur al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn 'Arabi, bahkan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasjim Asy'ari termasuk di antara mereka yang berkesempatan belajar, berdialog dan berbagi pengetahuan dengan yang lain di tanah suci.
KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasjim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama) yang sempat belajar di jantung dunia Islam tersebut membawa pengaruh yang luar biasa ke Indonesia, walaupun organisasi yang digagas keduanya sangat jelas berbeda, keduanya tetap toleran dan saling menghormati, mengakui perbedaan sebagai keragaman dan kekayaan tradisi intelektual. Hal ini kontras dengan gerakan Padri yang digagas oleh Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif yang telah menunaikan ibadah haji ketika Wahabi menguasai kedua kota suci pada awal abad kesembilan belas. Virus Wahabi yang menjangkiti ketiga haji tersebut terbawa ke Sumatera Barat dan telah memicu perang saudara dan sesama Muslim yang sangat tragis dalam seja-rah Islam Nusantara.
Wahabi sebenarnya tidak hanya ditolak oleh umat Islam saja Banyak non Muslim di Barat yang menolak dan membenci Islam karena adanya aksi-aksi terorisme yang dilakukan atas nama Islam. Padahal, umat Islam non Wahabi juga menolak dan mengutuk aksi-aksi terorisme tersebut. Andai Barat tahu bahwa pelaku terorisme tersebut adalah para penganut sekte Wahabi dan sekutu ideologisnya, tentu bukan Islam yang akan mereka benci. Sekali lagi, dalam kasus ini terlihat jelas Islam menjadi tumbal dalam usaha Wahabisasi global.
Terjadinya berbagai penolakan tidak membuat Wahabi kehilangan akal. Ditolak dalam Wahabisasi secara terbuka, mereka berusaha menyusup secara samar dan tersembunyi ke­ berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia yang merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Dalam kasus Indonesia, penyusupan yang mereka lakukan tidaklah sendirian, ada kelompok-kelompok lokal yang menjadi kaki tangan Wahabi, atau secara umum memang mempunyai orientasi dan tujuan sama, yakni formalisasi Islam, yang menjadi agen penyebaran paham Wahabi.

Gerakan Transnasional di Indonesia
Relasi antara Wahabi dan kelompok-kelompok garis keras lokal memang tidak bisa sepenuhnya ditunjukkan secara organisatoris-struktural, karena lazimnya mereka malu disebut kaki tangan Wahabi. Di samping ada kontak-kontak langsung dengan tokoh-tokoh garis keras transnasional, relasi mereka juga berdasarkan kesamaan orientasi, ideologi, dan tujuan gerakan. Berbagai kelompok garis keras ini bekerjasama dalam beragam aktivitas yang mereka lakukan. Lazimnya, kelompok-kelompok ini memiliki relasi dengan organisasi transnasional yang diyakini berbahaya dan mengancam Pancasila, NKRI, dan UUD 1945, di samping juga merupakan ancaman serius terhadap Islam Indonesia yang santun dan toleran. Di antara gerakan-gerakan transnasional yang beroperasi di Indonesia adalah,
1) Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir hadir di Indonesia pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
2) Hizbut Tahrir Indo­ne­sia (HTI) dengan gagasan Pan Islamismenya yang ingin menegakkan Khilafah Islamiyah di seluruh dunia, dan menempatkan Nusantara sebagai salah satu bagian di dalamnya;
3) Wahabi yang berusaha melakukan wahabisasi global. Di antara ketiga gerakan transnasional te­rsebut, Wahabi adalah yang paling kuat, terutama dalam hal pendanaan karena punya banyak sumur minyak yang melimpah. Namun demikian, ketiga gerakan transnasional ini bahu membahu dalam mencapai tujuan mereka, yakni formalisasi Islam dalam bentuk negara dan aplikasi syari'ah sebagai hukum positif atau Khilafah Islamiyah.
Ke­hadiran Wahabi di Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dengan dukungan dana besar dari Jama'ah Salafi (Wahabi), DDII me­ngirimkan mahasiswa untuk belajar keTimur Tengah, sebagian dari mereka inilah yang ke­mudian menjadi agen-agen penyebaran ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indo­ne­sia. Belakangan, dengan dukungan penuh dana Wahabi Saudi pula, DDII mendirikan LIPIA dan kebanyakan alumninya kemudian menjadi agen Gerakan Tarbiyah dan Jama'ah Salafi di Indonesia. Dibandingkan dengan HTI, Wahabi memang jauh lebih dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Kedekatan ini berawal pada dekade 1950-an dan 1960- an ketika Gamal Abdel Nasser membubarkan Ikhwanul Muslimin yang ekstrem dan melarang semua kegiatannya di Mesir. Banyak dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin saat itu melarikan diri meninggalkan ne­garanya.

Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir pada tahun 1928. Pada dekade ini Mesir dan Palestina dijajah Inggris, Maghreb dan Syria dijajah Prancis, sedangkan Libya di jajah Itali. Secara ideologis, penjajah Timur Tengah ini bisa dilihat dalam beberapa aliran. Inggris menganut libe­ralisme­, sedangkan Itali yang sudah dikuasai Mussolini menganut fasisme. Fasisme (Fascism) berasal dari facses (Latin) atau fascio (Italia) yang adalah simbol otoritas Roma dan berarti batang-batang kecil yang diikat dalam satu kesatuan dan karena itu sulit dihancurkan atau dipatahkan. Dengan kata lain, fasisme adalah simbol kekuatan melalui persatuan.
Tujuan Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin, di antaranya, adalah untuk melawan penjajah, mengatasi kemunduran peradaban Islam, dan membawa umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni. Sayangnya, al-Banna dan para pengikut nya tampak meyakini bahwa ideologi dan sistem gerakan fasisme. Itali Mussolini dan komunisme Uni Soviet lebih berguna dalam mencapai tujuannya daripada liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan bagi setiap orang untuk mencari kebenaran dan mengamalkan ajaran agamanya. Di samping itu, al-Banna juga berkenalan dengan gagasan Wahabi, dan sejak awal sekali pola pikir totalitarianisme, sentralistik, fasisme, komunisme dan Wahabisme sudah ada dalam DNA Ikhwanul Muslimin.
Secara faktual bisa dikatakan, Ikhwanul Muslimin adalah anak kandung ideologi Barat yang sekaligus memusuhi induknya. Dari fasisme Mussolini Itali, Ikhwanul Muslimin mengadopsi sistem totalitarianisme dan negara sentralistik, namun menolak nasionalisme. Dari komunisme Uni Soviet, mereka mengadopsi totalitarianisme, sistem penyusupan dan perekrutan anggota (cell system), strategi gerakan, dan internasionalisme, namun menolak ateisme. Berdasarkan fakta ini beberapa ahli menyebut Ikhwanul Muslimin dan garis keras lainnya se­bagai Islamofasisme, yakni se buah gerakan politik yang bertujuan mewujudkan kekuasaan mutlak berdasarkan pemahaman mereka atas al-Qur'an.
Dalam membangun gerakan, Ikhwanul Muslimin menggunakan jaringan tarekat yang saat itu sangat banyak dan subur di Mesir. Bahkan hingga bisa dikatakan bahwa Ikhwanul Muslimin sendiri pada masa transformatifnya adalah sebuah tarekat namun dengan tujuan politik, bukan spiritual sebagaimana layaknya tarekat tasawuf. Maka dalam waktu yang relatif cepat, Ikhwanul Muslimin berhasil merekrut ratusan ribu anggota. Memang, salah satu motif awal Ikhwanul Muslimin adalah untuk melawan penjajah Inggris di Mesir dan tidak keras terhadap Muslim yang lain. Namun, karena watak dasar gerakan ini bersifat politis yang dikemas dengan busana agama, gairah politik sudah melekat erat dalam DNA gerakan ini. Motif politik dan keinginan merebut kekuasaan dengan semangat fasisme komunisme ini membuat Ikhwanul Muslimin sering terlibat konflik dengan penguasa.
Berakhirnya penjajahan Inggris ternyata tidak menjadi peluang emas bagi Ikhwanul Muslimin untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Merasa punya andil dalam usaha mengakhiri penjajahan, namun kemudian tidak berhasil secara politik, membuat Ikhwanul Muslimin menjadi keras dan fanatik. Hal ini mempertajam konflik dengan pemerintah ketika itu termasuk pembunuhan Perdana Mente­ri Mesir, Mahmoud an-Nukrashi Pasha pada Desember 1948 dan menyebabkan terbunuhnya pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna oleh peme­rintah Mesir.
Te­rbunuhnya Hasan al-Banna tidak membuat Ikhwanul Muslimin ikut mati, tapi semakin keras dan fanatik. Kegagalan politik Ikhwanul Muslimin ini bertemu dengan kekecewaan para opsir muda yang tidak sejalan dengan Raja Faruk ketika itu. Ikhwanul Muslimin tidak menyia-nyiakan peluang politik ini dengan mendukung gerakan para opsir yang berniat melakukan pemberon-t ak an.
Keberhasilan pemberontakan para opsir (Free Officers Revolution) kembali terbukti tidak menjadi peluang bagi Ikhwanul Muslimin untuk meraih kekuasaan politik di Mesir, karena ideologi Ikhwanul Muslimin maupun gerakan para opsir memang berseberangan sejak awal. Gamal Abdel Nasser, salah seorang opsir yang terlibat dalam pemberontakan pada tahun 1954 dan kemudian menjadi Presiden Mesir pada tahun 1956, tidak mau berbagi kekuasaan de­ngan Ikhwanul Muslimin dan be­rge­rak de­ngan gagasannya se­ndiri, Pan-Arabisme­ berdasarkan sosialisme. Ikhwanul Muslimin kecewa dan merasa dikhianati.
Sayyid Qutb, yang menjadi ideolog dan salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin setelah al-Banna dibunuh, merasa penguasa ketika itu telah be­rbuat kejam dan aniaya. Kekecewaan politik Ikhwanul Muslimin membuat Qutb dan pemimpin yang lain bersikap lebih aggresif terhadap lawan-lawan politiknya. Ditangkap dan disiksa di penjara, Qutb menyerang penguasa Mesir melalui tulisan-tulisannya, dan menuduh siapa pun yang tidak mengikuti ideologi kerasnya sebagai murtad, kafir, dan halal darahnya. Karya- karyanya sarat dengan gagasan-gagasan seperti takfir, fir'aun, serta jahiliyah modern, yang dia gunakan untuk mengkategorikan siapa pun yang tidak sejalan dengan ideologinya. Di samping pengaruh gerakan Hizbut Tahrir yang dia peroleh dari pertemuannya dengan tokoh Hizbut Tahrir selama di penjara, semua ini jelas merupakan pengaruh Wahabisme. Di samping itu, gagasan-gagasan seperti revolutionary vanguard dan international movements juga bermunculan dalam karya-karya Qutb, yang jelas merupakan pengaruh komunisme yang masih kuat pada masa itu.
Dalam tulisan-tulisan Qutb jelas terlihat bahwa para pengikut ide­ologinya harus memperjuangkan kekuasaan proletariat, supremasi ummah/syari'ah, serta terwujudnya negara Islam dan akhirnya khilafah yang sentralistik melalui revolutionary-vanguard, yaitu para pemimpin garis keras pengikut ideologi Qutb. Gagasan- gagasan Qutb ini mengilhami para pembacanya dari kalangan garis keras melakukan aksi-aksi kekerasan dan mengancam keselamatan jiwa para pejabat negara dan rakyat serta mengacaukan situasi poli-tik tidak hanya di Mesir ketika itu, tetapi di seluruh dunia hingga dewasa ini. Secara ringkas bisa dikatakan, tulisan-tulisan Qutb mengilhami para pengikut ideologinya m­nggunakan kekerasan untuk meraih ke­kuasaan.

Perkawinan Wahabi-Ikhwanul Muslimin
Tulisan-tulisan Qutb yang bernada menghasut membuat dia dieksekusi pada tahun 1966. Memang sejak tahun 1954 banyak pemimpin Ikhwanul Muslimin selain Qutb dijebloskan kepe­njara oleh Nasser. Langkah represif penguasa Mesir ini membuat banyak tokoh dan anggota Ikhwanul Muslimin merasa tidak aman lagi tinggal di Mesir, dan Arab Saudi menjadi alternatif menarik. Di antara mereka yang melarikan diri keArab Saudi adalah Said Ramadan yang termasuk salah seorang pendiri Rabithath al-'Alam al-Islami. Said Ramadan menantu Hasan al-Banna ke­mudian pindah ke Jenewa dan membawa Ikhwanul Muslimin ke Eropa dengan dukungan dana Wahabi untuk menguasai umat Islam Eropa agar menjadi pengikut ideologi Wahabi - Ikhwanul Muslimin. Tariq Ramadan putranya, cucu Hasan al-Banna melalui ibunya, sekarang adalah tokoh intelektual terkenal di Eropa.
Pada tahun 1960-an, Arab Saudi mengundang para tokoh Ikhwanul Muslimin termasuk di antaranya adalah adik kandung Sayyid Qutb, yaitu Muhammad Qutb untuk menyelamatkan diri ke Saudi. Muhammad Qutb kemudian menjadi dosen di King Abdulaziz University, Jedah, dan mengajar Osama bin Laden di antara murid lainnya.
Sikap Saudi ini merupakan refleksi ketakutan penguasa Wahabi atas gerakan Pan Arabisme Gamal Abdel Nasser yang berdasarkan sosialisme dan jelas merupakan ancaman terhadap dominasi ideologis Wahabi Saudi. Dengan mengundang Ikhwanul Muslimin, Saudi ingin sekali kayuh melampaui dua hingga tiga pulau. Pertama, Ikhwanul Muslimin yang merupakan musuh Gamal Abdel Nasser bisa menjadi sekutu strategis melawan Pan Arabisme Sosialisme Nasse­r. Kedua, para anggota Ikhwanul Muslimin yang terpelajar bisa membantu Saudi membangun dan memperkuat sistem penyebaran Wahabi kenegara lain di Timur Tengah dan akhirnya kese­luruh dunia (Wahabisasi global).
Pada dekade 60-an ini, perkawinan Wahabi - Ikhwanul Muslimin terjadi dan melahirkan keturunan gerakan garis keras yang banyak di seluruh dunia hingga dewasa ini. Keduanya berbagi fanatisme ideologis, ambisi kekuasaan sentralistik, orientasi internasional, dan formalisasi agama. Wahabi sendiri mempunyai dana besar terutama setelah harga minyak melangit pada tahun 1973 namun kurang atau tidak terdidik, sedangkan Ikhwanul Muslimin cukup terdidik namun tidak punya dana memadai. Kelak terlihat, perkawinan ini memang sangat strategis dan darinya lahir ge­akan internasional dengan ideologi, sistem, dan dana yang kuat serta terus berkembang dan meluaskan diri keseluruh dunia hingga dewasa ini.
Akhir 1970-an dan awal 1980-an merupakan suasana menegangkan bagi penguasa Saudi. Keberhasilan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, ditambah pemberontakan Juhayman al-Uteybi dan anak buahnya yang menduduki Masjidil Haram pada tahun yang sama, sudah cukup membuat penguasa Saudi sangat terancam. Pada dekade ini Presiden Me­sir, Anwar Sadat terbunuh; dan Uni Soviet menguasai Afghanistan. Pada dekade 1980-an proyek Wahabisasi global dengan dukungan dana (Saudi) dan sistem (Ikhwanul Muslimin) bergerak jauh lebih ce­pat. Hal ini dilaksanakan melalui yayasan-yayasan Wahabi seperti Rabithath al-'Alam al-Islami, al-Haramain, International Islamic Relief Organization (IIRO), dan banyak lainnya. Kelak al-Haramain ini menjadi terkenal saat PBB menyebutnya sebagai "terrorist funding entity" yang membiayai aksi-aksi teror di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia.
Perang Afghanistan melawan Uni Soviet memikat banyak anggota garis keras dari seluruh dunia, termasuk pendiri Laskat Jihad, Ja'far 'Umar Thalib, dan beberapa pelaku kampanye teror Jamaah Islamiyah, termasuk Hambali, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Bahkan, Jamaah Islamiyah yang didirikan oleh mantan anggota Darul Islam, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir punya kaitan erat dengan al-Qaedah melalui Hambali, yang sebelum ditangkap termasuk pengurus inti al-Qae­dah.
Se­cara struktural, para pe­ngurus inti al-Qae­dah be­re­tnik Arab dan be­rasal dari Timur Tengah kecuali Hambali. Hambali adalah komandan militer Jamaah Islamiyah yang berjuang untuk melenyapkan NKRI dan menggantinya dengan khilafah internasional. Jamaah Islamiyah bertanggung jawab atas banyak peledakan bom di Indonesia seperti pemboman hotel Marriott, Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bandara Soekarno Hatta, Bom Bali, pemboman di berbagai gereja, dan usaha pe­mbunuhan Duta Besar Filipina. Bahkan, bom di Masjid Istiqlal yang berskala kecil te­rmasuk aksi JI sebagai usaha menumbuhkan sentimen keagamaan bahwa ada serangan te­rhadap Islam Indonesia.
Al-Qaedah adalah keturunan lain dari perkawinan Wahabi - Ikhwanul Muslimin, yang jelas terlihat dari kehadiran para Wahabi Saudi yang dipimpin Osama bin Laden (murid Muhammad Qutb) dan Ayman al-Zawahiri bersama para pengikutnya. Al-Zawahiri yang sudah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin sejak berusia 14 tahun sangat kuat dipengaruhi Sayyid Qutb, dan adalah pemimpin kedua al-Jihad dikenal dengan nama Egyptian Islamic Jihad yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Presiden Mesir, Anwar Sadat pada tahun 1981.

Hizbut Tahrir
Mengaku kecewa dengan Ikhwanul Muslimin yang dituding terlalu moderat dan terlalu akomodatif te­rhadap Barat, Taqiuddin al-Nabhani mendirikan Hizbut Tahrir pada tahun 1952 di Jerusalem Timur yang dikuasai Yordania. Menurut al-Nabhani, umat Islam ketika itu sudah dicemari pemikiran dan emosi kapitalisme, sosialisme, nasionalisme dan sektarianisme. Karena itu dia berambisi mendirikan Khilafah Islamiyah internasional yang akan diawali dari teritori Arab dan kemudian teritori Islam non Arab. Setelah al-Nabhani wafat pada tahun 1977, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abu Yusuf Abdul Qadim Zallum yang wafat pada tahun 2003 dan kemudian digantikan oleh Ata Ibn Khaleel Abu Rashta. Ra dikalisme dan sikap agresif Hizbut Tahrir terus meningkat sejak pendiriannya hingga dewasa ini, karena itu Hizbut Tahrir dilarang di kebanyakan negara Islam di seluruh dunia, dan pusat gerakan internasionalnya sekarang berada di Inggris.
Hizbut Tahrir mengklaim bahwa gagasan-gagasan yang mereka perjuangkan adalah murni Islam. Klaim ini tidak bisa dipisahkan dari situasi pada masa pendirian dan formatifnya di Timur Tengah serta penolakan sepenuhnya terhadap apa pun yang berasal dari atau berkaitan dengan Barat. Padahal, menurut Ed Husain (seorang mantan pemimpin Hizbut Tahrir di Inggris), di samping pengaruh al-Mawardi, pemikiran al-Nabhani jelas dipengaruhi oleh Hegel, Rousseau dan tokoh-tokoh Eropa lainnya. Bahkan, pemikiran politik al-Nabhani dan dengan demikian Hizbut Tahrir sepenuhnya berasal dari pemikiran politik Eropa. Hanya saja, al-Nabhani mengganti term-term yang berasal dari Barat dengan term-term berbahasa Arab sehingga bernuansa Islam.
Para tokoh Hizbut Tahrir melihat umat Islam dewasa ini berada dalam masa jahiliyyah sebagai akibat runtuhnya khilafah. Mereka bisa mengatasinya dengan mengakhiri 'ketundukan' pada Barat, memperoleh kembali identitas kolektifnya, dan yang terpenting menegakkan kembali khilafah internasional dan di dalamnya hukum Islam akan diberlakukan sebagai hukum positif. Dalam kaitan ini, Hizbut Tahrir meyakini bahwa hanya khalifah yang berhak memutuskan perang, karena itu hingga saat ini mereka menjalankan strategi penyusupan dan menunda cara-cara militer dan kekerasan dalam meraih kekuasaan, sampai mereka yakin akan menang dan berhasil dalam merebut kekuasaan untuk mendirikan khilafah mereka.
Ada tiga tahap perjuangan Hizbut Tahrir dalam usaha menegakkan khilafah internasional. Pertama, membangun partai (hizb). Pada tahap ini para agen Hizbut Tahrir melakukan rekrutmen anggota baru, mereka membinanya dalam kurun waktu yang bisa ber langsung selama enam bulan hingga tiga tahun, tergantung pada progres masing-masing mereka. Tahap ini bisa dikatakan sebagai proses cuci otak dan pembentukan pribadi Islami a la Hizbut Tahrir, biasanya dilakukan dalam halaqah-halaqah. Pada tahap ini tokoh atau anggota Hizbut Tahrir juga akan membuka hubungan dengan umat untuk menyampaikan gagasan dan metode perjuangan mereka secara pribadi.
Kedua, berinteraksi dengan masyarakat. Dalam tahap ini, anggota yang telah lulus dari tahap pertama membentuk sel-sel baru dan mulai aktif mengaitkan kasus-kasus lokal dengan masalah-masalah global dan membakar massa untuk membangun ketegangan sosial antara rakyat dan pemerintah, untuk ke­mudian mulai menawarkan jalan Islam sebagai alternatif keluar dari ketegangan yang telah dibangunnya. Target utama mereka adalah untuk menyusup kedalam pemerintahan dan militer, agar kelak melapangkan jalan dalam merebut kekuasaan. Di seluruh dunia, tahap kedua inilah yang paling banyak beroperasi, dan agen-agen Hizbut Tahrir sudah aktif di lebih 40 negara, termasuk Indonesia di mana pada 12 Agustus 2007 mereka mengumpulkan lebih dari 80 ribu orang di Gelora Bung Karno untuk menyerukan pendirian Khilafah Islamiyah dan melenyapkan Pancasila dan NKRI.
Ketiga, merebut kekuasaan. Tahap terakhir ini akan dilancarkan setelah mereka yakin akan menang dan berhasil merebut kekuasaan, yang antara lain akan ditandai dengan tingkat keberhasilan mereka menyusup kedalam pemerintahan dan militer. Setelah berkuasa, mereka siap memaksakan penafsiran tentang Islam a la Hizbut Tahrir dalam semua bidang kehidupan umat manusia.
Secara umum, sebagai akibat dari obsesi ideologi politik mereka, Hizbut Tahrir hampa spiritualitas sehingga gerakan yang dibangunnya kering dan cenderung supremasis. Bahkan, dalam banyak kasus, mayoritas aktivis Hizbut Tahrir tidak mengerti tentang Islam dan hanya mengetahui aspek-aspek yang sangat artifisial. Sangat ironis, bagaimana mungkin mereka yang tidak mengerti tentang Islam akan memperjuangkan Islam. Lemahnya pemahaman yang mendalam ini menjadi penyebab utama mereka terlena dan tergoda memperjuangkan gagasan yang dike­mas dalam te­rm-te­rm Arab yang ide­ntik de­ngan Islam. Se­cara umum, re­to­rika kelompok- kelompok seperti ini adalah pengantar pada aksi-aksi kekerasan. Di dalamnya agama telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menyediakan dorongan teologis bagi para pengikut garis keras agar bersedia melakukan apa pun, hingga membunuh atau bunuh diri sekalipun jika dibutuhkan, demi mencapai tujuan politik mereka.

Tiga Aspek Kekerasan
Ketiga gerakan transnasional ini (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir), hadir di Indonesia baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem, didukung kekuatan dana dan sistem penyusupan a la komunisme­, gerakan-gerakan transnasional ini menyusup kehampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dan toleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak menguasai. Kekerasan yang mereka lakukan bisa dilihat dalam beberapa aspek.
Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literalter tutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini, literalisme trtutup te­lah memutus relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan-pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka.
Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenaran sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda, dan praktik-praktik keagamaan umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan/ atau kafir. Kelompok-kelompok garis keras menolak eksistensi tradisi, karena itu mereka lazim menolak be­madzhab (allâ madzhabiyyah), menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktik yang merupakan buah dari komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi dan budaya umat Islam di berbagai daerah se­panjang sejarah. Akibatnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru Kanjeng Nabi, para anggota garis keras berpakaian a la busana Arab seperti gamis dan sorban, memanjangkan jenggot, namun mereka abaikan atas akhlak Kanjeng Nabi, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya.
Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasan pertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yang dituduh musyrik, murtad, dan/atau kafir. Kekerasan so­ial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam negara di manapun tempat mereka me­nyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalahkaprahan dalam memahami Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan dengan tidak semestinya. Kebenaran, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideologis, bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan.
Me­nurut seorang pejabat tinggi Departemen Pe­rtahanan Republik Indonesia (Dephan RI), ancaman terhadap Indonesia tidak datang dalam bentuk militer dari luar negeri. Ancaman yang sebenarnya justru berada di dalam negeri, dalam bentuk gerakan ideologi garis keras. Senjata untuk mengatasinya adalah Pancasila.

Motivasi Agen Garis Keras
Afiliasi tokoh-tokoh atau individu-individu aktivis garis keras lokal dengan salah satu gerakan transnasional tersebut terutama disebabkan oleh faktor-faktor seperti keuntungan finansial, kesempatan untuk mendapat kekuasaan, lingkungan dan/atau dislokasi sosial, dan/atau lemahnya pemahaman atas ajaran agama, terutama dalam hal spiritualitas.
Faktor finansial merupakan bisnis terselubung gerakan garis keras. Seorang mantan tokoh Laskar Jihad di Indonesia secara terbuka menyatakan kepada peneliti kami, ketika aktif dalam gerakan dia mendapat tunjangan tak kurang dari Rp 3 juta setiap bulan. Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, godaan materi ini sangat berpengaruh bagi mereka yang masih lemah imannya. Hal ini bisa dimengerti, dana yang sangat besar memang bisa menghanyutkan iman dan menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan para agennya. Keuntungan finansial ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para petualang yang ingin mendapat keuntungan instan tanpa perlu bekerja keras.
Orang-orang yang merasa punya kemampuan namun tidak punya peran sosial yang diimpikan, sering menemukan aktualisasi diri dalam kelompok-kelompok garis keras. Di dalamnya mereka mendapatkan peran dan posisi penting karena mampu merekrut dan mengatur pengikutnya serta menarik perhatian publik. Semakin banyak memperoleh pengikut dan sering muncul dalam liputan pers, semakin terpuaskan keinginannya untuk dianggap penting dan mendapat perhatian publik. Sepertinya publikasi pers menjadi pemuas impian yang telah lama tak tercapai untuk menjadi orang penting dan terkenal. Hal ini terlihat jelas antara lain dalam sebuah interview kolumnis asing dengan salah se­orang Pimpinan kelompok garis keras pada bulan April 2007.
Namun faktor terpenting dan barangkali menjadi alasan kebanyakan orang terpesona dengan gerakan garis keras adalah dangkalnya pemahaman mereka tentang agama (baca: ajaran Islam). Jargon-jargon garis keras seperti membela Islam, penerapan syarî'ah, maupun penegakan Khilafah Islamiyah, bagi umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman mendalam tentang ajaran agamanya bisa menjadi ungkapan yang sangat ampuh dan mempesona. Pada saat yang sama, para penolak jargon-jargon tersebut bisa dengan mudah dituduh menolak syarî'ah, bahkan menolak Islam. Tuduhan semacam ini lazim dilontarkan oleh orang-orang yang merasa sok tahu tentang Islam, mereka yang merasa sebagai yang paling benar dalam memahami Islam.
Sikap arogan ini membuat mereka lebih suka menyalahkan siapa pun yang tidak sama dengan dirinya, dan tidak mampu melakukan introspeksi. Sikap demikian lahir karena tidak adanya sikap berislam secara sejati, sikap berserah diri seutuhnya kepada Allah swt. dan rendah hati sepenuhnya sebagaimana pesan utama Islam sendiri. Dangkalnya pemahaman ini menjelma menjadi kesalahkaprahan akut, mereka tidak mampu membedakan antara sumber ajaran Islam dari pemahaman atas sumber ajaran tersebut. Mereka juga tidak mampu mengurai kompleksitas relasi antara ajaran agama dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam hal ini, agama yang mengandung pesan-pesan luhur dan sangat menekankan akhlak mulia, kemudian direduksi menjadi seperangkat diktum yang tak berperasaan berdasarkan ba-tasan-batasan ideologis dan/atau platform partai.
Sungguh sayang, sementara beberapa umat Islam baik yang awam maupun yang berpendidikan tinggi telah dengan tulus mendukung agenda garis keras semata karena terpesona de­ngan jargon-jargon yang mereka gunakan, para tokohnya terus membangun simbiosa mutualistik dengan para oportunis, individu yang sangat dangkal pemahamannya tentang Islam, atau yang ide­alis yang darinya keuntungan personal diperoleh. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa ada kelompok-kelompok garis keras yang me­re­krut anggota baru dengan sistem sel seperti dilakukan Ikhwanul Muslimin dan HTI, karena dengan cara demikian mereka bisa lebih mudah dan efektif mengendalikan pengikutnya. Perekrutan dengan sistem sel merupakan media paling mudah untuk reorientasi, atau cuci otak, berdasarkan ideologi gerakan mereka. Di samping itu, keanggotaan berjenjang dan tertutup ini juga ampuh membungkam pertanyaan para anggota baru atas hal-hal yang bersifat sensitif, termasuk masalah finansial.
Gayung bersambut, baik Wahabi maupun para petualang lokal sama-sama mendapat keuntungan. Wahabi yang tidak bisa hadir secara terbuka karena tentu akan ditolak oleh umat Islam yang mengerti sejarah dan ajaran mereka untuk menanamkan pahamnya di Indonesia, beruntung karena ada para petualang yang bersedia menjadi kaki tangannya untuk menyebarkan ideologi mereka. Sedangkan para petualang lokal mendapat keuntungan finansial dari aliran petrodolar yang luar biasa deras.
Terlepas dari alasan finansial tersebut, bersama-sama dengan Ikhwanul Muslimin dan HTI, Wahabi telah mempengaruhi umat Islam setempat dengan pahamnya yang ekstrem. Walaupun memiliki perspektif yang berbeda, termasuk dalam beberapa detail pemahaman keagamaan, tujuan akhir mereka mirip, yakni formalisasi Islam. Untuk mencapai tujuan ini, kelompok-kelompok garis keras menggunakan segala cara, bahkan yang bertentangan dengan ajaran Islam sekalipun. Fakta ini hanya menegaskan sebaliknya. Jika mereka memang me­mpe­rjuangkan Islam, te­ntu me­re­- ka akan me­nghindari cara-cara yang be­rte­ntangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Prinsip yang lazim menjadi pegangan para ulama Ahlussunnah wal-jamâ'ah menegaskan bahwa tujuan tidak bisa membenarkan cara (al-ghâyah lâ tubarrir al-washîlah atau Man kâna amruhu ma'rûfan fal-yakun bi ma'rûfin). Artinya, cara tidak akan menjadi baik karena tujuannya baik; atau, siapa pun yang mempunyai tujuan baik hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Tujuan baik, jika diusahakan dengan cara-cara buruk, tentu akan menodai kebaikan itu sendiri dan bertentangan.

Infiltrasi Ideologi Wahabi Pertama di Indonesia: Gerakan Padri
Selama beberapa dekade yang lalu, sebagaimana dipaparkan dalam pelajaran sejarah resmi di sekolah-sekolah, Perang Padri lebih dikenal sebagai perang melawan pendudukan penjajah Belanda. Para Padri dikenal sebagai pahlawan yang dengan gagah berjuang/berperang membela tanah air. Sisi kekerasan dan afiliasi mereka dengan ajaran Wahabi sama sekali tidak terungkap dan hanya beredar di antara para ahli saja. Dalam hal ini, sangat berharga untuk mengetahui penggalan lain sejarah Gerakan Padri tersebut.
Gerakan Padri berawal dari perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif dengan Wahabi saat menunaikan ibadah haji pada awal abad ke19, ketika itu Makkah dan Madinah dikuasai Wahabi. Terpesona oleh gerakan Wahabi, sekembalinya ke Nusantara (Indonesia) Haji Miskin berusaha melakukan gerakan pemurnian sebagaimana dilakukan Wahabi, yang juga didukung oleh dua haji yang lain.
Pemikiran dan gerakan mereka setali tiga uang dengan Wahabi, mereka memvonis tarekat Syattariyah, dan tasawuf secara umumnya, yang telah hadir di Minangkabau beberapa abad sebelumnya sebagai kesesatan yang tidak bisa ditoleransi, di dalamnya banyak takhayul, bid'ah, dan khurafat yang harus diluruskan, kalau perlu diperangi. Tuanku Nan Renceh, misalnya, memusuhi Tuanku Nan Tuo, gurunya sendiri karena yang disebut terakhir lebih memilih bersikap moderat dalam mengajarkan Islam. Tuanku Nan Renceh juga mengkafir kan Fakih Saghir, sahabat dan teman seperguruannya, dan menyebutnya sebagai raja kafir dan rahib tua hanya karena tidak berbagi pandangan keagamaan dengannya.
Beberapa kekerasan yang dilakukan Padri, selain mengikuti kegemaran Wahabi memusyrikkan, mengkafirkan, dan memurtadkan siapa pun yang berbeda, mereka juga menerapkan hukum yang sama sekali asing dalam diktum hukum Islam, seperti kewajiban memelihara jenggot dan didenda 2 suku (setara dengan 1 gulden) bagi yang mencukurnya; larangan memotong gigi dengan ancaman denda seekor kerbau bagi pelanggarnya; denda 2 suku bagi laki-laki yang lututnya terbuka; denda 3 suku bagi perempuan yang tidak menutup sekujur tubuhnya kecuali mata dan tangan; denda 5 suku bagi yang meninggalkan shalat fardlu untuk pertama kali, dan hukum mati untuk berikutnya.
Para Padri juga melegalkan perbudakan. Tuanku Imam Bonjol, tokoh Padri terkemuka dan dikenal sebagai pahlawan nasional, mempunyai tujuh puluh orang budak laki-laki dan perempuan. Budak-budak ini sebagian merupakan hasil rampasan perang yang mereka lancarkan kepada sesama Muslim karena dianggap kafir.
Kekerasan lain yang dilakukan Padri terhadap sesama Muslim di Minangkabau, antara lain penyerangan terhadap istana Pagaruyung pada tahun 1809. Serangan ini diawali oleh tuduhan Tuanku Lelo, tokoh Padri, bahwa beberapa keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang, dan seorang anak raja lainnya, tidak menjalankan akidah Islam secara benar dan dianggap kafir, sehingga harus dibunuh. Pembantaian massal pun dilakukan terhadap para anggota keluarga dan pembantu raja, termasuk para penghulu yang dekat dengan istana.
Pada tahun 1815, serangan dilakukan kembali dibawah komando Tanku Lintau. Dalam se rangan kali ini, gerakan Padri membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan yang telah memeluk Islam sejak abad ke16 itu. Kekeja man Padri tidak hanya dalam hal itu saja. Tercatat, Tuanku Nan Renceh telah menghukum bunuh bibinya sendiri yang sudah tua, dan tidak membolehkan je­nazahnya dikubur tetapi dibuang kehutan, semata karena mengunyah sirih yang diharamkan Wahabi.
Apa yang dilakukan kaum Padri ini sama belaka dengan yang dilakukan oleh Wahabi pada masa formasinya dan oleh pengikutnya seperti al-Qaedah dan Taliban sampai de­wasa ini.
Gerakan Padri berakhir, di samping karena faktor penjajahan, juga karena secara alamiah bertentangan dengan suasana, tradisi, dan budaya bangsa Indonesia. Fakta ini merupakan bukti kongkret betapa virus Wahabi yang menjangkiti jantung dunia Islam bisa menyebar dengan cepat keseluruh tubuh dunia Islam. Berakhirnya gerakan Padri tidak mengakhiri penyusupan Wahabi keIndonesia.

Infiltrasi Gerakan Transnasional pada Masa Orde Baru hingga Dewasa ini
Sejak dekade 1970-an, ketika umat Islam Indonesia kesulitan keuangan untuk membiayai studi para mahasiswa belajar ke luar negeri, Wahabi menyediakan dana yang lumayan besar melalui DDII untuk membiayai mahasiswa belajar ke beberapa negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Belakangan, kebanyakan alumni program ini menjadi agen penyebaran paham transnasional dari Timur Tengah ke Indonesia. Tidak berhenti di situ, dengan dukungan dana Wahabi pula, DDII mendirikan LIPIA, dan kebanyakan alumninya kemudian memainkan peran yang berpengaruh sebagai agen Salafi (Wahabi) dan Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin). DDII pula yang telah meletakkan dasar gerakan dakwah di kampus-kampus, dan sebagaimana alumni Timur Tengah, mereka juga menjadi para agen penyusupan paham gerakan transnasional ke Indonesia.
Masih dengan dukungan dana Wahabi, DDII juga memainkan peran penting dalam penerjemahan buku-buku dan penyebaran gagasan tokoh-tokoh gerakan transnasional seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Abul A'la Maududi, Yusuf Qardawi, dan lain-lain. Penerbitan Sabili yang mencapai tiras 100.000 eksemplar diduga tidak lepas dari dukungan dana Wahabi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembentukan DDII tidak terlepas dari pembubaran Masyumi yang saat itu dikuasai oleh kelompok puritan, modernis. Namun pasti tidak benar melakukan generalisasi bahwa para tokoh modernis adalah agen gerakan transnasional, tetapi Wahabi - Ikhwanul Muslimin dengan cerdas melihat peluang-peluang sekecil apa pun untuk menyusup kedalam organisasi modernis untuk kemudian memanfaatkannya demi penyebaran ideologinya.
Selain DDII, menjelang dan setelah Orde Baru tumbang, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok-kelompok garis keras lokal yang tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Beberapa di antara kelompok ini antara lain Fron Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, Majlis Mujahidin Indo­ne­sia (MMI), PKS, Komite Persiapan Penerapan Syarî'ah Islam (KPPSI) di beberapa daerah, dan lain-lain. Dalam momen inilah, Ikhwanul Muslimin (yaitu PKS dan Hizbut Tahrir menampakkan diri secara terbuka di Indonesia. Hingga saat ini, gerakan kelompok-kelompok garis keras sudah menyebar seperti kanker keseluruh tubuh bangsa, mereka menyusup dari istana negara hingga kepegunungan. Hasil penelitian lapangan dan konsultasi seperti dipaparkan buku ini menunjukkan dengan jelas bahwa gerakan mereka sangat sistematis, terencana, dan dengan dukungan dana yang luar biasa.
Pola-pola penyusupan yang mereka lakukan sangat beragam, seperti pendekatan finansial hingga hal-hal yang tak terpikirkan seperti melalui layanan kebersihan (cleaning service) gratis di masjid-masjid, bahkan dengan pola akademis atau berbagi penge­ahuan. Dalam kaitan ini, pada akhir tahun 2005, proposal dari sebuah LSM telah ditujukan kepada Kepala Negara berisi tawaran kerjasama dalam penyaluran dana sebesar 500 juta dollar AS yang diparkir di beberapa bank asing di Luar Negeri. Jika pemerintah RI mengizinkan dana tersebut masuk dan mau bekerjasama, LSM tersebut memberi tawaran: 40% dari dana itu, yaitu USD 200 juta, untuk dimanfaatkan Kabinet RI, dan LSM dimaksud akan menggunakan 60% untuk melakukan berbagai pro­ram pembangunan non APBN/APBD, khususnya untuk "infrastruktur pendidikan kemuliaan akhlak," terutama di Sulawesi Tengah yang baru saja keluar dari konflik bersenjata yang di dalamnya kelompok-kelompok garis keras terlibat dengan jelas. Tidak cukup sampai di situ, proposal itu menyebutkan bahwa jika pemerintah RI tertarik dengan dana itu, maka "Dari pihak LSM mengharapkan diberikan kesempatan (lis­nsi) untuk menempatkan personilnya di dalam Lembaga Perencanaan Negara dan Pengawasan Negara (Tim Ekonomi RI)."
Sumber confidential di lingkungan istana yang mengetahui proposal te­rsebut menyatakan kepada peneliti kami bahwa dana itu berasal dari Arab Saudi dan, melalui beberapa bank di Malaysia, dicoba dimasukkan ke Indonesia melalui jalur resmi (izin pe merintah) mengingat jumlahnya yang teramat fantastis. Sumber kami menambahkan, proposal tersebut tiba-tiba lenyap dari istana karena ada pribadi-pribadi yang sangat prihatin pada dampak buruk proposal tersebut jika betul-betul dise­tujui. Namun yang jelas kasus ini menunjukkan adanya upaya intervensi kekuasaan Timur Tengah terhadap Indonesia de­ngan dukungan dana yang sangat be­sar.
Usaha-usaha penyusupan secara finansial banyak dilakukan kepada orang-orang terkemuka yang diduga bisa dibeli. Ada beberapa yang memang dengan senang hati menikmati dana Wahabi dan rela menjadi saluran penyebaran ideologinya. Namun ada juga tokoh-tokoh yang lebih mencintai bangsa dan negaranya, lebih meyakini kebenaran ajaran Islam yang toleran dan moderat dari pada ideologi yang keras dan ekstrem, dan dengan tegas menolak godaan dana Wahabi. Kasus yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, adalah contoh menarik. Rektor UIN Sunan Kalijaga, pernah didatangi 2 orang Arab Saudi yang membawa beberapa keping cd berisi buku-buku Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kepada Rektor, kedua orang itu menawarkan uang untuk menggunakan nama UIN Sunan Kalijaga sebagai penerbit. Tawaran itu ditolak oleh Rektor karena ia tahu bahwa buku itu mengandung ajaran dan paham ekstrem yang akan disebarkan untuk mewahabikan Islam Indone­sia me­alui UIN Sunan Kalijaga. Sayang, tidak semua orang Indonesia berakhlak mulia seperti Rektor tersebut, sehingga mereka rela menjual agama, rela menjadi agen Wahabi, dan rela mengorbankan masa depan bangsa dan negara kita. Dari sini jelas lagi bahwa Wahabi tidak hanya membiayai terorisme, tetapi juga penyebaran ideologi.
Penyerobotan masjid ini merupakan salah satu saja dari sekian cara penyusupan kelompok garis keras. Penyusupan dengan pola-pola akademis lazim dilakukan kepada dewan penyantun, pimpinan kampus, pengurus senat mahasiswa, dan lain-lain. Bahkan juga mendirikan jaringan sekolah-sekolah sendiri, seperti sekolah-sekolah "Islam Terpadu." Dari situ jelas bahwa kelompok-kelompok dakwah kampus bergerak secara sistematis untuk menguasai dunia pendidikan dan masa depan Indonesia dengan pandangan Wahabi - Ikhwanul Muslimin maupun Hizbut Tahrir.
Usaha merebut lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah lebih mudah dibanding usaha merebut lembaga-lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan NU, bahkan lebih mudha lagi merebut lembaga-lembaga pendidikan umum yang tidak berafiliasi baik dengan NU maupun Muhammadiyah. Institusi di lingkungan Muhammadiyah lebih diikat dengan relasi formal-struktural, sedangkan di lingkungan NU lebih bersifat emosional kultural. Di samping itu, banyak anggota Muhammadiyah tampak lebih reseptif pada gagasan-gagasan kelompok garis keras karena orientasi purifikasi Muhammadiyah yang tidak politis mirip dengan gerakan garis keras yang menjadikan gerakan purifikasi sebagai salah satu proyeknya. Banyak mahasiswa di lembaga-lembaga pendidikan umum yang tidak berafilisasi dengan keduanya, hampir sama sekali tidak punya alasan atau kemampuan teologis untuk menolak ideologi garis keras karena tidak mempunyai pengetahuan yang men- alam tentang Islam.

Bahaya di Pelupuk Mata
Wahabi, di samping dua rekannya yang sama-sama keras dan ekstrem, punya andil besar dalam berbagai kekerasan yang selama ini terjadi di seluruh dunia, baik kekerasan doktrinal, kultural, maupun sosial. Namun demikian, kebanyakan umat Islam Indonesia kerap tidak menyadari bahaya laten yang dibawa kelompok- kelompok garis keras ini semata karena kesadaran normatif yang begitu kuat. Umat Islam Indonesia selama ini cenderung melihat Islam sebagai identik dengan Arab, dan s­baliknya. Karena itu, setiap yang datang dari Arab nyaris tidak pernah dicurigai dan mudah diterima. Hal ini disebabkan kesadaran normatif Muslim Indonesia yang melihat Arab sebagai tempat diturunkannya Islam. Karena alasan inilah umat Islam Indonesia tampak enggan mengkritisi Wahabi yang merupakan paham resmi penguasa Kerajaan Arab Saudi. Sejatinya, sikap hormat tidak perlu menafikan rasion alitas dan sikap kritis.
Secara ringkas bisa dikemukakan bahwa agenda utama kelo­m-pok-kelompok garis keras adalah untuk meraih kekuasaan politik melalui formalisasi agama. Mereka mengklaim, jika Islam menjadi dasar negara, jika syarî'ah ditetapkan sebagai hukum positif, jika Khilâfah Islamiyah ditegakkan, maka semua masalah akan selesai. Semua ini adalah utopia. Jika saja mereka memahami respon 'Ali ibn Abi Thalib kepada Khawârij menjelang Tahkîm, akan sangat jelas bahwa sebaik apa pun ajaran dan pesan agama se­bagaimana termaktub dalam kitab suci, semua tergantung pada pembaca dan penganutnya, tentu mereka tidak akan memanfaatkan agama untuk meraih kekuasaan politik. Namun, sudah jamak disuarakan, gerakan-gerakan garis keras (terutama Wahabi) sebenarnya adalah reinkarnasi Khawârij. Karena itu, mustahil neo Khawârij bersibuk memahami respon 'Ali tetapi gigih mengkafirkan umat Islam lain yang berbeda dari atau bahkan bertentangan dengan mereka dan memperjuangkan formalisasi agama untuk mencapai tujuan poli-tiknya.
Memang, tentu ada relasi antara berbagai permasalahan sosial dengan pengabaian terhadap ajaran agama. Seperti korupsi, kolusi, nepo­tisme­, kemiskinan, kebodohan, dan semacamnya. Tapi solusinya bukanlah pada formalisasi agama, melainkan pada perbaikan akhlak idividu-individu sebagai para penganut agama. Solusi formalisasi agama lebih sebagai dalih untuk mencapai suatu tujuan politik daripada untuk memperbaiki permasalahan sosial. Karena permasalahan sebenarnya bukanlah pada agama yang tidak diformalkan tetapi pada para penganut agama yang mengabaikan pesan-pesan luhur agamanya.
Formalisasi agama jelas sangat membahayakan, baik bagi agama itu sendiri maupun penganutnya/bangsa Indonesia. Dengan formalisasi, agama akan diamputasi sedemikian rupa, dilepaskan dari konteks sosial dan kultural masa risalah, disapih dari pertum-buhannya sepanjang sejarah, dan pesan-pesannya akan ditentukan berdasarkan bingkai ideologis dan/atau platform partai politik. Dalam situasi demikian, identitas dan simbol-simbol keagamaan menjadi bagian terpenting, bahkan lebih penting dari substansi pesan agama itu sendiri, untuk diperjuangkan. Mereka mengejar simbol-simbol, bukan mengamalkan substansi ajaran agama.
Beberapa contoh gairah memperjuangkan simbol ini bisa dikemukakan, baik yang bersifat personal maupun publik. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Tuhan akan mencintai hamba-hamba Nya yang mempunyai tanda hitam di dahinya. Berdasarkan riwayat ini, sangat banyak aktivis kelompok garis keras yang berusaha membuat dahinya hitam, padahal yang dimaksudkan adalah banyak bersujud, beribadah, berserah diri kepada Allah swt., berusaha mencinta Nya dengan sepenuh hati sehingga dia juga akan mencintai seluruh makhluk Nya. Mereka berpikir bahwa tanda hitam itu akan ditunjukkan sebagai bukti ke­pada Tuhan ke­lak di akhirat, padahal Allah swt. me­lihat hati dan pe­rbuatan, bukan symbol - simbol. Demikian pula dengan jenggo­t dan pakaian. Dugaan terbaik, hal ini disebabkan tidak adanya kemampuan membedakan antara substansi ajaran agama dari simbol-simbol keagamaan atau budaya. Hal ini wajar, karena pemahaman mereka bersifat harfiah belaka. Namun kemungkinan lainnya, semua ini digunakan sebagai identitas politik untuk membedakan dari kelompok lain yang moderat dan toleran, yang memahami pesan agama lebih pada tataran substansi daripada tataran dan tanda artifisial.
Pembacaan secara harfiah dan mengutamakan simbol-simbol ini akan mengarahkan umat menjadi monolitik, penyeragaman. Tidak heran jika kelompok-kelompok garis keras kemudian menolak pluralisme, baik pluralisme agama-agama maupun dalam agama. Hal ini sangat berbahaya karena tidak akan pernah ada celah untuk perbedaan, setiap yang berbeda, dengan menggunakan term-term teologis, akan divonis kafir, murtad dan semacam nya. Pengkafiran, kebiasaan buruk Khawârij dan para pengikutnya (neo Khawarij) ini, belakangan sangat subur di Indonesia. Gejala ini seharusnya menyadarkan kita bahwa bahaya sebenarnya bukan jauh di luar negeri, tetapi sudah di dalam selimut.
Dalam hubungannya dengan agama-agama lain, dengan indah Nabi menuturkan, "Nahnu abnâ'u 'allât, abûnâ wâhid wa ummunâ syattâ" (Kami [para rasul] adalah anak-anak para istri dari seorang laki-laki, ayah kami satu namun ibu kami banyak). Dalam keluarga umat manusia, para rasul mempunyai ayah (agama) yang sama, yakni Islam (dalam arti berserah diri ke­pada Tuhan), namun mempunyai ibu (syir'ah wa minhâj) yang banyak/berbeda-beda. Ini adalah pengakuan atas pluralisme, dan inilah yang ditolak oleh ke lompok garis keras.
Formalisasi hukum Islam sebagai hukum positif melalui Perda-perda Syarî'ah di beberapa daerah merupakan strategi "desa mengepung kota" garis keras. "Jika daerah-daerah telah menerapkan syarî'ah Islam sebagai hukum positif, maka tidak akan ada alasan untuk menolaknya secara nasional," jelas tokoh-tokoh kelompok garis keras kepada peneliti kami terkait usaha formalisasi hukum Islam yang mereka lakukan. Sialnya, perda-perda dimaksud lebih merupakan aplikasi harfiah dan parsial atas hukum Islam, maka bisa dipastikan akan menimbulkan distorsi dan reduksi terhadap Islam itu sendiri, di samping diskriminasi dan alienasi terhadap non Muslim maupun Muslim sendiri.
Seperti diketahui, kelompok-kelompok garis keras memahami teks-teks kegamaan secara harfiah, dan mengabaikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mendukung kepentingan mereka. Maka pesan agama pun direduksi sebatas makna atau pesan yang bisa disampaikan dalam rangkaian huruf-huruf saja sesuai dengan ideologi mereka. Ayat-ayat atau hadits-hadits tentang peminum, pencuri, atau pembunuh misalnya, diturunkan ke dalam diktum hukum yang sangat harfiah dan dengan sanksi bermotif dendam. Pertanyaan mendasarnya, apakah ayat-ayat dan hadits-hadits te­rsebut dikemukakan memang untuk mencambuki peminum, membuntungi tangan dan kaki pencuri, dan membunuh para pembunuh? Jika jawabannya positif, di mana letak pesan utama Islam sebagai rahmat bagi seluruh makhluk dan misi Kanjeng Nabi Muhammad saw. untuk menyempurnakan akhlak mu lia? Ketika rahmat dan akhlak mulia tidak lagi ditemukan dalam aplikasi pesan-pesan agama, maka pasti agama sudah dibaca secara keliru dan pemahaman seperti itu tidak bisa diterima.
Pembacaan secara harfiah dan parsial memang sangat menguntungkan untuk membingkai pesan-pesan agama dengan ideologi dan/atau platform partai politik. Karena dengan dalih makna (harfiah), seseorang atau kelompok tertentu bisa menyembunyikan agenda politiknya pada saat membajak ajaran agama. Siapa pun yang tidak akrab dengan kompleksitas ta'wîl teks-teks keagamaan sebagaimana populer di kalangan ulama Ahlussunnah wal-Jamâ'ah, bisa kesulitan menghadapi klaim-klaim teologis kelompok-kelompok garis keras yang didasarkan pada makna-makna harfiah. Bahkan, mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun bisa ditipu untuk mendukung agenda politiknya, seperti dibuktikan dalam studi ini bahwa banyak mahasiswa dan para profesional yang simpati dan bahkan menjadi pengikut PKS atau HTI.
Formalisasi agama memang anak kandung pembacaan harfiah atas teks-teks agama dan sangat berbahaya, baik bagi agama itu sendiri, para penganutnya, maupun penganut agama yang berbeda. Pesan-pesan luhur agama direduksi pada tingkat kepentingan ideologis, pemaknaan yang monolitik akan mengarah pada penyeragaman para penganut agama, dan penganut agama yang berbeda akan terpinggirkan, teralienasi dari komunitas umat beragama yang ekstrem. Di sini pluralisme terasa ganjil bagi pejuang formalisasi agama, karena formalisasi dan pemaknaan harfiah ini pula, kelompok-kelompok garis keras sulit menerima kehadiran non Muslim dan Muslim dengan paham yang berbeda.
Memang, dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad saw. be­rkata, "Aku diperintahkan memerangi siapa pun hingga mereka bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah" (Umirtu an uqâtil al-nâs hattâ yasyhadû lâ Ilâh ill Allâh). Di tangan kelompok garis keras, ini jelas keteladanan untuk menghabisi non Muslim, dan perang melawan non Muslim menemukan landasan legalteologisnya. Namun ini bukanlah satu-satunya pe­mbacaan. Hadits ini bisa bermakna lain dalam hati siapa pun yang akrab de­- ngan kompleksitas ta'wîl dan peduli pada keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi saw.
Jika Islam merupakan rahmat bagi seluruh makhluk (bukan hanya Muslim), maka tidak mungkin Nabi menyatakan dirinya diperintahkan membantai non Muslim. Jika misi Nabi adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia, maka pembunuhan, dari sudut pandang mana pun dan terhadap siapa pun, sangatlah tidak bermoral. Maka hadits ini harus dibaca dalam konteks keseluruhan pesan Islam dan misi Nabi saw. Pembacaan secara parsial hanya akan menyebabkan agama menjadi sumber kebingungan.
Berdasarkan mata rantai transmisinya, hadits ini bisa diterima memang dikemukakan oleh Nabi saw. Namun harus ditekankan, kalimat tauhid sebagai kata kunci dalam hadits tersebut bukanlah dalam makna formal, di dalamnya tidak disertakan penyaksian bahwa Muhammad adalah utusan Nya. Maka, pertama, kalimat tauhid tersebut menekankan makna hanya menuhankan Allah semata, apa pun agamanya. Dalam ungkapan lain bisa dikemukakan, "hingga mereka berserah diri, tunduk, dan patuh kepada Allah swt.," dan tidak menuhankan apa pun selain-Nya, seperti kekuasaan, ke­kayaan, politik, dan berbagai bentuk arogansi lainnya. San-gat masuk akal kalau mereka harus diperangi, karena siapa pun yang menuhankan kekuasaan, kekayaan, politik, dan semacamnya, sebenarnya menuhankan hawa nafsunya, dan akan melakukan apa pun demi memuaskan pujaannya. Namun tentu saja perang harus dilakukan dalam kerangka akhlak mulia, seperti penyadaran, membela diri, dan semacamnya. Kedua, perintah memerangi ini bukan dalam konteks memaksa siapa pun masuk Islam. Karena jika dimaknai demikian, akan bertentangan dengan penegasan al-Qur'an sendiri bahwa "ti-dak ada paksaan dalam agama" (lâ ikrâh fi al-dîn [QS. 2: 256), maka siapa pun boleh beriman dan siapa pun boleh kafir (fa man syâ'a fal-yu'min wa man syâ'a fal-yakfur [QS. 18: 29]). Maka perintah memerangi siapa pun yang tidak bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah bukanlah dalam konteks teologis, tetapi sosiologis. Namun di tangan kelompok-kelompok garis keras, makna harfiah inilah yang dipegang teguh dan mereka lupa bahwa "tidak ada paksaan dalam agama," bahwa "Islam adalah rahmat bagi seluruh makhluk" (bukan Muslim saja), dan bahwa "Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia."
Jelas bahwa literalisme tertutup dan formalisasi agama amat berbahaya, baik pada tataran epistemologis maupun praksis. Maka sangat penting untuk menyadari bahaya laten kelompok-kelompok garis keras yang biasa dengan literalisme tertutup dan mengagendakan formalisasi agama. Formalisasi agama yang diperjuangkan kelompok-kelompok garis keras lebih didorong oleh motivasi politik daripada agama. Dari sudut pandang manapun, sulit menerima politisasi agama sebagai bagian dari ajaran agama, karena formalisasi agama sendiri adalah pengebirian terhadap agama itu sendiri. Bagi mereka, agama sudah menjadi tujuan. Maka agama pun, secara meyakinkan, akan kehilangan pesan-pesan luhurnya, yang tersisa hanyalah simbol-simbol keagungan agama itu sendiri. Ini merupakan salah satu kesalahkaprahan dalam melihat dan memahami agama. Seharusnya, agama dilihat dan diikuti sebagai petunjuk, sebagai jalan, menuju Ilahi agar penganut agama menjadi manifestasi substansi pesan utama dan luhur agama. Ketika agama menjadi tujuan, maka Tuhan pun sirna dalam semesta keagamaan itu sendiri. Dalam konteks inilah, formalisasi agama terlihat jelas tidak didorong oleh motivasi agama, melainkan politik.
Bahaya formalisasi agama menjadi semakin kuat, dalam kasus Indonesia, karena didukung dengan sumber dana yang kuat serta sistem penyusupan yang terencana. Sudah jamak diketahui bahwa dana Wahabi leluasa mengalir ke Indonesia, dari pihak penguasa seperti tidak peduli, seakan dana itu tidak membawa agenda terselubung yang merupakan benih bahaya laten bagi Indonesia. Di samping sebagai imbalan dalam relasi simbiosa mutualistik antara gerakan-gerakan transnasional dengan kaki tangannya di Indonesia, dana tersebut juga digunakan untuk menyebarkan gagasan formalisasi agama dan membangun sistem penyusupan kesemua bidang kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari istana hingga ke kampung-kampung, dalam instansi-instansi pemerintahan dan masyarakat sipil, bahkan dengan cara-cara yang selama ini hampir tak terpikirkan kecuali oleh para penyusup itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan, penting disadari bahwa banyak gerakan kelompok garis keras memang sejak awal sudah melakukan rekrutmen dengan sistem sel, dan siapa pun yang berhasil direkrut akan dibina dalam beberapa tahap 'pembinaan', seperti ta'rîf (pengenalan dan penanaman ajaran), takwîn (pembentukan pribadi sesuai ajaran), dan tanfîdz (eksekusi ajaran).
Peneliti kami mendapat informasi dari seorang anggota keluarga pendukung PKS di Jakarta bahwa, ketika terjadi perselisihan pribadi di antara dua bibinya, salah seorang darinya mengancam akan melaporkan perselisihan pribadi tersebut ke­ pengurus partai. Kasus ini mengingatkan pada kontrol pemerintahan komunis Stalin di Uni Soviet yang sentralistik dan berusaha mengontrol semua aspek kehidupan rakyat.
Dengan perekrutan sistem sel seperti ini, dan dengan dukungan dana yang kuat, penyusupan yang mereka lakukan sangat terencana dan berbahaya. Mereka menyusup ke tempat-tempat peribadatan seperti masjid-masjid, kedunia pendidikan seperti kampus-kampus dan bahkan kebeberapa pesantren yang biasanya diawali dengan pemberian buku-buku yang mengandung virus gagasan garis keras, kemedia massa dan penerbitan, kedunia bisnis, bahkan kepartai politik dan pemerintahan. Di samping menyusup kemasjid-masjid dan dunia pendidikan, garis keras juga membangun masjid-masjid baru atau merenovasinya dengan dukungan dana Wahabi seperti antara lain di Kabupaten Magelang, dan mendirikan sekolah-sekolah "terpadu" sendiri di bebagai daerah. Ini merupakan bentuk lain pe­rkawainan Wahabi - Ikhwanul Muslimin yang berlangsung di Indonesia.
Memang, bantuan masjid dipandang berguna dan terhormat. Tapi ketika itu disertai dengan syarat agar mendukung partai politik tertentu, agar menerima ajaran tertentu, itu merupakan penyusupan ajaran sekte dan agenda politik. Mereka membangun mesjid bukan untuk menyediakan tempat ibadah, tapi untuk membangun sarana penyebaran ajaran dan kampanye partai. Ini merupakan aksi memanipulasi rakyat yang polos dengan ideologi dan dana asing (Arab Saudi) yang luar biasa be­sar untuk merebut kekuasaan di negara Republik Indonesia, sementara pada saat yang sama mereka meneriakkan adanya ancaman asing (Barat) te­rhadap Indonesia. Karena alasan inilah Muhammadiyah mengeluarkan SKPP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 yang melarang dan mengamanahkan para pengurus agar mengusir PKS keluar dari Muhammadiyah,
"...Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk be­bas dari se­ala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya" (Konsideran po­in 4). "Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, t­rmasuk partai politik yang meng-klaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar- benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan diri dengan misi kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik terse but." (Ke­putusan po­in 3)
Gaya-gaya seperti ini, yakni menyediakan dan mempe­rbaiki sarana peribadatan (masjid) tetapi untuk tujuan politik, mengingatkan pada kasus ketika KNIL berusaha masuk ke­ Indonesia dengan membonceng pada Pasukan Sekutu. Usaha demikian selalu dilakukan kare­na sudah sejak awal merasa bahwa kedatangannya akan ditentang dan ditolak, sejak awal tidak ada rasa percaya diri karena memang berlawanan, bahkan bertentangan, dengan tradisi keber agamaan bangsa Indoensia.
Ada kontradiksi yang jelas antara tradisi dan budaya keberagamaan bangsa Indonesia dengan kelompok-kelompok garis keras yang secara kultural berkiblat ke­Timur Tengah. Tradisi keberagamaan bangsa Indonesia kental dengan nilai-nilai spiritualitas yang diwarisi dari generasi kegenerasi, tradisi yang sebe­narnya dimusuhi oleh kelompok-kelompok garis keras. Tradisi ini mengajarkan dan menekankan pola hidup berdampingan secara damai, baik dengan sesama manusia maupun alam, baik dengan yang berke­yakinan sama maupun beda, yang menerima perbedaan sebagai realitas dan kekayaan yang harus dihargai. Pola keberagamaan demikian tidak akan pernah lekang oleh panas dan tak akan pernah lapuk oleh hujan, akan selalu sesuai dengan perkembangan sejarah dan perkembangan hidup para penganutnya.
Memang, spiritualitas lebih menekankan rasa (dzauq) dalam beragama, sedangkan rasionalitas ('aql) menjadi pendorong di dalamnya. Ini adalah pola keberagamaan para nabi seperti dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Musa as. ketika mencari dan berusaha mengenal Allah swt. Nabi Muhammad saw. pun, ketika menjelaskan relasi 'ubûduyah manusia dengan Tuhan menyatakan, "Mengabdilah kepada-Nya seakan-akan kamu melihat-Nya. Namun jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." Ungkapan seakan-akan menegaskan bahwa potensi inderawi (hiss) dan rasional ('aql) memang berguna dalam beragama, namun ia harus dilampaui, kemudian rasa (dzauq) yang akan berperan pen ting dalam merasakan kehadiran Ilahi. Keluasan dan keluhuran ajaran dan pesan agama tidak bisa dibingkai se­mata oleh akal dan aktivitas jasmaniah, apalagi ideologi dan platform partai politik. Ia hanya bisa ditampung oleh keluasan rasa, kelapangan hati. Dalam konteks inilah, firman Allah swt. dalam hadits kudsi yang menyatakan, "Bumi dan langit-Ku tidak mampu menampung-Ku, tetapi hati hamba-Ku yang beriman," harus direnungkan secara mendalam. Maka penolakan atas spiritualitas jelas merupakan sebuah arogansi beragama. Dan inilah, terutama, yang ditolak oleh kelompok-kelompok garis keras
kelompok-kelompok garis keras sangat berbeda, bahkan hingga tingkat tertentu bertentangan, dengan tradisi dan keberagamaan spiritualistik ini. Mereka telah mereduksi agama menjadi sebatas kerangka tanpa daging, bahkan tanpa jiwa dan perasaan. Hal ini disebabkan pemahaman mereka yang harfiah dan tertutup, yang menyapih agama dari konteks historis, sosial, dan budaya pada masa risalah dan sesudahnya hingga saat ini. Pendekatan ini telah membuat mereka terpaku pada huruf-huruf dan tidak menyadari adanya makna-makna yang lebih luas dari pada sekedar yang terkandung dalam huruf-huruf tersebut. Keluhuran dan keluasan agama direduksi sebatas makna-makna harfiah yang tertutup.
Tiadanya kesadaran ini pula yang telah membuat mereka membuat klaim- klaim kebenaran sepihak dan pada saat yang sama memvonis salah dan sesat setiap yang berbeda, karena mereka tidak mampu memahamai realitas batin pihak lain. Padahal keberagamaan seseorang tidak diukur oleh aktivitas jasmaniah maupun intelektual, melainkan oleh kedalaman hati tanpa menafikan keduanya.
Sikap monolitik dalam beragama tidak pernah memberi ruang pada perbedaan. Dengan klaim-klaim teologis pula, mereka ingin menegaskan bahwa hanya merekalah yang benar, dan karena itu akan termasuk dalam kelompok yang selamat (mâ ana 'alaih wa ash-hâbî). Tuduhantuduhan kafir dan musyrik kepada orang lain jelas me­rupakan p­mbunuhan karakter, rekrutmen psikologis, dan sangat politis. Sulit mencari landasan teologis untuk membenarkan tuduhan-tuduhan demikian. Karena, andai mereka memang memiliki pengamalan keagamaan yang tulus, keyakinan keagamaan yang luas dan mendalam, tentu hati mereka akan lapang melebihi keluasan langit dan bumi, sehingga tidak akan pernah sesak oleh keragaman maupun perbedaan, bahkan dengan pertentangan sekalipun. Keberagamaan yang tulus tidak akan menyediakan ruang untuk kebencian, akan selalu berpikir positif (husn al-zhann) terhadap siapa pun dan lebih mewaspadai realitas dirinya. Sehingga, ketika Kanjeng Nabi Muhammad saw. menyatakan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, Muslim yang sejati tidak akan sibuk mencari siapa yang tidak atau belum termasuk kedalam mâ ana 'alaih wa ash-hâbî sehingga pantas dikafirkan, tetapi akan be­rpikir apakah dirinya sudah memenuhi kategori tersebut.
Keberagamaan yang monolitik jelas menjadi ancaman tidak hanya terhadap keamanan dan keselamatan bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap budaya dan tradisi keberagamaan bangsa Indonesia. Pemaksaan selalu menelan korbannya sendiri, cukuplah tragedi Padri sekali saja, dan jangan sampai bahaya laten komunisme terulang lagi. kelompok-kelompok garis keras tidak hanya mengklaim sebagai yang paling benar di antara sesama Muslim yang lain, mereka berjuang untuk mengubah tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, ini merupakan proyek formalisai agama yang akan berujung salah satunya pada realisasi wahabisasi global, penegakan Khilafah Islamiyah, atau Islamisasi ne­gara Indonesia dan melenyapkan NKRI. Karena itu, melawan formalisasi Islam bagai sekali mengayuh dayung dua tiga pulau terlampaui : dengan me­nolak formalisasi Islam, kita akan me­nyelamatkan Islam dari reduksi dan pembajakan demi kepentingan politik, menyelamatkan Pancasila, NKRI, budaya dan tradisi keberagamaan spiritual bangsa Indonesia, dan me­ngilhami umat Islam di negara-negara lain menolak ajaran palsu gerakan garis keras dan kembali kepada pesan-pesan luhur agama Islam yang benar-benar merupakan rahmatan lil-'âlamîn.


BAB III
IDEOLOGI DAN AGENDA
GERAKAN GARIS KERAS DI INDONESIA



Pendahuluan
Setiap musliM pasti yakin bahwa tuhan yang mereka sembah adalah Mahatahu, Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan seterusnya. Tak ada satu pun di dunia ini yang lepas dari pengetahuan, kekuasaan, dan kasih sayang-Nya. Ring kasnya, Tuhan mengetahui dan mengatur semua aspek kehidupan makhluk-Nya, termasuk manusia. Namun demikian, kemahakuasaan-Nya dikendalikan oleh kasih sayang-Nya (al-Rahmân 'alâ al-'arsy-istawâ [QS. 20: 5]). Dengan kekuasaan-Nya, Allah swt. bisa saja membuat semua manusia menjadi satu umat saja (QS.11:118), tapi itu tidak dilakukan-Nya dan Dia biarkan makhluk-Nya memilih apakah akan beriman atau tidak (QS.18: 29), bahkan Dia nyatakan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam agama (QS. 2: 256).
Untuk kebaikan manusia, melalui para utusan-Nya Dia ajarkan hal-hal yang baik (haqq) dan yang buruk (bâthil), yang harus dilakukan (wâjib) dan dilarang (haram), yang sebaiknya dilakukan (sunnah) dan tidak (makrûh), di samping yang bebas untuk dilakukan atau tidak (ibâhah). Ketentuanketentuan ini menjadi tangga pertama bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena hanya dengan semakin dekat dia akan semakin tahu apa saja yang Allah swt. inginkan dan harus dia lakukan sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad saw. meriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman, "Hamba-Ku te­rus mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal yang menyenangkan (nawâfil) hingga Aku mencintainya. Dan manakala Aku mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dengannya dia mendengar, menjadi kedua matanya yang dengannya dia melihat, menjadi lisannya yang dengannya dia berucap, dan menjadi kedua kakinya yang dengannya dia berjalan." Ketika Allah swt. menjadi pendengaran, penglihatan, lisan, dan kedua kakinya, saat itulah sang hamba hanya melakukan apa yang Allah swt. kehendaki. Dengan kata lain, Allah swt. mengatur semua aspek kehidupannya. Ini semestinya menjadi aspirasi setiap Muslim sebagai perwujudan keikhlasan dirinya menjadi hamba Allah swt. Anehnya, para agen garis keras yang semuci (berlagak paling suci) dan sok tahu kehendak Tuhan untuk semua manusia, sangat bernafsu untuk mengatur setiap aspek kehidupan manusia dengan pemahaman mereka yang terbatas, kaku, relatif dan tidak manusiawi.
Dengan keberagamaan yang senantiasa berada dalam kehadiran Ilahi (ihsân) seperti dijelaskan di atas inilah umat Islam moderat, Ahlussunnah wal Jamâ'ah, memahami diktum: Allah swt. mengatur semua aspek kehidupan manusia. Hamba yang sejati, yang dengan sempurna berserah diri kepada Allah swt., yang mencapai kualitas mukhlish (murni tanpa noda) dalam beragama, mampu menunaikan amanah kekhalifahan untuk memakmurkan bumi dan melestarikan rahmat untuk seluruh makhluk-Nya (khalîfat Allah fil-ardl). Kemampuan ini tidak berasal dari intelektualitas, pemahaman pemahaman tekstual, maupun kekuasaan politik, tetapi dari kesadaran spiritual dan kelapangan kalbu yang mampu menampung kehadiran Ilahi. Karena itu, dakwah mereka yang telah mencapai kualitas Ihsân (muhsinîn) akan berupa usaha menumbuhkan kesadaran spiritual agar orang lain bisa benar-benar berserah diri sepenuhnya kepada Allah swt., merasakan kehadiran Ilahi, dan segala aspek dalam hidupnya diatur oleh Allah swt. sebagai hamba-Nya. Para muhsinîn menyadari bahwa syarî'ah bukanlah tujuan, tetapi jalan. Kesadaran spiritual akan mengendalikan manusia apakah akan menempuh jalan yang benar (haqq) atau tidak (bâthil).
Pemahaman dan keberagamaan kelompok-kelompok garis keras sangat jauh berbeda dibandingkan pemahaman dan keberagamaan umat Islam moderat. Pada satu sisi, sebagai akibat dari interpretasi literal, sempit, dan terbatas atas ajaran Islam, mereka lebih menekankan keberagamaan lahiriah dan abai terhadap yang batiniah. Simbol, identitas dan kuantitas bagi mereka lebih penting dibandingkan tingkat kesadaran spiritual dan kualitas dalam beragama. Karena itu, mereka ingin memaksakan pemahamannya tentang Islam kepada siapa pun melalui formalisasi dan implementasi hukum Islam, mendirikan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah, dan hal-hal terkait lainnya.
Mereka menduga Tuhan akan puas kalau ada kekuasaan politik atau penguasa yang memerintah atas nama-Nya. Mereka berimaginasi Allah swt. akan bahagia jika hukum Islam versi mereka menjadi hukum positif atau hukum negara. Bahkan secara tak sadar ada yang berpandangan bahwa Tuhan tidak berdaya sehingga Islam perlu dibela, atau barangkali hal ini hanya dalih belaka un-tuk agenda tersembunyi dalam meraih kekuasaan. Semua ini tidak bisa dipisahkan dari kebodohan. Memang, pengetahuan yang sedikit sangatlah berbahaya.
Kebodohan sering membuat seseorang arogan dan menolak kebenaran semata karena tidak mampu memahami atau merasakannya. Dalam kaitan ini terlihat signifikansi sebuah riwayat, "Carilah ilmu walau ke­ negeri Cina!" (uthlub al-'ilm walau bi al-shîn) dan Ilmu adalah cahaya (al-'ilm nûr) sedangkan kebodohan berarti kegelapan. Tidak ada yang bisa diharapkan dari kegelapan selain kesesatan dan kesalahan, serta pemahaman secara parsial dan dangkal.
Jika formalisasi agama menjadi tujuan, ketika beragama dan menganut Islam pun menjadi tujuan, maka formalitas dan agama menjadi tuhan baru yang diperjuangkan sehingga tidak ada lagi jalan untuk meraih ridlâ Allah swt. Semua ini adalah kesalahan teo logis yang harus diluruskan, bahkan harus dilawan jika disebarkan kepada orang lain.
Setiap usaha formalisasi agama adalah murni bertujuan politik, untuk meraih kekuasaan. Jika dikatakan bahwa itu berdasarkan fakta bahwa Allah swt. mengatur semua aspek kehidupan manusia, ini jelas sebuah kesalahpahaman teologis yang harus ditolak. Bukan bentuk negara maupun formalisasi agama yang dibutuhkan untuk menjadi muslim yang baik, tetapi keikhlasan kesadaran spiritual untuk selalu merasakan kehadiran Ilahi (ihsân). Maka klaim untuk mewujudkan masyarakat Islami melalui implementasi syarî'ah maupun pendirian Negara Islam atau Khilafah Islamiyah adalah semata manuver politik untuk meraih kekuasaan.
Ideologi kelompok garis keras adalah totalitarian sentralistik dan menjadikan agama sebagai referensi teologis. Maka klaim teologis yang mereka sampaikan sebenarnya menjadi manuver politik untuk berlindung dari serangan siapa pun dan sekaligus untuk menyerang siapa pun yang tidak mendukung atau bahkan menentang mereka, yaitu: agama menjadi alat mereka untuk meraih kekuasaan. Para agen garis keras dengan licik memanfaatkan keyakinan umat Islam bahwa Allah swt. mengatur semua aspek kehidupan manusia, menjadikannya sebagai entry-point bagi garis keras sendiri untuk mengatur dan menguasai rakyat. Sedangkan agenda garis keras adalah menjadi wakil Tuhan di bumi (khalîfat Allâh fil-ardl). Padahal, yang bisa menjadi khalifah Allah di bumi hanyalah mereka yang dalam beragama telah mencapai kualitas muhsinîn dan mukhlishîn, yakni para Wali Allah swt.
Para sufi memahami syari'ah sebagai jalan, bukan tujuan. Karena itu mereka sangat toleran dan inklusif ketika bertemu dengan para penempuh jalan yang berbeda. Mereka sadar bahwa para penempuh jalan (umat beragama) sama-sama ingin mendekat kepada Tuhan, asal dari semua yang ada. Kesadaran atas kesamaan tujuan inilah yang membuat mereka bersikap toleran terhadap perbedaan. Ada perbedaan-perbedaan artifisial namun juga persamaan- persamaan substansial, baik di antara para penganut agama yang sama maupun yang berbeda. Karena itu para sufi, umat beragama yang sangat menekankan aspek spiritual, tidak pernah berpikir untuk memaksa siapa pun menempuh jalan yang sama seperti yang dilaluinya, karena jalan apa pun yang ditempu tujuannya sama. Menurut mereka, setiap orang mempunyai jalannya sendiri sesuai dengan kecenderungan pribadi dan keyakinan yang dianutnya dalam mendekat kepada Tuhan. Syari'ah bagi mereka adalah jalan- jalan yang jika diikuti dengan benar akan mengantarkan siapa pun yang melaluinya kepada asal semua yang ada, Allah swt. Demikian se­baliknya, jika jalan yang seharusnya digunakan sebagai sarana kemudian diubah dan diyakini sebagai tujuan, para penempuh jalan hanya akan melangkah di tempat, tidak akan pernah sampai pada Tujuan akhir yang seharusnya mere­ka capai. Di tengah keheranan nya mereka akan berusaha mengajak, atau bahkan memaksa, setiap penempuh jalan yang lain untuk bersama-sama menjadikan jalan sebagai tujuan karena mereka ingin punya banyak teman dan tidak tertinggal dalam perjalanan, tanpa menyadari bahwa mereka sendiri tidak pernah bergerak lebih maju dan lebih dekat kepada Tujuan.
Dalam laporan penelitian berikut ini akan menjadi jelas bagaimana retorika para agen garis keras dalam menganalisis permasalahan yang dihadapi umat Islam telah mereduksi pesan-pesan luhur Islam, bahkan mendistorsi keluhuran Islam yang merupakan rahmatan lil-'âlamîn. Misalnya, mereka merendahkan, bahkan mengkafirkan, siapa pun yang berbeda atau bahkan bertentangan paham, keyakinan, atau agama dari mereka. Di samping meru sak keluhuran ajaran Islam dan harus diluruskan, semua ini juga mengancam keamanan bangsa, kelestarian Pancasila, dan keutuhan NKRI. Penting disadari bahwa retorika mereka yang dikemas secara teologis menjadi pengantar pada aksi-aksi kek­rasan dalam berbagai bentuknya.

Ideologi Totalitarian Sentralistik dan Politisasi Syari'ah
Pandangan ideologis yang bersifat totalitarian sentralistik terhadap syari'ah membawa kepada konsekuensi ketentuan hukum yang totaliter dan sentralistik pula. Artinya, hukum harus mengatur semua aspek kehidupan umat tanpa kecuali dan negara mengontrol pemahaman dan aplikasinya secara menyeluruh. Itu sebabnya, dalam pandangan ini, pengamalan syari'ah tidak dapat dipisahkan dari politik. Ideologi totalitarian sentralistik ini sangat menonjol dalam penampilan kelompok-kelompok garis keras di Indonesia akhir-akhir ini, seperti dalam politisasi syari'ah yang muncul dari pemahaman mereka yang sempit dan terbatas terhadap syari'ah.
Fenomena politisasi syari'ah tampak menonjol dalam penelitian ini. Sebagai contoh, di beberapa tempat di mana gerakan penegakan syari'ah muncul dengan kuat seperti di Padang, Aceh, Makassar dan Palembang banyak kegiatan ibadah dilakukan dengan tujuan ganda, selain untuk penegakkan hukum Islam juga penegasan sikap dan identitas politik terhadap isu-isu nasional. Di Padang, pengajian-pengajian akbar diselenggarakan oleh KPPSI untuk sosialisasi dan kampanye percepatan penegakan syari'ah dalam kehidupan masyarakat di daerah ini. Di Palembang, FU3SS mempelopori sepenuhnya kebersatuan antara Ulama dan Umara dalam kegiatan-kegiatan pengajian atau forum pertemuan lainnya. Demikian pula di kantong-kantong masyarakat lainnya, pertemuan-pertemuan ritual senantiasa diarahkan untuk mendorong masyarakat mendukung formalisasi hukum Islam di samping tentu saja penegasan sikap dan ide­ntitas politik kelompok-kelompok tersebut terhadap isu-isu social politik secara umum.
Jadi, kebutuhan terhadap syari'ah itu bukan karena murni kebutuhan terhadap tatanan hukum (rule of law) atau kebenaran agama, melainkan karena kebutuhan penegasan identitas dan keuntungan politik (political advantage) kelompok-kelompok garis keras yang memiliki agenda politik dengan memainkan isu agama (syari'ah). Para politisi oportunis yang bekerjasama dengan kelompok-kelompok garis keras tidak peduli pada masa depan bangsa dan negara dan turut serta melakukan kudeta terhadap Konstitusi negara kita.
Dalam konteks politik kita mendapati jargon syari'ah banyak digunakan di berbagai daerah bukan sebagai identitas ketaatan seorang Muslim te­rhadap ajaran Islam tetapi sebagai simbol dan alat perlawanan terhadap dominasi politik negara (pemerintah pusat).
Hal ini tampak sekali dalam argumenargumen yang dikemukakan oleh para responden yang nuansa politisnya lebih ken-tal ketimbang persoalan kebutuhan substantif hukum itu sendiri. Dalam hal ini, syari'ah dijadikan alat politik untuk menampilkan identitas dan bukan murni alasan normatif ketaatan kepada ajaran agama. Fakta historis di Aceh memperkuat hal ini. Gerakan Aceh Merdeka, misalnya, muncul dan berkembang dari akar masalah yang kompleks yang hanya sedikit saja terkait dengan persoalan agama. Persoalan utama yang sebenarnya adalah kekecewaan Aceh terhadap pemerintah pusat, dan kontestasi antar daerah yang terjadi di Aceh. Persoalan semacam itu juga menjadi latar belakang utama gerakan DI/TII. Kartosuwirjo, tokoh utama DI/TII yang awalnya adalah salah seorang tokoh PSII dan keluar dari partai tersebut karena kekecewaan t­rhadap kebijakan partai melakukan pemberontakan terhadap Pemerintahan Soekarno karena kekecewaannya atas kebijakan Soe­karno. Hal ini te­rlihat dari dua surat rahasia yang dia kirimkan ke Soekarno.
Di Aceh, kampanye penegakan syari'ah justru muncul dengan kuat setelah rekonsiliasi antara kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia tercapai. GAM sendiri tampaknya sejak awal tidak pernah mengagendakan implementasi syari'ah dalam gerakan politik mereka. Maka tidaklah mengherankan kalau pada akhir-akhir ini gerakan penegakan syari'ah itu justru muncul dari kelompok-kelompok yang kecewa terhadap sikap melunaknya GAM terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Wawancara dengan responden di daerah itu menunjukkan gejala munculnya kelompok-kelompok puritan di daerah pesisir pantai Aceh Barat (Meulaboh), dengan kecenderungan untuk mengimplementasikan aturan-aturan syari'ah lebih kuat lagi dalam kehidupan individual maupun masyarakat. Secara umum, penelitian ini juga mendapati responden di Aceh yang dengan kuat mendukung pelaksanaan syari'ah dalam kehidupan b­rmasyarakat dan bernegara walaupun pendapat mereka kebanyakan masih dalam tataran ide yang abstrak sifatnya dan bukannya aspek praktis aturan hukum yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan hal itu, sekarang ini Qanun Syari'ah juga sudah secara r­smi diimplementasikan di Aceh sebagai instrumen hukum yang secara konstitusional mengatur kehidupan masyara-kat Muslim di daerah itu. Kita melihat, prokontra juga muncul di kalangan masyarakat Aceh te­ntang bagaimana nilai-nilai syari'ah itu dapat dimunculkan dalam aturan kehidupan se­hari-hari. Namun, terlepas dari perbedaan dalam hal detailnya, para responden mengatakan bahwa aturan hukum syari'ah harus mereka implementasikan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Aceh paska rekonsiliasi GAM-RI.
Secara umum, penelitian ini juga menunjukkan betapa kebutuhan penegakan syari'ah lebih dilandasi oleh faktor kekecewaan te­rhadap situasi social politik kontemporer masyarakat secara umum daripada semangat keberagamaan yang sebenarnya. Hampir semua responden berargumen bahwa syari'ah dibutuhkan sebagai solusi tepat bagi problem-problem kehidupan yang mereka hadapi. Mereka juga berargumen bahwa situasi krisis yang me­nimpa Indonesia tidak lain karena pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia yang terlalu berorientasi kepada negara-negara Barat. "Baik kapitalisme maupun liberalisme telah menjadi pegangan dalam membangun bangsa selama ini, karena itu pantaslah krisis menimpa negeri ini. Dalam kondisi seperti itu syari'ahlah yang menjadi solusinya," demikian argumen mereka. Seorang aktivis jamaah kampus di Yogyakarta menyatakan :
Penyebab krisis politik : karena kita meyakini ada hukum yang lebih layak dan lebih baik dibandingkan hukum Islam. Akhirnya Islam tidak lagi dijadikan sebagai acuan. Paling sekadar moral dan ritual. Tapi dalam konteks solusi, Islam dijauhkan, karena ada satu asumsi bahwa hukum syari'ah itu tidak layak untuk menjadi solusi, apakah persoalan politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Aktivis lain menjelaskan hal senada : Sebenarnya satu saja yang harus dilakukan, mengajarkan, memberitahukan dan meyakinkan opini publik bahwa Islam punya aturan yang sifatnya sempurna. Artinya, Islam layak sebagai solusi, tidak perlu mengambil dari yang lain.
Padahal, seperti diyakini para ahli tafsir dan ulama, Islam bukan merupakan bagian terpisah dari agama-agam yang lain. Ia tidak datang sebagai sesuatu yang sama sekali baru. Bahkan bisa dikatakan, Islam adalah komplementer, melengkapi dan menyem purnakan, dan bukan sebagai alternatif yang menafikan lainnya.
Secara normatif, aturan hukum dalam syari'ah yang banyak dipahami oleh responden adalah aturan yang rigid. "Sebagai hukum sakral," menurut mereka, "syari'ah be­rsifat rigid karena datang bukan dari sumber duniawi tetapi dari Tuhan yang menge­tahui segala seluk beluk kehidupan manusia. Kehadiran syari'ah memang dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan manusia yang tidak be­raturan; karena itu, manusialah yang harus mengikuti hukum Tuhan tersebut, bukannya hukum Tuhan yang harus mengikuti keinginan manusia. Hukum Tuhan harus tegas karena manusia memang cenderung suka dengan permainan dan ketidakseriusan." Tentu bisa diterima bahwa manusia harus mengukuti ajaran (hukum) agama yang dianutnya; masalahnya, siapa yang menafsirkan firman Tuhan ketingkat hukum yang akan diregulasi dengan otoritas negara dan menjadi hukum positif. Haruslah ditekankan bahwa itu adalah pemahaman manusia atas firman Tuhan, maka dik tum yang dihasilkan tidak bisa dikatakan sebagai hukum Tuhan. Kesalahkaprahan cara pandang ini mendorong mereka bersikap totaliter dan absolutistik. Ideologi dan orientasi seperti ini menghasilkan pemikiran tentang hukum Islam yang menekankan corporal punishment atau hukuman fisik terhadap pelanggar aturan syari'ah.
Seorang respon den di Padang berpendapat bahwa : Agar pencurian dapat diberantas maka hukuman bagi pelakunya adalah sesuai dengan syari'ah Islam, yaitu tangannya dipotong. Jika tetap mencuri lagi maka tangan yang satunya dipotong juga, bahkan kedua kakinya, hingga dibiarkan sampai mati. Itulah hukuman Islam, yang akan memberi efek jera bagi para pelakunya.
Orientasi hukuman fisik seperti itu tidak lain dipengaruhi oleh filsafat hukuman yang bertujuan untuk memberikan efek jera yang sebesar-besarnya kepada pelaku kriminal dan rasa takut kepada orang lain. Pernyataan responden di atas hanya sekadar gambaran betapa syari'ah dipahami secara sangat dangkal dan dengan orientasi balas dendam sebagai suatu sistem hukum yang keras. Dalam pemahaman mereka, merupakan suatu hal yang pantas bagi pelanggar hukum untuk mendapatkan hukuman (fisik) yang sekeras-kerasnya sehingga tidak akan ada lagi keinginan untuk mengulangi perbuatannya. Efeknya, hukum Islam kehilangan se­mangat pendidikan dan tidak manusiawi. Di Aceh, tempat pemberlakuan hukum cambuk bagi pelanggar Qanun, stigma syari'ah se­bagai hu kum yang keras, kasar, dan primitif menjadi tak terbantahkan.
Orientasi hukuman yang bersifat badaniah seperti itu dapat dipahami bila kita hubungkan dengan orientasi ingin kembali pada masa formatif Islam yang akan membawa kepada pemikiran yang backward looking, dalam arti semangat mencontoh masa lalu dalam mengimplementasikan hukuman. Tradisi hukum Islam yang hadir di Arab pada abad ketujuh Masehi tentu wajar kalau memakai pendekatan fisik dalam memberikan hukuman, seperti cambuk, potong tangan, dan sebagainya, yang mungkin merupakan metode hukuman yang sesuai dengan kondisi masyarakat Arab yang tidak beradab pada saat itu. Tetapi ketika tradisi corporal punishment seperti itu hendak direvitalisasi dalam era sekarang, maka sangat mungkin justru akan berakibat buruk terhadap syari'ah sendiri karena munculnya kesan-kesan yang negatif te­rhadap tradisi hukuman semacam itu. Dari sekian banyak responden, tampaknya tak ada satu pun yang mendukung reinterpretasi ajaran-ajaran Syari'ah tentang filsafat hukuman tersebut, sehingga metode corporal punishment itu tampaknya masih akan me­njadi mainstream bagi para aktivis gerakan garis keras di Tanah Air.
Tampak jelas bahwa para tokoh dan agen garis keras lebih melihat hukum pada tataran sanksi, bukan pada tujuannnya. Padahal, pada abad ke 12 M, al-Ghazali (al-Mustashfâ min 'Ilm al-ushûl, vo­l. I, h. 284) yang disusul al-Syathibi (al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkam, vo­l. I, h. 380), telah mengemukakan pandangan filosofis bahwa tujuan hukum (maqâshid al-syarî'ah) bukanlah pada pemberian sanksi kepada pelakunya, melainkan dalam melindungi lima hal primier (al-dlarîriyyât al-khamsah) kehidupan manusia, yakni perlindungan beragama, hidup, kekayaan, kehormatan atau keturunan, dan kesehatan akal. Dalam pandangan ini ketentuan hukum dipahami sebagai proses pendidikan, dan melihat para pelaku kejahatan secara positif masih bisa diarahkan untuk lebih baik. Ayat-ayat hukum, seperti tentang pencurian misalnya, tentu diturunkan bukan untuk membuntungi tangan pencuri.
Lalu, apa motivasi atau reasoning mereka mempertahankan syari'ah dengan wajah semacam itu? Konsisten de­ngan analisis di atas, kecenderungan kepada hukuman fisik tampaknya lebih dilatarbelakangi keinginan para aktivis garis keras untuk menampilkan syari'ah dengan wajah yang berbeda dari yang biasa mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, motivasi untuk menampilkan syari'ah seperti itu sejatinya muncul karena dorongan untuk tampil beda dan membangun identitas di tengah- tengah pluralisme tradisi hukum yang ada di Tanah Air.
Penampilan yang berbeda itu boleh jadi disengaja untuk menawarkan komoditas (syari'ah) yang betul-betul distinct sehingga nilai jual politiknya sangat laku di tengah masyarakat yang memang sedang mencari jawaban atas berbagai problema yang muncul. Di sini jelas, mengapa kelompok-kelompok garis keras menolak ide­ide pembaharuan syari'ah yang dilontarkan oleh kalangan reformis, sebagaimana mereka juga menolak pandangan Muslim moderat yang lebih menekankan sisi manusiawi dan pendidikan dalam pengamalan ajaran Islam. Dalam pandangan mereka, ide­ide pembaharuan hanya tipu daya para musuh Islam yang sengaja ingin menjauhkan umat Islam dari syari'ah. Mereka yakin bahwa pembaharuan syari'ah itu tidak diperlukan oleh umat Islam karena syari'ah itu shalih li kulli zaman wa makan, sesuai dengan segala bentuk masyarakat dan perubahan waktu.
Siapa pun akan setuju bahwa syari'ah senantiasa sesuai sepanjang masa dan di semua tempat. Namun harus diingat bahwa, syari'ah dalam hal ini jangan direduksi pada fatwa-fatwa hukum yang merupakan hasil ijtihad para ulama. Dalam kasus ayat-ayat tentang pencurian misalnya, para ulama sepakat bahwa pesan perenial (shalih li kulli zaman wa makan) di dalamnya adalah larangan mencuri, bukan pada potong tangannya. Hal ini menjadi sangat jelas ketika 'Umar ibn al-Khaththab, misalnya, tidak memotong tangan seorang pencuri ketika dia menjadi Amirul Mukminin. Sialnya, para agen garis keras telah me­re­duksi bisa jadi karena pengetahuannya sangat te­rbatas syari'ah sebagai fatwa-fatwa dan diktum-diktum hukum, sekalipun yang pertama (syari'ah) bersifat perenial namun yang kedua (fatwa) tentu sangat terikat dengan ruang dan waktu.

Obsesi Penegakan Syari'ah
Seperti diketahui, ide dan aspirasi pendirian negara Islam di Indonesia telah melahirkan beragam respon dan tafsiran di masyarakat, baik di kalangan Muslim maupun non Muslim. Ada yang berpandangan, isu negara Islam sengaja dihembuskan untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok Islam, tapi sebagian yang lain mengakui dengan terus terang bahwa ide dan aspirasi pendirian ne­gara Islam dewasa ini benar-benar ada dan akan direalisa-sikan. Secara historis, Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) pernah dideklarasikan oleh S. Maridjan Kartosuwirjo di Jawa Barat, yang kemudian diikuti oleh Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Saat ini, Aceh telah menerapkan hukum Islam, sementara beberapa daerah di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Syari'ah Islam.
Apakah perkembangan di tiga daerah itu merupakan wujud dari gejala keberhasilan ide negara Islam, yang kelak akan diikuti oleh daerah lain melalui efek domino? Belum je­as benar, memang. Akan tetapi, isu penegakan syari'ah Islam seperti yang terlihat dalam kasus keluarnya Perda-perda Syari'ah memang telah memunculkan spekulasi yang mengarah pada ide pendirian negara Islam Apalagi terbukti bahwa beberapa gerakan penegakan syari'ah tersebut mengaitkan dirinya dengan perjuangan NII atau DI, seperti di Cianjur (NII KW9) dan Sulawesi Se­atan (melalui Komite Persiapan Penegakan Syari'ah Islam atau KPPSI yang dikaitkan dengan perjuangan Kahar Muzakkar).
Penerapan syari'ah Islam secara formal jelas bertentangan dengan konstitusi. Namun ada celah yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan itu, yakni melalui wewenang otonomi daerah.
Para eksponen gerakan garis keras bekerjasama dengan politisi dan pejabat oportunis di daerah memanfaatkan otonomi daerah untuk memberlakukan syari'ah Islam secara formal melalui Perda-perda. Artinya, proses mengislamkan negara melalui penerapan syari'ah secara konstitusional adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Maka strategi yang ditempuh adalah "desa mengepung kota," yakni melalui formalisasi syari'ah di daerah-daerah dengan Perda-perda Syari'ah. Nantinya, ketika semakin banyak daerah di tanah air yang menerapkan syari'ah sebagai hukum regional, maka langkah menjadikan syari'ah sebagai hukum nasional dan pendirian Negara Islam hanya soal waktu saja. Hal ini bisa disimak dari statemen seorang proponen penegakan syari'ah bahwa, "Kalau masyarakat sudah Islami, syari'ah Islamnya jalan, maka jadi negara Islam dengan sendirinya tanpa diucapkan."
Saat ini tujuan mereka sudah semakin dekat, yang terlihat dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2008 bahwa Perda-perda Syari'ah tidak inkonstitusional. Pengakuan MK memang bisa menjadi bukti legalitas formil bahwa Perda-perda Syari'ah konstitusional. Tetapi secara materiil harus disadar bahwa Perda-perda Syari'ah bersifat sektarian, tidak mewakili kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan, hanya mengakomodasi kepentingan sekelompok kecil dari mayoritas umat Islam, bahkan mengabaikan minoritas non Muslim. Pengakuan MK ini tentu tidak bisa dilepaskan dari atmosfer dan arah angin pemerintah lima tahun terakhir ini. Pengakuan MK ini juga menunjukkan bahwa In donesia sekarang sepertinya sedang bergerak dan bergeser dari Negara Pancasila menuju Ne­gara Islam (baca: Islam ve­rsi garis ke­ras).
Suasana di Indonesia saat ini bagaikan kodok dalam tempa-yan di atas tungku untuk direbus, dan sudah dimasukkan sejak air masih dingin. Secara perlahan tapi pasti, tanpa menyadari bahwa dirinya sedang menjalani proses pembunuhan, kodok diam saja dan rileks di dalam tempayan. Pada saat dia sadar, semua sudah terlambat. Penyusupan ideol­gi memang tidak dirasakan oleh banyak orang gerakan ideologi sering tidak dirasakan dan disadari oleh mereka yang dimasuki. Maka secara sistematis berkembang menjadi besar dan merasuk.... dengan demikian, gerakan ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara sistemik, yang dikemudian hari baru dirasakan sebagai masalah se­rius tetapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikan karena telah meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang.
Ada beberapa alasan mengapa akhir-akhir ini muncul tuntutan penerapan syari'ah secara legal formal. Di antara alasan itu, yang terpenting, adalah pandangan bahwa Islam merupakan agama sempurna yang meliputi semua cara hidup secara total. Maka Islam harus dijadikan sebagai satu-satunya referensi dalam memecahkan berbagai permasalahan bangsa. Lalu lahirlah slogan semacam: "Selamatkan Indonesia dengan syari'ah" (HTI), atau "Penegakan syari'ah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa" (MMI),20 atau "krisis multidimensi akan berakhir dengan diberlakukannya syari'ah Islam" (FPI), atau "Islam adalah solusi" (PKS),22 yang menjadi obsesi kelompok-kelompok garis keras
Selain itu, tuntutan penerapan hukum Islam juga didesak oleh keinginan yang kuat untuk menampilkan identitas keislaman yang khas di tngah pe­rcampuran identitas dalam arus globalisasi dunia. Di samping itu, faktor korupsi, tidak adanya jaminan kepastian hukum, proses peradilan yang tidak independen dan s­ring direcoki berbagai kepentingan, juga telah memberi alasan pada kelompok-kelompok garis keras untuk menawarkan alt­rnatif hukum, walau permasalahan yang sebenarnya bukan pada aspek diktum hukum melainkan aparat hukum.
Alasan-alasan di atas sangat rapuh sebagai dasar bagi tuntutan penegakkan syari'ah. Bahwa Islam merupakan agama sempurna dan harus menjadi referensi bagi penyelesaian semua persoalan hidup, semua orang Islam punya keyakinan seperti itu. Bahkan, setiap umat beragama meyakini kesempurnaan agamanya. Syari'ah pun sudah menjadi bagian integral kehidupan umat Islam Indonesia sehari-hari selama berabad-abad sejak Islam masuk ke Nusanta-ra. Jadi, tuntutan penerapan syari'ah yang diteriakkan kelompok-kelompok garis keras sangat mengadaada, seolah-olah umat Islam Indonesia selama ini tidak mengamalkan syari'ah Islam. Kecuali jika yang mereka maksud adalah fiqh yang diterapkan di beberapa negara lain seperti Arab Saudi, Afghanistan di bawah Taliban, dan lain-lain yang berpaham Wahabi. Jika ini yang dimaksudkan, memang "masuk akal" kalau muncul tuntutan yang begitu keras, karena jenis fiqh yang mereka yakini memang keras dan kaku serta menuntut penegakkan secara keras pula sebagai akibat ideologi totalitarian sentralistik yang mereka adopsi dari kelompok-kelompok garis keras transnasional.
Paham Wahabi sendiri ditgakkan oleh Bani Sa'ud sejak abad 18 dengan kekerasan dan banjir darah. Ketika paham itu dibawa masuk ke Nusantara (Sumatera Barat) pada awal abad 19, meletus lah Perang Padri antara pengikut ajaran Wahabi melawan Muslim lokal, pemangku adat, dan guru-guru tarekat. Rezim Taliban di Afghanistan adalah contoh lain lagi dari penerapan hukum a la Wahabi yang sangat ekstrem. Ketika berkuasa pada 1996-2001, rezim ini membentuk Departemen Amar Ma'ruf Nahy Munkar yang bertugas mengontrol pengamalan ajaran agama. Polisi agama berpatroli di kota-kota dengan cambuk dan senapan otomatis mencari warga yang melanggar fiqh Taliban. Jika kedapatan warga melanggar syari'ah maka ditangkap, dipukul, atau dipenjara. Aksi-aksi Front Pembela Islam (FPI) yang berperilaku seperti polisi agama dan berpatroli keliling kota sangat mirip dengan aktivitas polisi agama Afghanistan di bawah Taliban.
Apakah tuntutan penegakkan syari'ah yang marak belakangan ini maksudnya adalah syari'ah a la Wahabi? Sangat mungkin. Apa lagi jika diperhatikan, hampir semua kelompok garis keras yang menuntut penegakan syari'ah di tanah air berasal dari atau memiliki kaitan ideologis dengan organisasi-organisasi garis keras transnasional yang lahir di arena konflik Timur Te­ngah. Para pe­mimpin mereka pun kebanyakan keturunan Arab atau mereka yang pernah belajar di Arab Saudi atau negara lain di Timur Tengah yang kemudian kehilangan tradisi keberagamaannya dan menganut paham Wahabi dan Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir.
Jadi, yang mereka perjuangkan sebenarnya bukan syari'ah Islam seperti yang dipahami oleh mayoritas umat Islam Indonesia, melainkan "syari'ah Islam" versi Wahabi - Ikhwanul Muslimin. Itu sebabnya, kampanye penegakkan syari'ah oleh kelompok-kelompok garis keras selalu menimbulkan masalah dan keributan di mana-mana di kalangan umat Islam sendiri. Hal ini berbeda dengan dakwah Islam yang lazim disampaikan para ulama, yang menyam paikan "pesan Islam" yang esensial dan universal, yang memberi ke­sejukan, bukan ke­ributan.
Sementara derasnya arus mode­rnisasi dan globalisasi yang dianggap berdampak buruk terhadap ke­hidupan umat Islam juga menjadi alasan tuntutan formalisasi hukum Islam. Sedangkan alasan lain yang dikemukakan adalah untuk membentengi diri dari arus globalisasi, namun yang ditampilkan justru penguatan identitas untuk menegaskan perbedaan dari yang lain. Adalah hak se­tiap orang untuk memelihara diri dari pengaruh luar, dan ini tidak menjadi masalah. Hal yang menjadi masalah adalah ketika itu dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen negara yang merupakan milik publik untuk kepentingan sekelompok orang, seperti pemberlakuan Perda Syari'ah yang sering bertolak belakang dengan kemaslahatan umum. Maka, jika umat Islam lain menolak Perda Syari'ah, itu bukan sekadar suatu kewajaran, tetapi juga hak. Bahkan menjadi kewajiban semua warga negara untuk menyelamatkan negeri ini dari pemaksaan kehendak oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan agama yang berpotensi memecah belah bangsa. Di sini harus ditegaskan pula bahwa itu bukanlah penolakan te­rhadap Islam itu sendiri, melainkan terhadap pemaksaan dan formalisasi pemahaman mereka tentang bagian tertentu dari Islam.
kelompok-kelompok garis keras sangat bernafsu membatasi keluasan rahmat Allah, bahkan kebesaran Allah, kedalam kotak kecil Perda Syari'ah. Lalu mereka memaksa semua orang tunduk pada syari'ah a la Wahabi yang mereka perjuangkan melalui perangkat undang-undang. Sambil memaksa orang lain, mereka mengklaim bahwa Islam adalah rahmat bagi semua orang (Islam rahmatan lil-'âlamîn). Dan dengan dalih itu mereka memaksa semua orang masuk kedalam 'rahmah', padahal pemaksaan itu sendiribertentangan dengan semangat rahmah. Alih-alih akan percaya, orang justru akan sinis dengan klaim itu. Akibatnya, doktrin Islam yang mulia itu (Islam rahmatan lil-'âlamîn) menjadi tercemar akibat berbagai tindakan mereka yang tidak segan-segan membajak agama untuk kepentingan kelompok sendiri.
Mereka adalah diktator yang berusaha menipu umat Islam dengan bertopeng sebagai juru bicara Tuhan. Ini bukan saja tindakan subversif terhadap negara, melainkan juga bisa menjadi subversi terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah subhânahu wa ta'âlâ, karena Tuhan melarang pemaksaan dalam bentuk apa pun dalam agama (lâ ikrâh fid-dîn), dan tidak pernah memberi mandat kepada siapa pun untuk menjadi juru bicara-Nya.
Keluarnya Perda-perda Syari'ah pada umumnya difasilitasi oleh fraksi partai-partai yang mengklaim sebagai partai Islam bekerjasama dengan politisi dan partai oportunis di DPRD daerah bersangkutan dengan dukungan atau desakan dari kelompok-kelompok garis keras. Di daerah seperti Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat bahkan dibentuk Komite Persiapan Penegakan Syari'ah Islam atau KPPSI yang menghimpun berbagai elemen gerakan. Di daerah lain, desakan penerapan syari'ah Islam sering datang dari kalangan garis keras seperti Hizbut Tahrir Indone­sia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi kelaskaran yang muncul dengan label Islam seperti Laskar Jihad, Laskar Jundullah, Laskar fi Sabilillah, dan lain-lain yang dari namanya saja tidak menimbulkan simpati pada mayoritas muslim dan umat yang lain. Tak jarang fraksi-fraksi partai berhaluan kebangsaan pun kesulitan menolak terlibat dalam proses persalinan Perda-perda Syari'ah tersebut, baik karena alasan mencari aman, takut dituduh anti Islam, atau karena alasan-alasan pragmatis kekuasaan. Tidak adanya pemahaman yang mendalam dan menyeluruh tentang Islam juga menjadi salah satu alasan sulit nya menolak klaim-klaim dan desakan para agen garis keras.
Tuduhan anti Islam yang dialamatkan oleh kelompok-kelompok garis keras kepada para penentang Perda Syari'ah pada dasarnya merupakan bentuk teror teologis yang memanfaatkan sentimen keagamaan. Tuduhan ini sangat efektif karena menciptakan rasa takut di kalangan sebagian orang Islam. Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba'asyir bahkan pernah mengancam, "Jika pemberlakuan syari'ah Islam dihalang-halangi maka umat Islam wajib berjihad," tegasnya, seakan-akan semua orang Islam setuju dengan pandangannya. Terobsesi dengan pemberlakuan syari'ah Islam secara formal, Ba'asyir selalu mengulang-ulang penegasannya: "Berjihad untuk melawan kaum kuffâr yang menghalangi dan menentang berlakunya syari'ah Islam adalah wajib dan amal yang paling mulia." Amir MMI itu menuding penen-tang Perda Syari'ah sebagai kafir.
Menghadapi tuduhan-tuduhan seperti di atas, anggota DPRD atau pemerintah daerah yang "lemah imannya" mungkin akan gentar mendengar ancaman semacam itu dan/atau sulit menjelaskan perbedaan besar antara Islam dan pemahaman atasnya. Tetapi para ulama yang memahami Islam secara mendalam dan menyeluruh, setia pada kebenaran, akan tahu sepenuhnya bahwa tuduhan itu hanyalah manuver politik semata yang sama sekali tidak memiliki bobot teologis. Ulama yang sejati tidak akan pernah mengkafirkan orang lain. Tuduhan kafir secara membabi buta di atas adalah bukti lain betapa pemahaman para agen garis keras tentang Islam sangat dangkal dan parsial.
Dari waktu kewaktu, grafik penerapan Perda Syari'ah menun jukkan peningkatan yang cukup tinggi. Jika pada tahun 2003 baru ada 7 daerah yang menerapkan Perda Syari'ah, maka hingga Maret 2007 sudah lebih dari 10 persen dari seluruh daerah di Indonesia yang menerapkan Perda Syari'ah, dan jumlah ini terus bertambah. Bahkan, disahkannya UU APP telah berdampak negatif di beberapa daerah. Hal ini antara lain bisa dilihat dengan dikeluar kannya larangan tari Jaipong yang merupakan tarian khas daerah setempat oleh Gubernur Jawa Barat, H. Ahmad Haryawan, walaupun kemudian menampik telah melarang tarian tersebut. Jika hal semacam ini terus dibiarkan dan mayoritas daerah atas desakan kelompok-kelompok garis keras menerapkan Perda Syari'ah, maka jalan menuju te­bentuknya negara Islam Indonesia memang menjadi terbuka lebar. Padahal secara historis, formalisasi Islam sering atau nyaris tidak pernah menyelesaikan masalah. Bahkan di negara yang memproklamirkan diri sebagai Negara Islam pun, degradasi moral seperti korupsi dan sejenisnya tetap merajalela, kesejahteraan rakyat tetap tidak merata. Dalam ungkapan lain, apa yang dulu ditekan, se­pe­rti segmentasi etnis dan kesukuan, manuver-manuver politik, persaingan antar pribadi, spekulasi dan korupsi mencuat kembali pasca islamisasi tersebut.
Sebenarnya, penentangan terhadap Perda-perda Syari'ah bukannya tidak ada. Pendiri Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, KH Abdurrahman Wahid, menyebut Perda-perda Syari'ah yang banyak bermunculan akhir-akhir ini sebagai kudeta terhadap Konstitusi.
Sementara tokoh Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif menanggapi maraknya Perda Syari'ah yang cenderung diskriminatif, menegaskan bahwa pemerintah pusat harus mengintervensi Perda-perda Syari'ah karena Konstitusi 1945 menjamin kebebasan beragama.
Buya Syafi'i juga menyebut bahwa jika syari'ah Islam benar-benar diterapkan sebagai hukum negara maka perpecahan tidak hanya akan te­rjadi antara kelompok Muslim dan non Muslim tetapi juga antarse sama umat Islam sendiri.
De­ngan menyebut kalangan non Muslim, apakah Buya Syafi'i berlebihan? S­pertinya tidak. Dari kalangan non Muslim, salah satu reaksi atas lahirnya Perda-perda Syari'ah adalah gagasan umat Kristiani untuk menjadikan Manokwari, Papua Barat, sebagai "Kota Injil," beberapa waktu yang lalu. Kemudian bergulir juga wacana untuk menerapkan "Perda Hindu" di Bali, "Perda Kristen" di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya Nasrani. Menanggapi lahirnya Perda-p­rda Agama ini Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mensinyalir bahwa tanda-tanda disintegrasi bangsa sudah terlihat sebagai akibat dari upaya penerapan hukum agama yang dipaksakan.
Organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), secara resmi menentang pemberlakuan Perda-perda Syari'ah. Rais Syuriah PBNU, KH Sahal Mahfudz mengatakan bahwa, "Kita (NU) menentang pemberlakuan Perda-perda Syari'ah karena akan menjurus kepada perpecahan bangsa. Syari'ah bisa dilaksanakan tanpa perlu diformalkan." Senada dengan itu, KH Hasyim Muzadi menyebut bahwa bahaya kampanye penerapan syari'ah secara formal bukan hanya akan menyebabkan perpecahan bangsa akan tapi juga mengubah Indonesia menjadi negara Islam.
Pihak pemerintah sendiri melalui Menteri Dalam Negeri (ketika itu Muhammad Ma'ruf) pernah menyatakan akan menginventarisasi Perda-perda Syari'ah yang banyak bermunculan di daerah. Menurutnya, Perda-perda itu akan dievaluasi dan diteliti mana yang berpegang pada konsensus nasional yaitu Pancasila, UUD '45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Dia menegaskan bahwa, Perda yang bertentangan dengan Undang-undang di atasnya dan melanggar kepentingan umum akan dibatalkan.
Namun, niatan pemerintah ini ditentang keras oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Fraksi PKS DPR, Mahfudz Sidik menyatakan, "Tidak ada dasar bagi pemerintah untuk mencabut Perda-perda yang bernuansa Islam, apalagi sejumlah aturan yang dikeluarkan beberapa Pemda tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Mereka yang menolak kehadiran Perda-perda Syari'ah itu lebih dilatarbelakangi ke­khawatiran dan kecemasan. Bagi masyarakat setempat, Perda-perda tersebut justru mendorong kehidupan mereka lebih baik. Karena itu, pemerintah pusat tidak perlu merespon pihak-pihak yang menolak Perda tersebut. Perda-perda itu tak ada alasan untuk dipersoalkan," ungkapnya seraya menambahkan bahwa PKS akan tetap mendukung Perda-perda tersebut. Dalam konteks ini, ada kecenderungan kuat bahwa demokrasi dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Demokrasi yang semakin kuat justru bergandengan tangan dengan intoleransi yang semakin pekat, maka tak berlebihan jika PKS dinilai sebagai ancaman demokrasi yang lebih besar dibandingkan dengan Jama'ah Islamiyah, misalnya.
Benarkah Perda-perda Syari'ah tersebut mendorong kehidupan yang lebih baik, seperti yang diyakini PKS? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dipublikasikan belumlama ini justru menunjukkan fakta sebaliknya. Dalam diskusi hasil penelitian tersebut pada 21-22 November 2007 di Bogor, para peneliti mengatakan bahwa tidak ada korelasi antara kesejahteraan masyarakat dengan penerapan Perda Syari'ah; kehidupan masyarakat tidak berubah antara sebelum dan sesudah diberlakukannya Perda-perda Syari'ah. Bahkan diungkapkan bahwa Perda-perda Syari'ah justru memicu terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak sipil terutama di kalangan non Muslim dan perempuan.
Kalangan non Muslim terkena kewajiban untuk melaksanakan beberapa aspek dari Perda Syari'ah. Di Kabupaten Cianjur, misalnya, dilaporkan seorang perempuan non Muslim mengaku dipaksa mengenakan jilbab di kantor setiap hari Jumat. Pemaksaan serupa juga menimpa seorang guru di sekolah negeri dan seorang siswi sebuah SMU. Bagi siswi yang menolak, orang tuanya diharuskan mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah non Muslim. Jilbabisasi juga diberlakukan terhadap keturunan Tionghoa yang bekerja di kantor BCA Cianjur. Kalangan non Muslim sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan penerapan syari'ah Islam di Cianjur, tetapi pada beberapa kasus ternyata aturan Perda syari'ah diberlakukan juga bagi kalangan non Muslim.
Menurut laporan the Wahid Institute, kaum perempuan non Muslim di Padang (Sumatera Barat) dan Bulukumba (Sulawesi Selatan) juga terkena kewajiban memakai jilbab setelah keluarnya Perda Syari'ah. Seorang wali murid Katolik yang 2 anak perempuannya dipaksa memakai jilbab di sekolah negeri di Padang men-coba me­mbujuk anaknya bahwa jilbab hanya sekadar etika berpakaian, jadi sebaiknya peraturan itu diikuti saja. Namun, anak-anaknya merasakan bahwa kewajiban be­rjilbab itu lebih dari sekadar etika berpakaian. Mereka merasakan bahwa saat ini berada dalam suatu lingkungan yang memusuhi agama mereka.
Beberapa siswi lain menyatakan bahwa saat ini rekan-rekannya telah memandang me reka pindah agama ke Islam karena memakai jilbab. Menanggapi kasus-kasus ini, seorang tokoh Katolik di Padang menyatakan bahwa Perda Syari'ah telah menimbulkan dampak psikologis yang cu kup serius terhadap kalangan siswi non Muslim.
Hasil riset CSRC UIN juga menyebutkan bahwa Perda-perda Syari'ah pada umumnya bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Perda jilbab, antiprostitusi, dan larangan keluar malam tanpa muhrim bagi p­rempuan yang diberlakukan secara serampangan telah menimbulkan ketakutan bagi para wanita untuk beraktivitas di luar rumah pada malam hari. Bahkan di Tangerang, pernah muncul kontroversi menyusul terbitnya Perda No. 8 tahun 2005 yang salah satu isinya (pasal 4) menye­butkan: "Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum... atau di te­mpat lain...." Pasal ini telah memakan korban ketika perempuan-perempuan baik-baik yang bukan peke­rja seks komersial (PSK) pun menjadi sasaran razia dan ditangkap petugas. Kasus ini menyulut kontroversi di berbagai media massa.
Di Aceh, kaum perempuan yang tidak berjilbab dipermalukan dengan dipotong rambutnya di depan umum. Peraturan mengenai jilbab dalam Perda telah mendiskreditkan perempuan yang tidak memakai jilbab, padahal hukum berjilbab itu sendiri masuk dalam ranah khilafiyah, ada ulama yang mewajibkan dan ada yang tidak. Sementara, jilbab sebenarnya adalah budaya, bahkan wanita Kristiani dan Yahudi pun di beberapa daerah Eropa dan Timur Tengah juga mengenakan jilbab.
Selain alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, formalisasi hukum Islam juga menjadi pintu masuk bagi pragmatisme kekuasaan di daerah-da­rah. Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada merupakan contoh penting dari kasus ini. Seorang calon Kepala Daerah tidak jarang menawarkan syari'ah sebagai "jualan" mereka untuk menarik perhatian pe­milih. Cara ini juga ditempuh elit politik untuk meningkatkan legitimasi keagamaan mereka di mata publik.
Sebagai contoh, Perda Syari'ah Islam di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dikeluarkan oleh bupati menjelang awal dan akhir masa jabatannya. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Perda-perda Syari'ah digulirkan oleh bupati untuk membangun citra dirinya yang sempat turun akibat kritik dari beberapa ulama atas kebijakan pembangunan di Kabupaten tersebut.
Di Cianjur, seorang calon Bupati yang menjual isu syari'ah Islam kemasyarakat berhasil meraih dukungan massa dan menduduki jabatan bupati.
Dalam kasus-kasus di atas, syari'ah Islam tidak lebih dari sekedar komoditas politik. Kolaborasi antara para politisi oportunis dengan kelompok-kelompok garis keras telah menjadi gejala politik baru yang bertanggung jawab atas keluarnya banyak Perda Syari'ah di berbagai daerah di tanah air. Kepentingan politik di balik penerapan Perda-perda Syari'ah te­ah membutakan para elit politik yang haus dukungan massa atas keragaman tafsir dan pengamalan Islam di masyarakat. Se­muanya ditundukkan kedalam satu pemahaman syari'ah versi kelompok garis keras, yaitu syari'ah Wahabi -Ikhwanul Muslimin. Itu sebabnya muatan P­rda-perda Syari'ah yang bermunculan di berbagai daerah tidak jauh berbeda dari aturan- aturan hukum yang diterapkan oleh rezim Arab Saudi dan rezim Taliban Afghanistan yang berpaham Wahabi. Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut, atau telah terprovokasi oleh kelompok-kelompok garis keras yang selalu siap dengan se­njata pamungkasnya : "Ikuti kami atau anda memang anti Islam dan kafir!"
Tuduhan kafir jelas merupakan manuver politik, siapa pun tidak akan menjadi kafir karena tuduhan tersebut. Kafir lebih disebabkan gerak hati (a'mâl al-qalb) terkait ajaran agama. Jargon-jargon seperti "Islam adalah solusi" dan "Selamatkan Indonesia dengan Syari'ah" adalah retorika simplistis dan komoditas politik sebagai usaha rekrutmen psikologis umat Islam.
Apakah seseorang kafir atau mukmin, itu adalah urusan dia dengan Tuhan, bukan urusan orang lain. Tuhan pun tidak memaksakan kehendak-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka alasan apa pula yang bisa membenarkan seseorang boleh memaksakan kehendaknya kepada yang lain, bah kan dalam hal agama sekalipun?

Syari'ah sebagai Solusi Krisis Multidimensional
Mayoritas responden berpendapat bahwa penyebab krisis yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 adalah karena negara ini tidak menerapkan syari'ah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi memakai sistem hukum yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Akibatnya, hukum Tuhan dijauhkan dan tidak menjadi penentu utama dalam segala keputusan dan kebijakan yang menyangkut kehidupan publik. Seorang respon den mengatakan bahwa berbagai krisis yang menimpa Indonesia menandakan bahwa "bangsa ini sudah kafir," karena Islam tidak dijadikan rujukan. Mayoritas responden penelitian menarik isu krisis multidime­nsi kedalam wilayah teologis. Pernyataan seorang responden ini bisa mewakili pandangan terhadap masalah krisis multidimensi tersebut :
Sumber masalahnya karena Syari'ah Islam tidak ditegakkan. Kalau ditegakkan, setiap pencuri potong tangan, siapa yang mau mencuri lagi? Kalau yang berzina dirajam, siapa yang mau berzina?..... Kalau pencuri tidak dipotong tangannya, berapa tubuh orang yang rusak dan berapa kerugian negara dari kerjaan tangan pencuri tersebut? Kalau pe­mbunuh tidak diqisas, berapa nyawa manusia yang melayang dari pembunuhan tersebut?
Para responden juga mengatakan bahwa salah satu sebab mengapa aturan syari'ah mengalami proses marjinalisasi adalah karena arus globalisasi. Globalisasi dimaknai sebagai universalisasi, liberalisasi ekonomi, dan Westernisasi atau bahkan Amerikanisasi. Dalam pengertian universalisasi, globalisasi dipandang punya kontribusi dalam melahirkan homogenisasi budaya yang, pada tingkat tertentu, memarjinalkan nilai-nilai agama. Budaya global yang selalu menjadi rujukan dan trend-setter adalah sesuatu yang diinisiasi, dikonstruksi, dan dikembangkan oleh Barat (Amerika dan Eropa). Dengan demikian, globalisasi juga dipahami oleh para responden sebagai Westernisasi atau bahkan lebih spesifik lagi, Amerikanisasi.
Dalam konteks hukum, para responden beranggapan bahwa setelah reformasi tidak ada penegakan hukum. Tidak hanya aparat penegak hukum di pengadilan yang oleh para responden dianggap tidak mampu menegakkan hukum secara memadai, tapi juga aparat kepolisian. Mereka dianggap tidak mampu memberantas tempat-tempat maksiat di berbagai tempat di Indonesia, seperti tempat prostitusi dan perjudian, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung, yang berskala besar atau ke­cil.4
Hampir semua responden sepakat bahwa syari'ah Islam adalah solusi terhadap semua krisis yang dialami bangsa ini. Syari'ah Islam diperlukan untuk memperbaiki moral masyarakat yang rusak karena Tuhan semakin dijauhkan dari kehidupan mereka. Di bidang hukum, efek jera hukum Islam dianggap lebih kuat dibanding sistem yang selama ini be­rlaku. Efek j­ra ini sangat diperlukan jika bangsa Indonesia ingin mengatasi problem akut yang sudah sekian lama tidak bisa dipecahkan, yaitu kolusi, korupsi, dan nepo­tisme. Di bidang ekonomi, ekonomi Islam dianggap jauh lebih menjanjikan dalam menciptakan kesejahteraan umat dibanding sistem ekonomi sekuler yang tidak bisa le­pas dari riba. Keadilan sosial akan bisa tercapai jika menerapkan syari'ah Islam karena sistem ini lebih memihak kepada masyarakat luas dibanding sekadar membela kepentingan kelompok minoritas elit seperti dalam sistem kapitalis. Jika sistem kapitalis melahirkan kesenjangan sosial, sistem ekonomi Islam melahirkan keadilan sosial.
Untuk menegakkan syari'ah Islam maka diperlukan adanya persatuan umat Islam. Syari'ah Islam sulit ditegakkan selama umat Islam terpecah belah, mudah diadu domba, dan tidak mau bekerja sama. Menurut para responden, perbedaan strategi dalam memperjuangkan syari'ah Islam tidak berarti tidak ada titik temu. Paling tidak berbagai organisasi Islam bisa bertemu dalam satu hal: memperjuangkan syari'ah Islam dengan berbagai cara, baik lewat Perda
Syari'ah seperti dilakukan KPPSI dan lain-lain; mempengaruhi kebijakan publik seperti dilakukan MUI dan lain-lain; menguasai parlemen seperti dilakukan PKS, PBB dan lain-lain; sweeping seper-ti dilakukan FPI, FBR dan lain-lain, maupun dengan cara yang lain.
Ada kecenderungan kuat kelompok-kelompok garis keras memahami Islam lebih sebagai seperangkat aturan hukum. Padahal Islam tidak hanya terdiri dari aturan hukum (islâm) yang berkaitan dengan aspek jasmaniah. Ia juga terlibat dengan aspek emosional dan spiritual yang berkaitan dengan keyakinan (îmân) dan kebaikan lahiriah dan batiniah (ihsân) manusia. Idealnya, ketiga aspek ini harus se­mbang untuk mencapai kualitas ke­be­ragamaan yang matang dan dewasa. Dalam kaitan ini, Jenderal (Purn.) Polisi I Made Mangkupastika mengemukakan, "Saya sudah meneliti para pelaku teror atas nama Islam yang tertangkap di Indonesia. Akhrinya saya sampai pada kesimpulan, mereka mengidolakan syari'ah [hukum Islam, red.] dan sama sekali tidak tahu tentang hakikat dan ma'rifat. Jika mereka sudah sampai ketinkat hakikat dan ma'rifat, tidak mungkin mereka berbuat begitu."
Dengan demikian, tidak heran jika mereka ingin menyelesaikan masalah hanya dengan pendekatan hukum. Bahkan, ketika membincang masalah yang dihadapi bangsa pun, mereka lebih fokus pada hal-hal seperti pencurian, prostitusi, minuman keras, dan semacamnya. Akibatnya, ketika mereka menyatakan bahwa Tuhan semakin jauh, jalan yang ditawarkan bukanlah kesadaran spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi implementasi hukum dan formalisasi agama agar "Tuhan" (tuan?) mendekat kepada mereka. Tidak jelas benar, apa yang mereka maksudkan bahwa 'syari'ah sebagai solusi krisis multidimensional.' Mereka berpikir bahwa recovery ekonomi, sistem politik, dan hal-hal lain harus taken for granted dari syari'ah. Jelas bahwa kelompok-kelompok garis keras telah salah paham atau memang tidak mengerti maksud : Islam meliputi (syumûliyah) semua aspek kehidupan manusia. Mereka mema hami syumûliyah di sini adalah dalam makna struktural.

Garis Keras Versus Umat Islam
Penelitian ini menghasilkan temuan tentang pertentangan antara pandangan-pandangan kelompok garis keras dengan mayoritas umat Islam. Maka menjadi jelas bahwa kelompok-kelompok garis keras yang tampak mendominasi ruang public sebenarnya tidak mewakili pandangan mainstream Islam Indonesia. Keunggulan mereka semata-mata karena militansi dan tak kenal lelah berani bersuara vokal. Agama sudah menjadi "bisnis" mereka yang digunakan untuk mencapai kekuasaan, mengejar karier, mengumpulkan kekayaan, dan lain-lain yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam itu sendiri. Hal ini berbeda dari kebanyakan umat Islam yang pada umumnya merupakan silent majority dan tidak membisniskan agama, sehingga suara mereka seakan terserap oleh hiruk-pikuk kelompok minoritas yang rewel dan militan tersebut.
Para responden yang mempe­rjuangkan Perda-perda Syari'ah hampir semuanya menyatakan bahwa Islam merupakan agama yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Atas dasar itu, Islam harus diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, bukan ha nya ibadah tapi juga dalam kehidupan politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Pandangan ini sebenarnya juga dianut oleh semua umat Islam. Bedanya, kelompok-kelompok garis keras memandang bahwa penerapan syari'ah itu harus dilakukan melalui otoritas pemerintah (seperti Perda). Sementara mayoritas umat Islam Indonesia yang diwakili NU dan Muhammadiyah berpandangan bahwa syari'ah Islam wajib diamalkan tetapi tidak harus melalui otoritas pemerintah, melainkan melalui kesadaran setiap individu.
kelompok-kelompok garis keras berpandangan bahwa konsep Islam kaffah memiliki konsekuensi kewajiban untuk membentuk pemerintahan atau kekhalifahan Islam. Sementara mayoritas umat Islam berpandangan bahwa kewajiban utama adalah taat pada pemerintahan yang sah dan berdaulat, sedangkan bentuk dan sistem pemerintahannya cukup sesuai dengan bentuk dan sistem di negara masing-masing. Dua pandangan yang berbeda ini berimplikasi pada perbedaan cara memposisikan dan melihat syari'ah Islam, serta bagaimana syari'ah Islam itu beroperasi di tengah masyarakat, terutama masyarakat plural seperti Indonesia.
Para responden meyakini syari'ah sebagai sebuah hukum cip-taan Allah yang lengkap dan menyeluruh (syumuliah), walaupun tanpa dilengkapi prosedur hukum yang jelas. Pandangan semacam ini diikuti oleh pemikiran bahwa hukum Islam harus diperlakukan sama oleh setiap orang Islam di mana pun berada tanpa mengindahkan batas-batas negara. Tetapi, mayoritas ulama dan umat Islam tidak berpandangan seperti itu. Bagi kebanyakan mereka, hukum Islam bersifat kontekstual, yaitu terikat dengan ruang dan waktu dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat (al- hukmu yadûr ma' al-'illah, wujûdan wa 'adâman). Contohnya adalah perubahan pandangan hukum Imam Syafi'i ketika ia berpindah dari Irak (yang telah melahirkan qaul qadîm atau fatwa-fatwa lama) ke Mesir (yang melahirkan qaul jadîd atau fatwa-fatwa baru). Dengan cara seperti inilah hukum Islam menjadi hidup dan sejalan dengan nafas zaman.
Dari hasil penelitian lapangan ini juga tampak bahwa ideologi hukum yang dianut kelompok-kelompok garis keras telah menghasilkan sebuah pandangan hukum yang kaku, yaitu: Pertama, hukum Islam dipercayai mampu mengatur segala macam permasala han hukum yang muncul pada era modern sekarang ini sehingga keputusan-keputusan yang dibuat di luar lembaga syari'ah harus ditolak. Kedua, orientasi perjuangan implementasi hukum Islam yang lebih inward-looking, sehingga tidak terlalu memberikan perhatian yang mendalam terhadap isu-isu di luar substansi hukum Islam yang belum diatur. Masalah-masalah hukum kontemporer yang dihadapi bangsa ini sama sekali tidak disentuh, seperti masalah pluralisme hukum, konflik antarsistem hukum, atau hubungan hukum Islam dengan tradisi hukum lain yang ada di Indonesia. Akibatnya, persoalan-persoalan praktis kebangsaan yang berhubungan dengan hukum secara umum tidak diperhatikan. Pandangan hukum seperti di atas bersumber dari asumsi bahwa karena Tuhanlah sumber dari segala sumber kehidupan maka manusia tidak sepantasnya berpegangan kepada sistem hukum yang dibuat bukan oleh sumber ke­hidupan tersebut. Hanya Allahlah yang berhak menciptakan hukum karena Dialah yang mengetahui kebutuhan manusia seluruhnya. Pandangan semacam ini dapat dilihat misalnya dalam pernyataan seorang responden di Palembang :
Sistem syari'ah Islam itu dibentuk berdasarkan al-Qur'an, tidak bisa dibentuk oleh manusia. Kalau undang-undang dibuat oleh manusia, maka sistemnya tidak bisa menga lahkan sistem Tuhan dalam al-Qur'an.
Pada satu sisi, pemahaman semacam ini menegaskan pandangan yang totaliter terhadap sistem hukum. Pandangan ini me­nolak apa pun yang ada di luar sistem syari'ah karena hukum-hukum yang tidak berasal dari Islam tidak pantas untuk dijadikan sebagai pedoman hidup karena diturunkan dari pemikiran manusia saja. Pada sisi yang lain, para tokoh dan/atau agen garis keras merasa benar-benar mengerti keinginan Tuhan ketika menafsirkan al-Qur'an sehingga merasa tidak akan salah. Mayoritas umat Islam tidak berpandangan seperti itu. Bagi mereka, adat suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan Islam bisa menjadi hukum. Dasarnya adalah kaidah Ushul Fikih, al-'adat muhakkamah (adat bisa menjadi hukum).
Perdebatan tentang apakah selain Tuhan dapat menjadi sumber hukum dalam Islam sejatinya merupakan persoalan yang sudah berlangsung sejak masa se­arah awal Islam itu sendiri. Polemik tersebut dimulai ketika kaum Muslim mempertanyakan peran yang dapat dimainkan oleh akal manusia dalam menentukan baik dan buruk. Kelompok yang percaya pada kemampuan akal manusia cenderung bersikap positif dalam hal ini. Dalam pandangan mereka, akal manusia seharusnya bisa menjadi sumber hukum dalam menentukan kebaikan atau keburukan suatu hal. Di samping wahyu Tuhan, akal sejatinya dapat menjadi hakim dari perbuatan manusia, sehingga sumber hukum Islam tidak hanya didasarkan pada Qur'an dan Sunnah saja tetapi juga akal manusia itu sendiri. Kelompok yang lain memiliki pemahaman bahwa selain Tuhan sejatinya tidak dapat menjadi hakim dari persoalan-persoalan hukum yang dihadapi karena Tuhanlah yang berhak menentukan sesuatu itu baik atau buruk.
Dari isu sederhana tentang peran akal tersebut maka bergulirlah persoalan apakah hukum Islam dapat berpegangan kepada selain alQur'an dan Sunnah, misalnya kepada hukum adat atau tradisi normatif masyarakat lokal tertentu? Bagi mayoritas umat Islam tradisi-tradisi hukum yang hidup dalam masyarakat, dimungkinkan untuk berperan sebagai rujukan hukum dengan landasan Ushul Fikih yang te­lah dise­butkan di atas.
Para responden menyatakan kecende­rungannya terhadap pemikiran hukum yang menempatkan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pembentukan hukum. Oleh karena itu mereka biasanya hanya basa-basi (lip service) ketika menyatakan tentang peran nilai-nilai normatif masyarakat lokal dalam penciptaan hukum. Secara umum mereka juga memandang sebelah mata terhadap eksistensi sistem hukum di luar Islam. Bagi mereka, kesempurnaan hukum Islam merefleksikan sifat independensi Islam dalam hal penetapan hukum. Konsekuensinya, nilai-nilai hukum yang secara teoretis tidak berasal dari wahyu akan ditolak karena semua perkara pada dasarnya sudah dipecahkan oleh Tuhan.
Tipe pemikiran ideologi hukum seperti ini pada tataran praktisnya berimplikasi kepada dua sikap: Pertama, kecenderungan untuk menolak segala bentuk nilai normatif yang berada di luar sistem kewahyuan Islam. Adat atau tradisi hukum masyarakat lokal juga tak luput dari penolakan ini karena dianggap tidak bersumbe­r dari/berlandaskan pada Syari'ah. Kedua, sikap apatis te­rhadap eksiste­nsi tradisi hukum yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mereka juga menolak kemungkinan dialog antara hukum Islam dengan hukum lain dalam rangka pembangunan sistem hukum nasional. Dengan kata lain, pemahaman terhadap syari'ah seperti itu memberi dampak pada sikap penolakan terhadap kenyataan pluralisme hukum.
Hal yang menarik untuk dicermati adalah variasi argumen baru dalam sikap para responden terhadap nilai-nilai lokal/adat. Hal ini dapat dilihat dari penelitian terhadap Komite Persiapan Penegakan Syari'ah Islam (KPPSI) di Padang, Sumatra Barat, yang menjadi wadah bagi beberapa organisasi garis keras di propinsi ini seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Paga Nagari, dan kelompok lokal lainnya. Jargon "Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah" yang semula ditujukan untuk memfasilitasi rekonsiliasi konflik kelompok Islam dengan kelompok adat, rupanya diubah orientasi pemaknaannya oleh KPPSI ke­pada syari'ah untuk menguasai hukum adat.
Jargon itu pun tidak lagi dipahami sebagai kesiapan untuk saling berdialog antara Islam dan adat dalam proses penciptaan hukum, akan tetapi kepada argumen perlunya legislasi hukum Islam di Sumatra Barat dengan mengesampingkan eksistensi hukum adat. Sikap seperti ini tidak hanya dijumpai di Padang saja tetapi juga di tempat-tempat lain, misalnya di Gorontalo. Fenomena seperti ini sejatinya be­rsifat ahistoris, karena ketika agama Islam masuk keNusantara, wilayah ini sudah sangat kaya dengan tradisi keberagamaan dan peradaban, termasuk tradisi dan peradaban hukum. Sejak kedatangannya Islam telah bersikap akomodasionis (baca: menerima tradisi lokal) dan melebur ke dalam budaya masyarakat setempat. Ini bukan hal yang sukar bagi Islam yang di dalam doktrinnya sendiri memerintahkan agar dakwah dilakukan sesuai dengan kultur masyarakat yang bersang kutan (QS. 14:4). Di dalam tradisi dan peradaban masyarakat yang beragam itu Islam justru memasukkan nilai-nilai moral dan teologis sehingga Islam tumbuh dan berkembang dengan corak yang bhinneka atau plural sesuai dengan budaya masyarakat Nusantara yang juga bhinneka. Dari sini pula lahir tradisi pluralisme hukum Islam dalam masyarakat Indonesia.
Gerakan-gerakan Islam yang berorientasi pada formalisasi agama sekarang ini rupanya telah menelikung sejarah Islam di negeri sendiri. Sikap rekonsiliatif yang menjadi tradisi masyarakat Muslim dalam menyikapi adat lokal pun menipis sejalan dengan masuknya pengaruh aliran semacam Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang dibawa oleh para agen garis keras dengan berpretensi melakukan pemurnian secara membabi buta, yaitu menolak semua yang me­reka anggap sebagai "tidak Islami."
Sejalan dengan itu, tradisi hukum adat yang hidup selama ratusan tahun dalam masyarakat kita pun dinafikan. Akibatnya, tradisi apresiasi dan rekonsiliasi terhadap perbedaan faham dan kebhinnekaan masyarakat semakin berkurang. Sikap positif terhadap tradisi-tradisi normatif yang berasal dari luar Islam pun menurun.
Sikap seperti itu sebetulnya mudah diprediksi karena orientasi ideologis yang bersifat totalitarian sentralistik yang mengantarkan kepada pemahaman eksklusif dan kaku terhadap hukum Islam. Tradisi hukum yang berasal dari luar Islam harus didudukkan dalam kerangka subordinat karena pemahaman mereka atas syari'ah yang harus dijadikan standar tunggal untuk memfilter keragaman tradisi normatif yang hidup dalam masyarakat. Pemahaman semacam ini membawa kepada pandangan hidup yang monolitik, sehingga pluralisme hukum yang nyata-nyata hidup dalam masyarakat harus diubah agar sesuai dengan pemahaman syari'ah mereka yang totalitarian sentralistik dan monolitik.
Penolakan kepada tradisi-tradisi hukum di luar syari'ah sebagaimana di atas pada kenyataannya tidak hanya tertuju kepada tradisi lokal hukum adat saja, tetapi juga secara umum kita dapati dalam sikap para responden terhadap hukum Barat dan sistem de­mokrasi yang dianggap berasal dari Barat. Hampir semua responden sepakat bahwa Islam mustahil disandingkan dengan Barat. Nilai-nilai Islam tidak mungkin dikomparasikan dengan nilai-nilai dari Barat karena keduanya memang tidak sejajar dan berasal dari dunia yang sama sekali berbeda. Di beberapa daerah di mana isu penegakan syari'ah muncul secara dominan, gerakan penolakan terhadap segala sesuatu yang berasal dari Barat muncul secara dominan pula.
Di Padang, Bog­r, Makassar, Aceh, Palembang, dan tempat- tempat lainnya, isu-isu anti ilmu Barat, filsafat Barat, rasionalisme Barat, dan lain-lainnya muncul secara koinsiden dengan semakin gencarnya kampanye penegakan syari'ah tersebut. Secara umum para responden menonjolkan keunggulan Islam di atas semua sistem nilai kehidupan sebagai alasan tidak perlunya Islam mengadopsi nilai-nilai Barat, yang mereka anggap justru akan merusak keislaman masyarakat itu sendiri. Seorang responden menyatakan sebagai berikut :
. Ke­rusakan kita yang paling parah adalah masalah akhlak. Dan ini adalah keberhasilan yang disebarkan oleh Yahudi-Nasrani. Kita tidak berdaya, kita anggap semua yang datang dari Barat adalah bagus. Tidak, saya bilang! Al-Qur'an ini adalah petunjuk bagi orang taqwa dan taqwa itu penduduk surga.
Ideologi absolutisme hukum Islam membawa kepada pemahaman bahwa semua nilai-nilai kehidupan manusia yang berasal dari pemikiran non Islam tidak bisa diterima. Logika sederhananya adalah : mengapa orang Islam harus mengambil aturan dan nilai- nilai kehidupan dari luar Islam padahal Islam telah menyediakan itu semua untuk dipraktikkan dalam kehidupan? Dengan alasan ini, sebagian responden menolak demokrasi.
Para responden tidak hanya berpandangan negatif terhadap Barat, tetapi juga kepada orang-orang Islam yang mereka anggap mengikuti jalan pemikiran Barat, seperti pe­rnyataan salah seorang responden di Yogyakarta :
Itu adalah tren baru yang muncul dengan adanya kemunduran umat Islam. Karena kesalahan logika, ketika melihat Islam berada di bawah sedangkan peradaban Barat di atas. Beberapa generasi Islam akhirnya menjadi silau dan berupaya bisa maju seperti Barat. Untuk menjadi maju mereka berpikir, tidak ada jalan lain kecuali mengikuti cara Barat.
Menurut para responden, Islam selamanya tidak dapat direkonsiliasikan dengan Barat. Banyak pula yang meyakini bahwa demo­krasi tidak akan mungkin dicari dasar penguatnya dalam ajaran Islam, karena demokrasi pada dasarnya memberikan kekuasaan kepada masyarakat (rakyat), termasuk di dalamnya kekuasaan menciptakan hukum, karena hukum memang dipahami berasal dari nilai-nilai normatif masyarakat. Sedangkan dalam Islam, kekuasaan untuk mengatur kehidupan itu semata-mata merupakan hak Allah. Seorang responden di Bogor mengemukakan :
Pengertian demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Implikasinya hak membuat hukum ada di tangan rakyat, bukan di tangan Allah. Jika demikian, maka de mokrasi bertentangan dengan Islam yang mengakui hak membuat hukum itu hanya milik Allah.
Di sinilah doktrin Khilafah Islamiyah sebagaimana yang di munculkan oleh kelompok HTI mendapatkan tempat. Bagi mereka, Khilafah Islamiyah adalah jawaban Islam terhadap dominasi sistem demokrasi Barat yang sudah begitu mendalam merasuki relung masyarakat Islam di dunia ini. Meski secara formal doktrin Khilafah Islamiyah diusung oleh HTI, namun dalam wacana publik banyak kelompok garis keras sepakat dengan agenda HTI ini karena di dalamnya terkandung agenda legislasi hukum Islam yang menjadi obsesi semua kelompok garis keras. Persoalannya, lagi-lagi mayoritas umat Islam Indonesia tidak sepakat de­ngan doktrin Khilafah Islamiyah. Bahkan ormas Islam terbesar seperti NU menyebut Khilafah Islamiyah yang dibawa HTI sebagai ideologi transnasional yang berbahaya bagi bangsa Indone­sia.
Obsesi kepada sistem khalifah membuat HTI menolak sistem pemerintahan Indonesia yang ada sekarang, yang menurut mereka sekadar turunan dari sistem demokrasi Barat. Pandangan ini sejalan dengan MMI yang juga menolak sistem demokrasi karena buatan manusia yang pasti mengandung banyak cacat. Sebagai alternatifnya, MMI mengusung konsep "Allah krasi," yaitu sistem pemerintahan berdasarkan hukum-hukum Tuhan yang sempurna. Allah krasi lah, dan bukan demokrasi, yang akan membawa kebaikan bagi segenap umat manusia. Untuk tegaknya sistem Allah krasi itu, MMI memperjuangkan negara Islam dan menolak pemerintahan Indonesia yang sekular karena menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal.
Namun pada kenyataannya, MMI tetap bisa berkompromi dengan sistem pemerintahan yang ada. Perjuangan MMI dalam penegakan syari'ah pun diwujudkan dalam bentuk usulan-usulan rumusan undang-undang atau peraturan kepada lembaga politik yang ada (eksekutif atau legislatif) ketimbang menolak terlibat dengan pemerintah sebagaimana yang ditunjukkan oleh HTI. Meski pendekatan mereka berbeda, baik HTI maupun MMI sesungguh nya memiliki sifat yang sama dalam pandangan hukum mereka yaitu absolutistik dan totaliter, se­hingga tujuannya tetap sama dalam aspek menguasai hukum yang ada untuk disubordinasikan kedalam pandangan hukum mereka.
Pendapat para responden penelitian ini nyaris sama dalam hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai abstrak atau dimensi teologis hukum Islam. Sedangkan dalam hal-hal yang lebih aplikatif dan aksi implementatif hukum tersebut, terdapat polarisasi. Pandangan teologis mereka sama bahwa syari'ah tidak lain adalah hukum Tuhan yang diturunkan di bumi untuk mengatur seluk- beluk kehidupan orang Islam baik dalam hal kehidupan individu maupun bermasyarakat. Namun dalam hal praksis, tidak ada kata sepakat mengenai implementasi ajaran syari'ah tersebut dalam kehidupan nyata.
Polarisasi itu terbentuk karena adanya benturan antara pertimbangan imaginatif mereka dengan realitas kehidupan itu sendiri. Akibatnya, muncullah berbagai bentuk gerakan Islam dari yang cenderung keras seperti ingin menegakkan Khilafah Islamiyah di pentas politik nasional, terang-terangan menolak demokrasi (tidak ikut pemilu, misalnya), serta bersikap frontal terhadap NKRI (direpresentasikan oleh HTI), hingga gerakan yang ingin menegakkan supremasi syari'ah di pentas nasional tapi melalui mekanisme demokrasi dan karena itu ikut pemilu (direpresentasikan Partai Keadilan Sejahtera atau PKS). Ada juga yang ingin menegakkah syari'ah dalam lingkup daerah seperti KPPSI di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat.
Pertanyaannya kemudian : Apakah kampanye penegakan syari'ah tersebut dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang plural yang telah menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum nasional? Apakah metode penyampaiannya sesuai dengan prinsip-prinsip syari'ah itu sendiri?
Jika menengok negara-ne­ara yang sudah menerapkan syari'ah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan, Nigeria, dan lain-lain, maka penerapan syari'ah Islam, lebih tepatnya penerapan fikih, sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan. Puluhan ribu orang mati di Sudan Selatan karena perang sipil ketika sistem syari'ah diperkenalkan pada tahun 1983. Di beberapa propinsi Nigeria, di mana hukum syari'ah dalam bentuk hudud diberlakukan, orang-orang dicambuk dan dipotong tangannya, untuk menunjukkan bahwa rezim penguasa adalah orang-orang yang konsisten melaksanakan hukum Allah. Di Pakistan dan Afghanistan hampir setiap saat bom meledak karena pemahaman yang kaku terhadap syari'ah. Bahkan di Mesir yang cende­ung sekuler, seorang penulis wanita (Farah Fauda) mati dibunuh di depan apartemennya oleh seseorang yang tengah melaksanakan fatwa ulama yang menyebut bahwa sang penulis telah murtad. Seorang ulama Mesir yang membela si pembunuh me­nyatakan bahwa jika pemerintah gagal melaksanakan syari'ah (termasuk membunuh yang murtad tadi) maka setiap muslim berhak melaksanakan pembunuhan itu. Penerapan syari'ah dengan otoritas wilâyatul faqih di Iran sejak 1979, telah menyebabkan banyak umat Islam Syi'ah menjadi risih dengan kemunafikan ulama dan kemudaian menolak Islam. Iran juga tercatat sebagai salah satu negara dengan prosentase tertinggi kecanduan narkoba di dunia. Sementara penerapan fiqh Wahabi di Arab Saudi bisa terlihat dalam kasus seperti belasan gadis sekolah yang terbakar hidu-hidup setelah ditolak menyelamatkan diri dari gedung sekolahnya yang terbakar oleh polisi agama semata karena mereka tidak memakai cadar.
Perang sipil dan pertumpahan darah di Sudan Selatan terjadi karena penerapan syari'ah. Konflik berdarah di Nigeria utara terjadi karena kelompok-kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin memberlakukan syari'ah, sementara Nigeria adalah negara plural dengan konstitusi non agama seperti Indonesia. Menurut laporan, ketika syari'ah Islam pertama kali diterapkan di Nigeria utara, lebih dari 6000 orang mati akibat konflik agama antara 1999-2002. Di wilayah Kaduna, sekitar 2000 orang meregang nyawa akibat kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syari'ah pada tahun 2000. Kerusuhan agama yang dipicu oleh penerapan syari'ah juga t­rjadi di daerah-dae­rah Bauchi, Jos, dan Aba, yang menelan korban nyawa ratusan orang.
Apakah Perda-perda Syari'ah Islam yang banyak bermunculan di tanah air kita akhir-akhir ini akan menciptakan "kebahagiaan" yang sebe­narnya bagi bangsa Indonesia jika sudah terbukti gagal di negara-negara lain? Satu-satunya cara untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup yang sebenarnya di dunia dan akhirat, adalah dengan mngkuti syari'ah dalam pengertiannya yang paling dalam dan luas, yakni sebagai jalan menuju Allah swt. Realisasi semacam ini bisa terlihat pada jiwa-jiwa yang tenang, yang berserah diri, tunduk, dan patuh secara jasmaniah (fisikal), nafsaniyah (emosional), dan rohaniah (spiritual) hanya kepada-Nya, dan menjaga diri agar tidak didominasi ole­h hawa nafsu. Kebahagiaan dan kesem purnaan hidup tidak akan pernah bisa dicapai melalui pemaksaan maupun formalisasi agama, tetapi melalui kesadaran yang tumbuh di dalam hati. Ironisnya, hampir semua garis keras sepakat untuk menerapkan syari'ah dalam arti sempit (baca : hukum Islam) sambil menolak spiritualitas untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.

Memanfaatkan atau Menolak Demokrasi untuk Menegakkan Syari'ah?
Demokrasi adalah sistem yang dipilih bangsa Indonesia sejak berdirinya Republik ini, mulai dari Demokrasi Terpimpin yang dipraktikkan Soe­karno sampai Demokrasi Pancasila yang diusung Orde Baru. Meskipun kedua model demokrasi tersebut pernah di manipulasi oleh rejim yang berkuasa waktu itu, di era reformasi ini demokrasi masih tetap dianggap sebagai pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia.
Dalam penelitian ini muncul karakteristik kelompok-kelompok garis keras yang menunjukkan adanya dua wajah. Lima puluh sembilan persen (59%) menolak demokrasi karena dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun empat puluh satu persen (41%) yang lain termasuk kebanyakan pendukung PKS menerima demokrasi untuk mencapai tujuan mereka. Baik yang mene­rima maupun yang menolak akhirnya bertemu pada tujuan yang hendak mereka capai, yaitu legislasi hukum Islam dan mendirikan Negara Islam. Jika tujuan itu sudah tercapai, kelak dengan sendirinya demokrasi bisa dibuang, karena demokrasi dalam hal ini hanya sebagai alat sementara untuk mencapai tujuan. Hal ini telah berhasil dilakukan, misalnya, oleh Hamas yang berideologi Ikhwanul Muslimin di Palestina yang memanfaatkan demokrasi untuk menguasai pemerintahan, dan setelah berkuasa mereka kemudian menghancurkan kelompok Islam yang lain (baca : kelo­mpok Fatah). Ringkasnya, demokrasi digunakan untuk tujuan yang tidak demokratis.
kelompok-kelompok garis keras yang tidak menerima demokrasi mendasarkan diri pada pertimbangan teologis dan sosiologis. Secara teologis demokrasi dianggap sistem yang tidak Islami karena tidak berasal dari Islam. Sebagai ciptaan manusia, demokrasi dijalankan tanpa landasan tauhid dan keimanan. Pada hal dalam Islam, sistem politik harus didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah. Asumsi yang dibangun dalam demokrasi bahwa kekuasaan di tangan rakyat bertentangan dengan Islam yang menganggap kekuasaan di tangan Tuhan. Dalam demokrasi, keputusan didasarkan pada suara terbanyak, sedangkan dalam sistem islam(khilafah) pengambilan keputusan harus lewat ahl hall wal 'aqdi, yang di dalamnya duduk para tokoh yang memiliki otoritas. Dalam konteks ini yang lebih ditekankan adalah kompetensi bukan jumlah suara yang didapat. Seorang responden mantan anggota Laskar
Jihad, mengatakan :
Mengangkat presiden dengan suara terbanyak bertentangan dengan al-Qur'an. Apalagi kalau dikatakan suara rakyat adalah suara Tuhan. Kebenaran tidak boleh diatur dengan suara terbanyak. Dalam Islam, mengangkat pe mimpin itu dengan syura oleh orang-o­rang berilmu.
Penolakan kelompok garis keras tidak hanya terhadap demokrasi, tapi juga terhadap perangkat yang menyertainya, seperti pe­milu. Pemilu dianggap haram hukumnya kare­na ia dilaksanakan bukan untuk mengimplementasikan hukum Islam, tapi hukum sekuler yang diputuskan lewat suara mayoritas. Demokrasi dianggap tidak tepat karena mayoritas bangsa Indonesia adalah Muslim. Para responden menyatakan bahwa sudah sewajarnya jika syari'ah Islam dijadikan se­bagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka berdalih demokrasi telah gagal menjawab problem kontemporer bangsa dan gagal melahirkan perubahan. Ketika sistem demokrasi telah gagal, mengapa sistem Islam tidak diberi kesempatan untuk dijadikan sebagai alternatif? Bagi sebagian responden, demokrasi sudah harus diganti dengan sistem yang berbasiskan pada syari'ah Islam yang punya kepastian hukum yang tetap karena diciptakan oleh Allah.
Tak lepas dari ideologi totalitarianbsentralistik yang dianutnya, para agen ke­lo­mpo­k-kelompok garis keras selalu merespon permasalahan dalam dikotomi dan oposisi biner. Te­rkait dengan demokrasi, mereka berpikir bahwa Tuhan turut bermain secara efektif dalam percaturan politik praktis. Itu sebabnya mereka menilai demokrasi sebagai pesaing bagi kekuasaan Tuhan. Hal ini kerap dilakukan orang-orang yang inferior dan mengajak atau membawa Tuhan terlibat dalam kontestasi politik mereka untuk meraih kekuasaan. Sebagai alternatif, mereka menawarkan ahl al- hall wal 'aqd dalam memilih pemimpin atau penguasa politik. Mereka berpikir, dalam majlis ahl al-hall wal 'aqd semuanya berjalan lancar-lancar saja dan tidak ada permasalahan. Andai mereka jeli membaca sejarah Islam, khususnya alasan mengapa 'Umar ibn al- Khaththab menetapkan tujuh orang sebagai ahl al-hall wal 'aqd untuk memilih penggantinya, pasti mereka sadar. Mungkin mereka me­lihat ahl al-hall wal 'aqd memang sempurna, atau pengetahuan mereka sangat dangkal tentang Islam dan hal-hal praktis terkait lainnya. Hal ini juga terlihat, antara lain, dalam reduksi syari'ah semata sebagai seperangkat aturan hukum. Padahal, sebagaimana makna dasarnya, ia mencakup keseluruhan pe­dman hidup untuk berserah diri, tunduk, dan patuh kepada Allah swt., hingga bisa me­asakan kehadiran-Nya.

Khilafah Internasional
Khilafah internasional, atau Khilafah Islamiyah menurut Hizbut Tahrir dan kelompok-kelompok garis keras lainnya, adalah gerakan politik dengan orientasi internasional. Hal ini ditegaskan, antara lain, oleh majlis Bahtsul Masa'il Nahdlatul Ulama bahwa gagasan tersebut, sekalipun dilekatkan pada kata sifat islam, tidak mempunyai rujukan dan landasan teologis apa pun di dalam al-Qur'an maupun al-Hadits. Kata islamiyah digunakan hanya untuk memberi bobot teologis dan lebih sebagai komoditas politik.
Khilafah Islamiyah merupakan topik yang hangat dalam diskursus Islam di Tanah Air saat ini. HTI adalah organisasi Islam yang paling gencar menyuarakan isu Khilafah. Menurut salah seorang responden, organisasi ini punya target bahwa pada 2015 nanti isu Khilafah telah bisa diterima dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang utopis oleh publik di Indonesia.
Meski banyak responden (41%) yang mempercayai demokrasi bisa digunakan untuk mencapai tujuan, namun pada saat bersamaan hampir 74% responden juga setuju dengan ide Khilafah Islamiyah kare­na dianggap se­bagai siste­m yang paling sesuai dengan syari'ah Islam. Ide-ide khilafah telah mempe­ngaruhi sebagian umat Islam, yang bisa dilihat dari dua pernyataan responden berikut ini :
Kalau ada orang Islam yang tidak sepakat dengan khilafah, maka Islamnya harus dipertanyakan. (Aktivis Ikhwanul Muslimin UGM)
Di dunia ini ada dua sistem, yaitu sistem cara Islam [khi- lafah] atau sistem cara kafir. Nah sistem kafir ini banyak sekali ada liberalisme, kapitalisme, ko­munisme, dan di Indonesia ada sistem Pancasila." (Aktivis MMI)
Para responden berpendapat bahwa umat Islam harus me makai sistem khilafah agar ajaran-ajarannya bisa diwujudkan dalam sebuah negara. Idealisme ini menunjukkan bahwa mereka merupa kan pengusung "Islam ideologis" dan "Islam politis," yaitu menjadikan Islam sebagai sistem yang harus diterapkan dalam seluruh kehidupan melalui kekuasaan negara, baik dalam skala nasio­nal (Ne­gara Islam) maupun transnasio­nal (Khilafah Islamiyah).
Dalam seminar tentang penegakan Syari'ah Islam yang berlangsung di Yogyakarta pada 5 September 2007, Sidiq al-Jawi dari HTI dan Irfan Awwas dari MMI menyatakan bahwa mereka memiliki tujuan yang sama, yakni menegakan Khilafah Islamiyah, walaupun dengan metode yang berbeda. HTI dengan cara menegakkan khilafah di Indonesia, MMI dengan cara memformalkan syari'ah Islam dalam Perundang-undangan di Indonesia.
Menurut pendapat dua orang ini, hukum hanya dari Allah, maka tidak ada hukum selain dari Allah di muka bumi ini. Hukum yang bukan dari Allah adalah sesat dan kafir, tidak perlu ditaati. Ketaatan harus kepada hukum Allah saja. Oleh sebab itu, jika ada orang Islam yang tidak setuju dengan Khilafah Islam dan formalisasi syari'ah Islam di Indonesia maka sejatinya dia adalah orang-orang yang sesat dan salah asuhan, sudah terkena paham sekular yang memisahkan agama dan negara.
MMI dan HTI juga menolak Negara Pancasila yang dianggapnya telah merusak Indonesia, dan ini semua akibat kaum nasionalis sekuler seperti Soekarno, Hatta, dan para Pimpinan nasional lain di Indonesia. MMI dan HTI berpandangan bahwa untuk menyelamatkan Indonesia tidak lain kecuali harus dengan syari'ah Islam dan Khilafah Islamiyah, sebab hanya Islam yang mampu menjawab semua masalah di Indonesia. Penegakan syari'ah Islam hukumnya wajib, se­bab Islam itu kaffah tidak bisa pilih-pilih. Bagi MMI dan HTI, penegakkan syari'ah Islam tidak akan sempurna tanpa adanya kekuatan dari negara yang mendukungnya. Karena itu, ujarnya, agar Syari'ah Islam bisa tegak sempurna di Indonesia, tidak ada lain kecuali Indonesia harus menjadi Negara Islam atau Khilafah Islamiyah, bukan Negara Pancasila seperti sekarang ini yang membuat sengsara banyak orang Islam.
Tentang penegakan syari'ah Islam, Jamaah Tarbiyah menyatakan dukungannya karena itu menjadi misi yang harus dikerjakan oleh semua umat Islam. Syari'ah Islam harus ditegakkan karena kerusakan moral yang terjadi disebabkan umat Islam tidak menegakkan syari'ah Islam. Jika kita menengok Madinah maka sebetulnya kelompok mayoritas senantiasa bertindak sebagai kelompok yang menentukan. Dalam pandangan aktivis kelompok ini, suatu saat nanti Indonesia harus menjadi Negara Islam sebab mayoritas penduduknya beragama Islam, dan penduduk non muslimnya tidak akan terganggu.
Pandangan bahwa mayoritas berhak menentukan ketika mengutip Madinah ini bertentangan dengan argumentasi mereka ketika menolak demokrasi di atas, yang di dalamnya dinyatakan bahwa keputusan tidak boleh diambil berdasarkan suara terba-nyak.
Dukungan yang sangat tegas dan jelas tentang perlunya Khilafah Islamiyah juga datang dari lembaga-lembaga dakwah kampus (LDK). Khilafah Islamiyah, kata mereka, adalah sebuah keniscayaan yang telah dijanjikan Allah, karena itu tidak usah kita ingkari. Namun demikian, Khilafah Islamiyah harus ditegakkan secara bertahap, perlu ada pembinaan dan penyadaran pada masyarakat secara terus-menerus dan pelan-pelan. Dengan demikian, tahun 2015, di Indonesia bisa dicanangkan berdirinya Khilafah Islamiyah.

Negara Islam dan Non-Muslim
Para responden dari KPPSI Sumatera Barat memiliki pendapat yang sama dengan HTI dalam hal penegakan Syari'ah Islam, seperti halnya Jamaah Tarbiyah di Medan. Mereka sepakat bahwa Perda-Perda Syari'ah didukung agar masyarakat sedikit demi sedikit terbebas dari penyakit masyarakat yang makin membahayakan. Masyarakat membutuhkan solusi yang tepat dalam hidup sehari-hari. Solusi yang tepat itu adalah syari'ah Islam.
Di sinilah sebenarnya titik temu antara berbagai kelompok garis keras dalam perjuangan mereka. Walaupun bahasa yang mereka gunakan berbeda namun intinya sama, yakni bagaimana agar Perda-Perda Syari'ah Islam di negeri ini bisa terlaksana, dengan demikian ini sebenarnya merupakan bagian dari gerakan menegakkan Negara Islam tetapi melalui konstitusi negara yang disahkan melalui DPRD, DPR, dan seterusnya.
Para aktivis KAMMI DIY melihat Perda Syari'ah dan Negara Islam merupakan kebutuhan masyarakat pada saat bangsa mengalami krisis seperti sekarang ini. Masyarakat harus didorong agar melaksanakan syari'ah sehingga mereka benar-benar memahami apa itu syari'ah. Di sini kita me­lihat bahwa tujuan para aktivis KAMMI, HTI dan Jamaah Tarbiyah sebenarnya sama, yakni menegakkan syari'ah, hanya metodenya saja yang berbeda. HTI ingin menegakkan Khilafah secara langsung tanpa mengakui pemerintahan yang ada, sementara aktivis Jamaah Tarbiyah dengan cara yang perlahan-lahan dan bertahap.
Pendapat responden yang berafiliasi dengan HTI, KAMMI, KPPSI dan Jamaah Tarbiyah tentang Perda Syari'ah dan Khilafah Islamiyah memiliki kemiripan namun dalam membahasakannya terdapat perbedaan. Pada dasarnya mereka mempunyai satu suara yaitu bagaimana Perda Syari'ah Islam dan Khilafah Islamiyah bisa berdiri. KPPSI dan Jamaah Tarbiyah melalui jalur politik dan kultural, sedangkan HTI dengan jalur ke­kuasaan pragmatis, sementara KAMMI dengan jalur politik di kampus maupun di parlemen sebagai sayap politik PKS. Karena itu tidak keliru untuk mengatakan bahwa penegakan syari'ah sudah menjadi agenda bersama. Gagasan penegakan syari'ah Islam (tathbiq al-syari'ah) dinyatakan oleh Amir MMI, Abu Bakar Ba'asyir, de­mikian :
NU, Muhammadiyah dan lain-lain sudah banyak berperan dalam membina individu dan keluarga. Tetapi hasilnya kita rasakan sangatlah minim. Bukan salah NU dan ormas-ormas Islam, tapi salahnya pemerintah yang tidak mau memakai hukum Islam. Maka, saya katakan, pemerintah itu sekarang merusak moral rakyat. Jadi, pembinaan-pembinaan yang kita lakukan selama ini dirusak oleh kebijakan pemerintah Jadi kami tinggal memusatkan perhatian dan melakukan Islamisasi pemerintah. Harus pemerintah yang 100% menjalankan hukum Islam, dasarnya Islam. Tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Pandangan-pandangan di atas sejalan dengan survei PPIM UIN Jakarta tahun 2002. Sebanyak 67% dari jumlah responden menyatakan perlunya Indonesia diperintah dan diatur dengan hukum Islam, sementara survei yang sama pada tahun 2001 hanyaberkisar 57%. Terkait kepemimpinan dalam Islam, 67% responden menyatakan setuju Indonesia dipimpin be­rdasarkan al-Qur'an dan Sunnah, dan 70,8% se­tuju Indo­ne­sia me­njadi Ne­gara Islam.
MMI dengan program tathbiqusy syari'ah-nya (penegakkan syari'ah) menggunakan gerakan dakwah dan gerakan tajdid. Menurut MMI, Islam merupakan ideologi alternatif yang harus ditegakkan sesuai ketentuan Allah melalui hambaNya di muka bumi. MMI berpendapat bahwa di Negara Syari'ah kalangan non Islam tidak akan dipaksa masuk Islam. Mereka diperbolehkan tetap dalam agamanya masing-masing, bahkan dalam hal khusus, mereka tidak akan dikenai hukum syari'ah. Me­re­kalah yang disebut sebagai kafir dzimmi, yakni orang-orang non Muslim yang berada di bawah pemerintahan Islam atau Negara Islam dan wajib membayar pajak untuk mendapat perlindungan penguasa. Tetapi ada juga orang non Muslim yang disebut sebagai kafir harbi, yakni orang non Muslim yang memusuhi Islam.
Menurut MMI, di Indonesia ini belakangan banyak orang non Muslim yang masuk dalam kategori kafir harbi, karena kebencian mereka pada Islam baik yang ditunjukkan dengan ucapan maupun tindakan. Dalam ucapan, orang-orang tersebut banyak memberikan pernyataan yang memojokkan Islam; demikian juga dalam tindakan, seperti misalnya penolakan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), sehingga orang non Muslim sebenarnya telah berbuat zalim pada umat Islam. Walhasil, mereka layak disebut sebagai kaum kafir harbi, kelompok non Muslim yang boleh diperangi.
Pandangan MMI dan kelompok yang sejenis tersebut memperlihatkan simplifikasi mereka dalam membangun konsep-konsep keislaman. Mereka terkesan kuat dalam meletakkan Islam formal dalam oposisi biner dengan nilai-nilai Islam substantif yang tidak sejalan atau mendukung agenda mereka. Ada kecenderungan kuat bahwa retorika kelompok-kelompok garis keras seperti pe­rnyataan MMI di atas merupakan pengantar menuju aksi-aksi kekerasan atau teroris me yang dari sudut pandang manapun tidak bisa dibenarkan.
Memperhatikan ideologi dan gerakan kelompok garis keras, nuansa kental yang terpampang kuat adalah kecenderungan mereka untuk menolak kompromi budaya. Sejalan dengan itu, mereka menjadikan pemahaman dirinya tentang agama sebagai model of reality, sebagai bentuk kongkret dan final yang harus direpresen tasikan dalam realitas kehidupan apa adanya. Mereka merasa berhak memainkan peran sebagai juru bicara Tuhan, sehingga hanya tafsirnya saja yang benar dan harus diterima oleh siapa pun. Ketika mengatakan bahwa hukum adalah milik Allah swt., mereka menggunakan ayat terse­but untuk memperkuat posisi politiknya karena tafsirnya tentang Islam secara langsung disandarkan kepada kebenaran mutlak Allah swt. Dengan cara demikian mereka menolak sejarah dan perkembangan sosiologis. Alih-alih akan merespon ke­hidupan secara bijaksana, mereka malah berusaha mengembalikan kehidupan kemasa-masa yang mereka anggap ideal. Kecenderungan mereka ini pada umumnya disebabkan ketidakmampuan menjalani modernisme secara kreatif, dan/atau menyikapi Barat secara kritis dan konstruktif.

Menghadapi Tantangan Modernitas
Umat Islam Indonesia pada umumnya bersikap positif terhadap modernitas dan menghadapi tantangannya secara kreatif; sementara kelompok garis keras bersikap reaksioner terhadap modernitas, mereka menolaknya karena dianggap produk Barat; mereka mengidealkan masa lalu dan ingin kembali kemasa lalu. Kelompok garis keras ini disebut demikian karena memang memiliki ciri yang menonjol dalam hal keyakinannya, yaitu menganut paham absolutisme, keras, dan tak kenal kompromi. Dalam banyak hal kelompok ini menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang ada dan berkompetisi, bahkan memandang keragaman sebagai kontaminasi atas kebenaran yang mereka yakini.
Salah satu isu modernitas yang muncul di dunia Islam adalah masalah kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kelompok-kelompok garis keras memiliki pandangan bahwa kaum perempuan wajib menjadi ibu rumah tangga, bukan berperan aktif dalam ranah publik. Paham kelompok garis keras ini berbeda jauh dari paham kebanyakan umat Islam moderat, yang diwakili Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah, misalnya dalam keputusan Tarjih di Padang, 2002, memutuskan bahwa tidak ada halangan bagi perempuan untuk terlibat dalam ranah publik, termasuk terlibat dalam partai politik, atau menjadi presiden. Ada kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk terlibat di dalamnya.
Dalil yang sering menjadi sandaran bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan merupakan dalil untuk kepemimpinan dalam rumah tangga (keluarga) dan harus dipahami sebagai tanggung jawab suami atas keluarga untuk memberikan nafkah yang cukup, bukan dalil untuk membatasi aktivitas publik perempuan, apalagi tunduk pada laki-laki. Pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah ini berbeda dari pendapat kelompok garis keras yang cenderung menolak kepemimpinan perempuan, termasuk penolakan terhadap keterlibatan perempuan sebagai pemimpin politik. Hal itu bisa dilihat dalam pernyataan di bawah ini :
Perempuan itu harus diarahkan menjaga moral anak-anak, karena laki-laki adalah pemimpin dunia dan keluarga. Konsep kesetaraan gender merupakan konsep Barat yang bertentangan dengan Islam. Jika Islam terlihat mengekang perempuan maka itu demi menjaga fitnah dalam keluarga. (Aktivis Wahdatul Islamiyah).
Para responden pada umumnya sepakat menempatkan perem-puan pada posisi domestik, jika tidak dikatakan di bawah laki-laki, sebab laki-laki kodratnya adalah pemimpin perempuan.
Hal lain yang juga menonjol dari isu modernitas adalah masalah pemahaman terhadap pluralisme atau pandangan yang menyangkut para penganut agama lain. Kelompok garis ke­ras pada umumnya meyakini bahwa non Islam adalah kelompok kafir dan tidak akan rela dengan Islam, dan akan membuat kerusakan terhadap Islam.
Kelompok Islam moderat memahami bahwa pluralisme adalah suatu keharusan dalam sebuah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Prinsip pluralisme memberi landasan bagi sikap-sikap toleransi yang harus dikembangkan te­rhadap perbedaan-perbedaan agama dan keyakinan.
Menurut kelompok moderat, pluralisme memiliki landasan yang kuat dalam Islam, karena al-Qur'an sendiri sangat menghargai perbedaan-perbedaan di kalangan manusia. Tidak demikian halnya dengan kelompok garis keras yang meyakini bahwa kelompok di luar Islam adalah ancaman yang selalu berusaha untuk menghancurkan Islam. Kelompok garis keras juga menganggap pluralisme berbahaya karena melemahkan akidah Islam.
Fenomena ini merupakan indikasi kemunduran dalam Is-lam Indonesia, karena sejatinya umat Islam Indonesia sejak dulu tidak pernah mempermasalahkan pluralisme (walaupun tidak dengan istilah yang sama) dan bahkan menganggapnya sebagai kelebihan Islam dalam memposisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Munculnya citra 'Islam moderat' di Indonesia juga ditopang oleh wacana pluralisme ini. Baru belakangan, ketika Kelompok-kelompok garis yang berorientasi totalitarian sentralistik dan monolitik, yang merupakan karakter fasisme komunisme, menguat di Indone­ia, wacana pluralisme menjadi isu teologis dengan wajah yang buruk. Bahkan, bersama sekularisme dan liberalisme, pluralisme telah diharamkan oleh MUI yang lupa bahwa secara teologis apa pun dibolehkan dalam ranah interaksi sosial dan semua yang tercakup di dalamnya, kecuali yang dilarang (al-ashlu fi al-mu'âmalah al-'ibâhah).
Secara ringkas bisa dikemukakan, Kelompok-ke­ompok garis telah mereduksi ajaran Islam menjadi seperangkat ideologi politik sebagai dalih dan senjata dalam meraih kekuasaan. Pemahaman mereka yang sempit dan kaku, di samping karena dangkalnya pemahaman tentang Islam dan khazanah intelektual yang telah dihasilkan selama berabad-abad di berbagai daerah dan berbagai disiplin membuat mereka tidak apresiatif terhadap pemahaman lain tentang Islam. Lebih dari itu, tidak adanya semangat tasawuf atau orientasi spiritual yang berpadu dengan ideologi totalitarian sentralistik, membuat mereka merasa sebagai yang paling benar. Di dalamnya, Tuhan pun tidak lagi signifikan. Hal yang penting adalah, bagaimana meraih kekuasaan dan memaksakan pemahamannya sendiri tentang Islam terhadap orang lain, sesuatu yang bah-kan Tuhan pun tidak mau memaksakannya.


BAB III
INFILTRASI AGEN – AGEN GARIS KERAS
TERHADAP ISLAM DI INDONESIA


Pengantar
faktor terpenting keutuhan bangsa Indonesia sejak Dahulu hingga sekarang adalah kesetiaan para elit dan anak-anak bangsa pada warisan tradisi dan budaya bangsa Indonesia sendiri, dan berbagai keragaman dan kesamaan menjadi fakta yang diterima dan dihargai. Pada hakikatnya, tradisi dan budaya bangsa Indonesia mengandung pesan-pesan luhur berbagai agama. Namun bukan berarti menghasilkan agama baru, melainkan menyerap pesan-pesan luhur yang terkandung dalam semua agama yang dianut bangsa Indonesia. Karena itu, kesamaan ini menjadi perekat keutuhan bangsa, sementara perbedaan yang ada menjadi kekayaan dan tidak dipertentangkan.
Para tokoh nasional sebelum kemerdekan yang punya kepedulian kuat pada masalah-masalah kebangsaan terkait dengan agama, sudah sejak awal menyadari potensi ketegangan antara negara dan agama. Beberapa di antara mereka mulai mendiskusikan hubungan antara agama sebagai seperangkat ajaran dengan negara bangsa atau nasionalisme. Akhirnya diyakini, negara yang akan dibangun harus mampu menjamin keutuhan bangsa Indonesia serta melestarikan tradisi dan budaya bangsa. Dari sinilah lahir Pancasila yang dirumuskan dan digali Soekarno dari tradisi dan budaya bangsa Indonesia sendiri.
Secara historis maupun sosiologis dan kultural jelas bahwa Pancasila merupakan bagian integral dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Ini sebabnya, para tokoh dan pemimpin nasional memahami dengan tepat arti penting Pancasila bagi bangsa In donesia, mereka juga merasakan bahwa di dalamnya terkandung pesan-pesan luhur semua agama. Tidak hanya itu, nilai-nilai luhur sebagaimana terkandung di dalam Pancasila tercermin dalam aktivitas sehari-hari bangsa Indonesia yang moderat, toleran, teposliro, dan lain-lain. Secara ringkas bisa dikatakan, praktik bangsa Indone sia adalah living Pancasila.
Memang, sekalipun hubungan antara Islam sebagai seperangkat ajaran dengan nasionalisme telah dibincang secara intensef jauh sebelum kemerdakaan, dalam sidang-sidang penetapan dasar Negara gagasan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara sem-pat muncul kepermukaan. Hal ini bisa dimengerti, karena pada dekade 1940an dan 1950an merupakan masa subur dan berkecamuknya berbagai macam ideologi di seluruh dunia. Namun akhirnya, dengan pemahaman dan pengamalan agama yang sangat mendalam dan spiritual, yang lebih menekankan isi daripada kemasan, para Pendiri Bangsa meyakini Pancasila sebagai merefleksikan esensi syarî'ah dan secara bulat menyepakati sebagai dasar negara.
Esensi syari'ah dimaksud adalah tercermin dalam falsafah hidup bangsa Indonesia, yakni : pengakuan ketuhanan secara monoteistik (sila pertama); penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam kerangka keadilan dan peradaban (sila kedua); penolakan secara eksplisit terhadap separatisme dan mendahulukan kebersamaan atau jamaah (sila ketiga); kepemimpinan yang bijaksana (hikmah) dengan sistem musyawarah dan perwakilan (sila keempat); jaminan kesejahteraan rakyat, keadilan dan perlindungan hukum untuk siapa pun tanpa kecuali (sila kelima). Tak satu pun dari pesan-pesan luhur ini yang bertentangan dengan ajaran agamamanapun yang dianut bangsa Indonesia. Inilah yang dimaksudkan bahwa Pancasila merefleksikan esensi syarî'ah sebagaimana diyakini para Pendiri Bangsa.
Tidak bisa dipungkiri, kesadaran dan pemahaman yang mendalam atas tradisi dan budaya bangsa Indonesia pada satu sisi serta pemahaman dan pengamalan agama yang mendalam dan spiritual pada sisi yang lain, adalah faktor yang sangat menentukan keutuhan dan kelestarian Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemimpin Indonesia, terutama pemimpin formal pemangku kekuasaan politik, seharusnya orang yang mengerti dan setia pada tradisi dan budaya bangsa Indonesia pada satu sisi, serta mengerti secara mendalam dan mengamalkan agamanya secara spiritual pada sisi yang lain. Dalam hal ini, spiritualitas akan dengan kuat mendorong pada kesetiaan dan kejujuran menunaikan amanah kekuasaan.
Kekayaan dan keluarga, kekuasan dan relasi personal, semua adalah cobaan yang akan terus menggoda seseorang untuk setia pada amanah (kepercayaan) yang harus ditunaikan atau justru menggunakan amanah yang diperoleh untuk meraih keuntungan pribadi dan kelompok. Di tengah arus dana asing (Wahabi) yang sangat besar dan menggoda, kejujuran personal menjadi sangat penting dan berharga. Di tengah arus ideologi transnasional yang sangat kuat, kesetiaan pada tradisi dan budaya bangsa menjadi amat penting dan berharga. Di sinilah semua komponen bangsa khususnya para pemimpin bangsa harus sadar untuk melestarikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia pada satu sisi, dan terus berusaha memahami agama yang dianut secara mendalam dan mengamalkannya secara tulus pada sisi yang lain. Para pemimpin harus benar-benar menjadikan "tahta untuk rakyat" sebagai kenyataan, bukan jargon politik yang bisa ditukar dengan komoditas lain demi meraih kekuasaan.
Prasyarat dalam bidang kultural dan agama ini sangat penting, terutama di tengah maraknya penyusupan ideologi transnasional yang berusaha keras meruntuhkan NKRI dan melenyapkan Pancasila. Kelompok-kelompok garis keras menyalahkan para Pendiri Bangsa karena telah memilih Pancasila sebagai dasar negara, bukan Islam. Menurut mereka, inilah penyebab krisis multidimensional di Indonesia: krisis ekonomi, degradasi moral, tidak tegaknya keadilan, tidak adanya kepastian hukum, maraknya korupsi, dan lain sebagainya. Dengan menimpakan semua masalah ini pada Pancasila, mereka ingin menodai Pancasila untuk kemudian melenyapkannya. Mereka menawarkan pemahaman sempit dan terbatas tentang Islam sebagai pengganti Pancasila. Dengan kata lain, mereka menginginkan formalisasi Islam. Usaha formalisasi agama yang ditolak oleh Sunan Kalijogo pada masanya. Padahal sebenarnya, jika mau jujur, nilai-nilai luhur Pancasila belum sepenuhnya diwujudkan. Bahkan, Pancasila sempat disalahgunakan sebagai senjata politik oleh beberapa penguasa yang lalu.
Sambil terus menimpakan semua masalah bangsa pada Pancasila, ada beberapa kelompok yang terus melakukan sweeping dan perusakan tempat hiburan dengan dalih amr ma'rûf nahy munkar, memfitnah murtad atau kafir, termasuk mengancam dan/atau menyerang siapa pun secara fisik semata karena tidak sejalan dengan mereka. Anehnya, semua ini tidak mereka rasakan sebagai degradasi moral maupun pelanggaran hukum. Beberapa aksi jalan-an yang mereka lakukan tampak saling terkait dengan usaha-usaha konstitusional di parlemen, pemerintahan, dan fatwa MUI. Hal ini menjadi petunjuk bahwa mereka bekerja dengan sistem, bukan sebuah kebetulan, dalam usaha mempe­rjuangkan ideologinya untuk mengatur semua aspek kehidupan bangsa Indonesia sesuai dengan pemahaman mereka yang sempit dan terbatas tentang Islam. Bahkan, ada indikasi kuat bahwa semua ini mendapat dukungan dana asing (Wahabi) yang luar biasa besar, dan masuk secara leluasa ke Indonesia.
Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi menilai aksi-aksi yang bersifat intimidatif, merugikan pihak lain secara materi maupun non materi, mengancam keselamatan atau bahkan menghilangkan jiwa dan/atau mencederai raga siapa pun, sekalipun dilakukan atas nama dakwah dan/atau amr ma 'rûf nahy munkar, itu adalah dakwah yang salah dan umat Islam harus menolaknya. Bahkan, wajib hukumnya bagi pemerintah untuk menangkap para pelaku kejahatan (jarîmah) tersebut dan menghukumnya mereka sesuai dengan aturan yang berlaku. Dakwah apa pun yang tidak sejalan dengan pesan luhur agama, adalah dakwah yang salah dan harus ditolak.
Ideologi Kelompok-kelompok garis keras yang totalitarian sentralistik adalah untuk menguasai dan mengatur semua aspek kehidupan manusia. Sedangkan agenda mereka, menjadi wakil Tuhan (khalîfah Allah) untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia. Untuk mewujudkan ambisi ini, mereka menyusup dengan segala cara kehampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia; di sektor swasta dan pemerintahan, dunia pendidikan maupun penerbitan, dunia politik maupun bisnis. Islam pribumi dan orientasi spiritual adalah dua hal yang selalu mereka serang, karena keduanya menjadi hambatan utama mereka mencapai tujuan.
Me­nurut Dr. Haedar Nashir, Ketua PP. Muhammadiyah, Pada umumnya gerakan ideologis masuk kedalam lingkungan sosial tertentu bagaikan aliran air, dimulai dari te­mpat yang paling rendah dan terus mengalir untuk kemudian lama-kelamaan menjadi air bah, atau seperti o­rang makan bubur panas dari pinggir hingga ketengah. Gerakan ideologis masuk dan mekar menempuh proses be­rikut ini:
1. Masuk kelingkungan yang sepaham atau mirip sehingga akan dengan mudah diterima tanpa kecurigaan dan kemudian berkembang cepat
2. Mula-mula menyembunyikan paham dan tujuan utamanya namun lama-kelamaan merasuk menjadi ideologi yang diterima
3. Dikembangkan oleh aktor-aktor atau pelaku-pelaku yang memiliki daya militansi dan kegigihan yang tinggi (true believers);
4. Memanfaatkan suasana rentan di tubuh organisasi atau lingkungan yang dimasuki sambil menunjukkan citra gerakannya sebagai le­bih baik
5. Menggunakan teori belah bambu, yakni mendukung habis-habisan orang-orang yang bersimpati dan sebaliknya mengeliminasi atau mendelegitimasi orang-orang yang dianggap menjadi penghambat atau penentang ideologinya
6. Menyuburkan benih-benih kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan pada ideologi-ideologi lain yang menjadi tandingannya untuk kemudian memasukkan virus ideologinya seolah-olah sebagai penawar;
7. Menyuburkan idiom-idiom yang positif (idealisasi) tentang paham/ideologinya sambil mendelegitimasi ideologi/paham dan keberadaan pihak/lingkungan yang dimasukinya
8. Tidak segan mengembangkan taqiyah, yakni menyembunyikan agenda dan ideologinya yang sekati/ sesungguhnya, sambil menampilkan hal-hal permukaan yang memikat atau menarik dari ideologinya;
9. Menampilkan diri sebagai "kekuatan alternatif" daripada yang lainnya dengan menggunakan filosofi air mengalir, yakni setelah ada celah atau lubang maka arus ideologi dan gerakannya masuk secara niscaya
10. Tumbuh dan mekar karena di dalam organisasi/lingkungan yang dimasukinya ada pihak-pihak yang simpati, sepaham, dan mendukung
11. Secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan pihak-pihak yang ada di dalam yang merasa tidak puas dengan keadaan, baik karena alasan personal maupun organisasional, jadi mengalir mengikuti orango­rang yang kecewa di dalam untuk dijadikan penyambung ideologi gerakannya, seperti memanfaatkan suasana konflik internal
12. Menggunakan sebanyak mungkin sarana/media yang dapat menyebarkan benih- benih ideologinya, termasuk media yang ada di dalam organisasi atau lingkungan yang dimasukinya.
Walaupun Dr. Haedar menulis bukunya : Manifestasi Gerakan Tarbiiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? Untuk menyelamatkan ormas KH. Ahmad Dahlan dari infiltrasi PKS dan gerakan-gerakan garis keras lain, tulisannya juga sangat tepat sebagai penjelasan cara penyusupan gerakan Islam transnasional kese­luruh bidang kehidupan bangsa kita.
Menghadapi bahaya laten ini, pemimpin Indonesia haruslah orang yang mengerti tradisi dan budaya bangsa, yang mendalam pemahamannya tentang agama dan taat mengamalkannya secara spiritual. Hal yang pertama akan mendorong kesetiaan sejati pada tradisi dan budaya bangsa, sedangkan spiritualitas akan mendorong kesetiaan kepada rakyat dan perjuangkan mewujudkan pesan- pesan luhur Pancasila. Kedekatan dengan Tuhan akan membuat seorang pemimpin mampu memahami hati nurani rakyatnya, karena dengan kedekatan tersebut dia akan selalu berada dalam bimbingan Tuhan dalam menunaikan amanah khilâfah, dia akan diatur oleh-Nya n: apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak, karena dengan kedekatan yang se­sunggunya Dia akan menjadi pendengaran, penglihatan, lisan, dan kedua kaki-Nya dalam menunaikan amanah yang diembannya.
Halaman-halaman berikut melaporkan temuan penelitian tentang penyusupan para agen garis keras te­rhadap Islam Indonesia, termasuk Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majlis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga Pendidikan, instansi pemerintahan dan swasta, serta penyusupan dana asing yang digunakan membiayai proyek penyusupan dalam semua bidang ini. Paduan sistem, ideologi, dan dana yang kuat telah membuat penyusupan ini sema kin luas, mendalam, dan berbahaya bagi bangsa Indonesia.

Infiltrasi di Muhammadiyah
Pada bulan Desember 2006 ormas Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor : 149/Kep/I.0/B/2006 tentang "Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah." Surat Keputusan ini ditandatangani ole­h Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA dan Sekretaris Umum Drs. H.A. Rosyad Shole­h.
SKPP ini dikeluarkan dengan tujuan untuk "menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikan Persyari-katan". Apa tindakan yang merugikan itu? Ada sepuluh butir keputusan yang dituangkan dalam SKPP te­rsebut. Secara garis besar tindakan yang disebut merugikan itu antara lain adalah infiltrasi di tubuh Muhammadiyah dari organisasi lain yang memiliki paham, misi, dan kepentingan yang berbeda dengan Muhammadiyah.
SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai politik yang telah memanfaatkan Muhammadiyah untuk tujuan meraih kekuasaan politik. Karena itu SKPP menyerukan kepada para anggota dan piminan Muhammadiyah agar membebaskan diri dari misi dan tujuan partai politik te­rse­but. "Muhammadiyah harus bebas dari pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah, di samping bebas dari misi/kepentingan partai politik dan organisasi lainnya sebagaimana ke­bijakan khittah Muhammadiyah."
Sejauhmana sebenarnya "cengkraman" PKS dan gerakan garis keras lain dalam Muhammadiyah dan bagaimana itu bisa terjadi sehingga ormas terbesar kedua di Indonesia ini merasa khawatir? Di sini akan digarisbawahi poin-poin yang disebut SKPP sebagai penyusupan partai politik bersayap dakwah yang memanfaatkan amal usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas lainnya milik Muhammadiyah untuk kegiatan politik. Aktivitas PKS di tubuhMuhammadiyah yang mengatasnamakan dakwah seperti pengajian dan pembinaan keumatan, juga disebut dalam SKPP ini sebagai telah digunakan untuk kepentingan po­litik.
Bukan hanya itu, organ-organ media massa yang berada di lingkungan Muhammadiyah rupanya juga telah disusupi gerakan garis keras, baik ole­h orang-orang yang berasal dari luar maupun yang sejak semula merupakan anggota Muhammadiyah lalu menjadi aktivis kelompok garis ke­ras sambil tetap menancapkan kakinya di Muhammadiyah.
SKPP menyerukan agar seluruh media massa yang berada di lingkungan Muhammadiyah benar-benar menyuarakan paham, misi, dan kepentingan Muhammadiyah serta menjadi wahana untuk sosialisasi paham, pandangan, keputusan, kebijakan, kegiatan, dan syiar Muhammadiyah serta menjauhkan diri dari paham, misi, dan kepentingan organisasi/gerakan lain.
SKPP Muhammadiyah ini memang lahir untuk memperkuat upaya konsolidasi di tubuh organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya infiltrasi ideologi dan gerakan lain di tubuh Muhammadiyah telah dianggap sebagai persoalan yang serius. Salah satu buktinya adalah munculnya sikap mendua di kalangan Muhammadiyah seperti dalam melaksanakan Hari Raya Idul Fitri/Idul Adha, serta menjadikan Muhammadiyah sebagai sarana kegiatan partai politik (baca: PKS), yang menimbulkan pengeroposan dan mengganggu keutuhan organisasi.
Tiga bulan sebelum SKPP ini lahir, telah terbit sebuah buku yang ditulis oleh Ketua PP Muhammadiyah, Dr. H. Haedar Nashir, yang berjudul: Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Mu hammadiyah? Buku ini mengupas secara jelas upaya-upaya penyusupan yang dilakukan Gerakan Tarbiyah (PKS) kedalam tubuh Muhammadiyah.
Buku inilah yang menjadi alasan bagi keluarnya SKPP Muhammadiyah yang telah disebutkan di atas karena, "Adanya keresahan di sejumlah daerah mengenai kehadiran pengembangan paham dan gerakan Islam lain seperti paham Tarbiyah dan ideologi PKS di sementara lingkungan Muhammadiyah, baik di Persyarikatan maupun amal usahanya, yang bersifat faktual atau nyata dan tidak mengada-ada, yang menuntut ketegasan sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah."
Mengapa gerakan PKS meresahkan Muhammadiyah? Menu rut Haedar, karena ia masuk kedalam tubuh Muhammadiyah dan menarik anggota atau menyebarkan paham gerakannya. Haedar mengakui bahwa pada mulanya tidak ada masalah antara Muham madiyah dengan PKS. Bahkan mempersilakan PKS jika ingin memperoleh dukungan dari anggota Muhammadiyah asalkan, "harus menampilkan sikap yang simpatik dan menjaga hubungan yang harmonis, bukan melakukan ekspansi dengan alasan sebagai gerakan dakwah (sayap dakwah) yang berhak masuk kemana pun." Masalah etika ini menjadi titik persinggungan yang pertama antara Muhammadiyah dengan PKS. Dan ini bukan satu satunya.
Perbedaan paham dan misi antara Muhammadiyah dengan PKS merupakan titik persinggungan yang paling penting ketika keduanya berhimpitan. Muhammadiyah memiliki paham dan misi perjuangan yang sangat jelas sebagai o­rganisasi moderat. Sementara itu PKS mengembangkan "konsep Tarbiyah yang merekat dan tidak lepas dari gerakan Ikhwanul Muslimin yang memiliki keyakinan, sistem, metode, strategi, dan teknik tersendiri dalam gerakannya di Mesir. Bahkan di ujung kepemimpinan Hasan al-Banna, kemudian di bawah Sayyid Qutb, gerakan Ikhwanul Muslimin tampil menjadi kekuatan politik yang radikal dan terlibat dalam konflik-konflik politik yang keras, termasuk pembunuhan Perdana Menteri Mesir, Mahmoud an Nukrashi Pasha pada Desember 1948, yang kemudian berujung dengan terbunuhnya dua tokoh Ikhwanul Muslimin tersebut. Konsep pembinaan anggotanya melalui gerakan Tarbiyah tampak monolitik dan melahirkan militansi yang tinggi dan radikal dalam gerakan Ikhwanul Muslimin."
Menurut Haedar, "Perkembangan gerakan Tarbiyah di Indonesia cukup pesat, sehingga dalam tempo sepuluh tahun se­jak tahun 1980, telah menyebar ke seluruh kampus-kampus ternama di Indonesia seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, Brawijaya, Unhas, dan lain-lain. Lebih-lebih setelah kelahiran dua majalah Tarbiyah yang terbit akhir tahun 1986, yakni Ummi dan Sabili, yang menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin." Dua media masa dengan tiras yang cukup besar itu (majalah Sabili diperkirakan terbit 100.000 eksemplar setiap e­disi),selain menjadi wahana pembinaan juga sebagai media informasi dan komunikasi pemikiran Tarbiyah di Indonesia.
Haedar mengutip pernyataan Anis Matta, tokoh dan Sekjen PKS bahwa inspirasi-inspirasi Ikhwanul Muslimin memberi kekuatan pada PKS. Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, berhasil mengubah pembaharuan dari wacana menjadi gerakan. Dan tidak berlebihan, ujar Anis, "bila inspirasi gerak itu juga yang secara terasa dapat diselami dalam denyut Partai Keadilan Sejahtera." Yang secara jelas bertabrakan dengan paham dan misi Muhammadiyah tentu saja konsep Tarbiyah itu sendiri (yang menjadi sistem Ikhwanul Muslimin), terutama yang berorientasi pada pendirian Negara Islam, dengan sistem dan undang-undang yang harus ditegakkan di dalamnya. Masuk akal kalau Muhammadiyah menganggap hal ini sebagai ancaman bukan saja bagi Muhammadiyah tapi juga bagi bangsa. Muhammadiyah jelas tidak bercita-cita mendirikan negara Islam, dan telah menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Dalam ke­saksian tokoh-tokoh Muhammadiyah, infiltrasi PKS kedalam Muhammadiyah sebenarnya sudah terlihat sejak menjelang pemilu 2004, dan semakin jelas pada Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005. Seorang tokoh Muhammadiyah, sebagaimana dikutip Syirah, mengemukakan bahwa infiltrasi PKS kedalam Muhammadiyah dilakukan lewat anggotanya sendiri. Upaya yang sistematis itu semakin terlihat tepatnya di dalam sidang komisi. "Orang-orang tertentu sengaja dikirim masuk kedalam komisi- komisi tersebut," kata sumber tadi. Kemudian sumber tadi memasuki semua komisi untuk mencari kejelasan tanda-tanda tersebut. Dan dugaannya memang benar, nuansa di dalam forum komisi hampir sama semua. Wacana yang dikembangkan pun sama yaitu menilai Muhammadiyah sudah keluar dari syari'ah Islam dan Tarjih pun sudah keluar dari khittah.
Sumber tadi juga menuturkan bahwa sesepuh Muhammadiyah, Buya Syafi'i (Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif), mendapat SMS dari orang Muhammadiyah sendiri, yang isinya seruan agar tidak memilih orang-orang tertentu karena orang-orang itu perlu diIslamkan. "Penyusupan wacana dan ideologi itu dilakukan oleh anggota Muhammadiyah sendiri yang merangkap di PKS. Meski jumlah mereka tidak begitu besar di dalam forum Muktamar, namun gerakan yang begitu sistematis itu membuat mereka mampu mewarnai dan mendominasi forum," ungkapnya. Apalagi PKS tidak bergerak sendirian, melainkan bersama-sama dengan para aktivis HTI yang sengaja disebar di arena Muktamar sebagai peserta atas nama utusan daerah-daerah. Kampanye PKS dan HTII terang-terangan dilakukan di arena Muktamar dengan menyebarkan daftar nama-nama yang harus dipilih dan tidak perlu dipilih kesebagian besar peserta Muktamar dari Jawa, Jabotabek, Sulawesi, Sumatera dan Indonesia Timur (NTT, NTB, Ambon).
Dalam arena Muktamar juga terjadi perdebatan keras antara kaum muda Muhammadiyah yang berhaluan moderat progresif versus HTI. Muhammad al-Khattat atau Gatot (ketika menjadi Ketua HTI) yang menjadi peserta Muktamar dari Jakarta mencoba "menghabisi" kaum muda Muhammadiyah yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), ketika Panitia Muktamar menggelar diskusi dengan tema, "JIMM : Berkah atau Laknat ?"
Tatkala nama-nama calon ketua Muhammadiyah perempuan diusung dalam arena muktamar, para aktivis HTI menanggapinya dengan gemuruh sambil berteriak bahwa jajaran piminan Muhammadiyah tidak layak untuk perempuan, sebab perempuan bukanlah pemimpin; mereka menganggap hal itu tidak Islami. Dan se tiap kali perempuan bicara di arena Muktamar maka cemoohan pun berkumandang dari sebagian peserta Muktamar laki-laki aktivis HTI.
Ketika forum Muktamar membahas isu adanya infiltrasi dari organisasi lain atas nama dakwah, sebagian piminan Muhammadiyah yang merangkap anggota di PKS dan HTI tidak senang. Mereka berdalih bahwa "PKS dan HTI itu sama-sama Islam dan membantu Muhammadiyah, maka tidak logis kalau kita harus melarang kedua organisasi itu bergerak lewat Muhammadiyah." Namun klaim membantu Muhammadiyah itu dibantah oleh Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. Menurutnya, kalau benar mau membantu seharusnya mereka melepaskan bajunya (baca : baju PKS dan HTI).
Sejatinya, infiltrasi terhadap Muhammadiyah sudah berlangsung sejak minimal dua tahun sebelum Muktamar Malang. Itu yang menjadi alasan mengapa beberapa kebijakan PP Muhammadiyah berhasil dibatalkan oleh kelompok garis keras karena dipandang tidak sesuai dengan ideologi mereka. Kebijakan yang dibatalkan itu antara lain Dakwah Kultural (panduan bagi aktivis Muhammadiyah untuk bersikap moderat), kepemimpinan perempuan, dan pengembangan pemikiran Islam di Lembaga Tarjih. Terhadap beberapa tokoh moderat Muhammadiyah yang dianggap berpengaruh atas keluarnya kebijakan PP Muhammadiyah tersebut disebarkan isu bahwa mereka adalah pengikut paham sekuler dan liberal, bahkan dengan kosa kata yang kasar seperti "sipilis" (penyakit ke­lamin) sebagai akronim dari sekuleris, pluralis dan liberalis. Istilah "sipilis" ini dipopulerkan Adian Husaini, seorang aktivis DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang sangat gemar menggunakan kata-kata kotor (seperti sipilis tadi) dalam tulisan-tulisannya ketika menyerang orang lain yang berbeda paham dan pemikiran.
Tentang mudahnya ormas seperti Muhammadiyah diinfiltrasi kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin atau PKS, menurut Haedar, karena Muhamamadiyah sebagai organisasi cenderung longgar dan tidak monolitik. Namun yang lebih penting lagi, para kader PKS cenderung melakukan pragmatisasi peribadatan, yakni dapat menjalankan praktek peribadatan di dua wilayah sekaligus untuk mengesankan sebagai kelompok alternatif. "Jika berada di Muhammadiyah mereka akan seperti warga Muhammadiyah, dan jika berada di tengah warga NU, maka mereka akan beribadah seperti warga NU. Ini adalah bentuk lain dari taqiyyah (menyembunyikan identitas diri. red)," kata Haedar Nashir, atau sebenarnya nifaq.
Buntut dari adanya infiltrasi itu keluarlah SKPP Muhammadiyah tadi. SKPP ini membuat kelompok-kelompok garis keras berang. HTI menuntut agar SKPP ini juga diberlakukan terhadap kelompok-kelompok progresif moderat di Muhammadiyah. Padahal kelompok-kelompok progresif moderat sejatinya sudah tersingkir dari jajaran kepengurusan Muhammadiyah akibat manuver kelompok-kelompok garis keras. Dan yang paling terpukul dengan keluarnya SKPP ini tentu saja PKS karena namanya disebut secara eksplisit, sehingga PKS pun perlu mengeluarkan respon me­lalui sebuah "Risalah" yang intinya membantah bahwa PKS te­lah berusaha menguasai masjid, jadwal khotib, rumah sakit, sekolah dan kampus, atau amal usaha milik organisasi lain.
Tiga belas bulan setelah keluarnya SKPP Muhammadiyah, PKS mengadakan Musyawarah Kerja Nasi­nal (Mukernas) pada 1- 4 Februari 2008 di Bali. Muk­rnas ini dapat dibaca sebagai reaksi terhadap lahirnya SKPP Muhammadiyah dan buku Haedar Nashir. Ini terlihat dari rekomendasi yang dihasilkannya, antara lain menyangkut pluralitas dan semangat kebangsaan. "Bagi PKS, Pancasila dan UUD 1945 sudah final sebagai dasar negara dan konsitusi nasional bangsa." Di Mukernas Bali itu juga PKS menyatakan diri sebagai partai terbuka dan menerima calon legislatif dari kalangan non Muslim. Dipilihnya Bali (pulau Dewata Hindu) sebagai tempat Mukernas juga bermakna simbolik bahwa PKS kini telah berubah. Apalagi para petinggi partai di acara tersebut terlihat mengenakan udeng-udeng, penutup kepala yang menjadi tradisi umat Hindu Bali.
Mengapa setelah 10 tahun berdiri PKS baru sekarang bicara tentang pluralitas, perlunya semangat kebangsaan, dan menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai telah final? Jawaban sederhananya tentu karena kalkulasi politik menjelang Pemilu 2009. PKS jelas tidak berdaya di hadapan konstituen pemilih Islam yang sebagian besar berafilisai kepada Muhammadiyah dan NU yang memang bervisi kebangsaan, pluralis, dan menerima Pancasila dan UUD 1945 telah final sebagai dasar dan konstitusi negara Indone­sia. Oleh karena itu, PKS tidak bisa memandang sebelah mata SKPP Muhammadiyah tersebut.
Namun jalan yang ditempuh PKS untuk menjadi partai terbuka dan menerima Pancasila sebagai dasar negara bukan hal yang mudah. Beberapa hari sete­ah Mukernas, partai ini harus menjelaskan kepada konstituennya yang keberatan dengan berbagai kebijakan yang dihasilkan dalam Mukernas Bali. Menghadapi berbagai reaksi itu, pada 6 Februari 2008, PKS mengeluarkan "Bayan Sepu-tar Isu Partai Terbuka dan Caleg Non Muslim" yang dikirim ke berbagai media massa.
Isi bayan (penjelasan) itu adalah bahwa sesuai keputusan Musyawarah Majelis Syuro PKS ke VII di Jakarta, dan dikuatkan kembali dalam Musyawarah Majelis Syuro PKS IX di Bali adalah: Bersih, Peduli dan Profesional. Dalam bayan itu, PKS juga menyinggung tentang adanya isu yang menyebutkan bahwa PKS menjadi partai terbuka. Dalam hal ini, bayan tersebut menyatakan, istilah "terbuka" tidak pernah menjadi keputusan partai, baik oleh sidang-sidang Majelis Syuro, Dewan Pimpinan Tinggi Partai (DPTP) maupun dalam Khitob Qiyadi (arahan pimpinan). Selanjutnya disebutkan bahwa PKS tetap sebagai partai dakwah yang berasaskan Islam, memiliki moral Islam, dan syariat Islam wajib dengan konsisten di jalankan oleh setiap pemeluk agama Islam, terutama kader-kader PKS. Selanjutnya PKS meminta seluruh jajaran struktur, pengurus dan kader supaya tidak lagi mewacanakan isu "partai terbuka" untuk menghindari mudharat yang lebih besar daripada kemaslahatan yang diharapkan.
Isu PKS sebagai partai terbuka memperoleh tantangan keras dari kalangan dalam PKS sendiri, akhirnya PKS kembali menjadi partai tertutup, hanya untuk kalangan Islam dan konsisten memperjuangkan syariat Islam. Mengapa PKS begitu mudah memungkiri kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya di Mukernas Bali? Tampaknya PKS ingin menempuh po­litik bermuka dua: untuk konsumsi publik yang lebih luas ia perlu menegaskan identitas sebagai partai terbuka dan bervisi kebangsaan dengan retorika menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai telah final bagi bangsa Indone­sia. Namun di hadapan konstituennya ia tetap menyatakan diri sebagai partai dakwah berasas Islam, dan syariat Islam wajib dengan konsisten dijalankan oleh setiap pemeluk agama Islam (Piagam Jakarta). Jika begitu, bukankah berarti bahwa retorika penerimaan Pancasila dan UUD 1945 hanya sebagai tameng?
Menjadi jelas bahwa PKS sangat terganggu dengan SKPP Muhammadiyah. Karena itu berbagai cara ditempuh agar SKPP itu tidak relevan bagi PKS. Salah satu caranya adalah memasang tameng penghalang. Ibarat bermain catur, ketika sang raja di skak maka cara yang aman adalah menghalanginya dengan buah catur yang lain. Dalam hal ini, Pancasila dan UUD 1945 digunakan sebagai buah catur (tameng penghalang dari serangan musuh). Persis di sinilah letak bahayanya. Infiltrasi di Muhammadiyah yang berakibat keluarnya SKPP justru dimanfaatkan oleh PKS untuk menyusup lebih jauh kejantung kesadaran bangsa Indonesia, yaitu dengan mengklaim telah menerima Pancasila dan UUD 1945. Dengan begitu, bukan saja SKPP Muhammadiyah "menjadi tidak relevan," tapi juga kecurigaan bahwa PKS pada akhirnya mencita-citakan pendirian negara Islam "menjadi tidak berdasar." Sayangnya, orang Melayu terlanjur yakin pada p­patah bahwa: "Ular yang paling berbahaya adalah ular yang bisa berubah warna!"
Hingga awal tahun 2009 ini, SKPP Muhammadiyah masih belum bisa diimplementasikan secara efektif. Hal ini menjadi bukti betapa kuat dan dalam infiltrasi garis keras masuk kedalam Muhammadiyah. Mereka terus melancarkan perang ideologi dan melakukan black-campaign te­rhadap siapa pun yang tidak setuju atau menjadi hambatan di dalam tubuh Muhammadiyah. Tokoh-tokoh moderat Muhammadiyah prihatin pada perkembnangan bahwa kelompok-kelompok garis keras semakin kuat di Muhammadiyah sehingga mungkin saja mereka akan berhasil merebut Muhammadiyah pada Muktamar 2010. Jika ini terjadi, bangsa Indonesia tidak hanya kehilangan salah satu aset kultural ormas mderatnya dan mungkin Muhammadiyah akan menjadi salah satu bungker baru gerakan garis keras di Indonesia, bangsa Indonesia juga akan kehilangan salah satu soko guru Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

Penyusupan di Nahdlatul Ulama
Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) pantas merasa terusik dengan berbagai perkembangan yang dianggap membahayakan bangsa dan organisasinya, terutama menyangkut paham Ahlussunah wal Jamaah yang dianut warga NU. Ditengarai bahwa gerakan-gerakan garis keras telah menyusup kedalam NU melalui masjid-masjid, majlis-majlis taklim, dan pondok-pondok pesantren yang menjadi basis warga Nahdliyin (sebutan untuk warga NU).
Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menyebut bahwa masjid-masjid yang selama ini dibangun dan dikelola oleh warga NU berikut takmir masjid dan tradisi ritual peribadatannya telah diambil alih oleh kelompok Islam ekstrim. Menurutnya, hal itu dilakukan karena kelompok yang kerap membid'ahkan bahkan mengkafirkan warga Nahdliyyin itu "tidak mampu membuat masjid sendiri, kemudian mengambilalih masjid orang lain (masjid warga nahdliyyin, red), terus dipidatoin di situ untuk politisasi. Kan maksudnya begitu. Yang dirugikan akhirnya NU," ungkap Hasyim Muzadi yang menyebut kelompok ekstrem itu antara lain adalah pengusung wacana Khilafah Islamiyah, yakni Hizbut Tahrir Indonesia.
Hasyim menginstruksikan semua pe­ngurus NU di seluruh Indonesia untuk menjaga masjid agar tidak dimasuki oleh kelompok-kelompok garis keras. Ia juga mengingatkan agar kelompok-kelompok garis keras itu diwaspadai karena secara keyakinan memang sudah tidak segaris dengan NU. "Mereka adalah kelompok yang ingin mendirikan negara Islam," tegasnya.23
Isu penyusupan kelompok-kelompok garis keras kedalam NU sebenarnya telah lama menjadi pembicaraan yang santer di kalangan warga Nahdliyin. Salah satu alasan kelompok-kelompok garis keras sering menuduh masjid-masjid NU mengajarkan bid'ah dan beraliran sesat, adalah untuk merebut masjid-masjid tersebut. Karuan saja tuduhan itu membuat para toko­h NU berang. Pada 25 Fe­bruari 2007 Pimpinan Pusat (PP) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) mengeluarkan maklumat yang berisi peneguhan kembali ajaran dan amaliyah Ahlussunnah wal Jamâ'ah (Aswaja) yang selama ini dipraktikkan oleh warga Nahdliyin. Sebanyak 8 Ketua Pengurus Wilayah LDNU seIndonesia menandatangani maklumat yang merupakan respon atas tuduhan sesat terhadap ajaran dan amaliyah NU itu.
Maklumat itu berbunyi sebagai be­rikut: "kami menyadari dengan sepenuh hati, bahwa dewasa ini telah tumbuh dan berkembang gejala pemikiran dan gerakan ke Islaman (al-harakah al-islamiyyah) melalui praktik-praktik keagamaan yang dapat melunturkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah ala NU, maka dengan ini kami mnyatakan: 'Se­nantiasa menjalankan amaliah ibadah Ahlussunnah wal Jama'ah a la NU; melestarikan praktik-praktik dan tradisi keagamaan salafush shalih; seperti salat-salat sunnah, salat tarawih 20 rakaat, wirid, salawat, qunut, talqin, ziarah qubur, tahlil, manaqib, ratib, Maulid Nabi, haul, dan istighotsah; serta toleran terhadap tradisi budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Islam seba gai bagian dari dakwah Ahlussunnah wal Jamaah a la NU.'"
Maklumat itu merupakan rangkaian respon NU terhadap gerakan kelompok-kelompok garis keras yang telah menjadikan NU sebagai sasaran penyusupan paham mereka yang radikal dan bertentangan dengan paham Aswaja NU yang moderat. Menurut Ketua Umum PP LDNU, KH. Nuril Huda, "NU merasa perlu segera melakukan gerakan-gerakan nyata untuk menyelamatkan paham yang sudah diyakini kebenarannya selama ini. Jika tidak, tidak ada jaminan dalam waktu sepuluh tahun mendatang ajaran moderat yang terkandung dalam Aswaja akan hilang dan tergantikan oleh paham yang lain."
Menurut salah seorang Ketua PBNU, KH. Masdar F. Mas'udi, "Jumlah masjid milik warga NU yang disusupi dan diambil alih oleh kelompok-kelompok garis keras yang mengklaim dirinya paling benar itu mencapai ratusan. Mereka menganggap masjid-masjid NU mempraktikkan bid'ah dan beraliran sesat. Proses pengambil alihan masjid-masjid itu berbentuk penggantian para takmir masjid yang selama ini diisi oleh warga Nahdliyin. Tradisi-tradisi ritual keagamaan khas NU pun diganti," katanya. Tidak hanya menyusup ke masjid-masjid NU, kelompok-kelompok garis keras juga telah menyusup keorganisasi generasi muda NU, pondok-pondok pesantren NU, dan organisasi-organisasi majelis taklim di bawah naungan NU.
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah salah satu organisasi di bawah NU yang menjadi sasaran penyusupan kelompok-kelompok garis keras. Ketua Pimpinan Pusat (PP) IPNU, Muhammad Asyhadi menyebutkan, "Saat ini kaum muda NU yang telanjur masuk ke­dalam gerakan Islam garis keras cukup banyak. Kalau sudah masuk, mereka biasanya kehilangan identitas ke NU an dan ke IPNU annya. Untuk itu, IPNU telah bekerjasama dengan ikatan pelajar lainnya dalam menghadang pengaruh aliran garis keras di lingkungan masing-masing melalui pelatihan motivasi pelajar dengan sasaran pelajar."
kelompok-kelompok garis keras juga menyusup kep­ndok-pondok pesantren. Tak pelak, para pemimpin pesantren pun merasa gerah dengan gerakan ini. Maka pada tanggal 18-21 Mei 2007, Rabithath al-Ma'âhid al-Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) mengumpulkan para Pimpinan pondok pesantren (ponpes) se Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta. Salah satu agenda pertemuan asosiasi pesantren NU se Indonesia itu adalah membahas munculnya ideologi transnasional yang dinilai mengancam tradisi kesarjanaan dan keagamaan pondok pesantren.
Wakil Ketua Pimpinan Pusat RMI NU Abdul Adhim mengatakan, "Ideologi transnasional atau ideologi impor dari luar negeri itu dinilai telah mengancam keutuhan bangsa dan pesantren. Karena, ideologi tersebut kebanyakan tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat. Islam Indonesia yang didakwahkan Walisongo itu 'kan penuh semangat toleransi dan santun. Nah, ideologi Islam transnasional itu datang dengan tidak santun, dengan teriak Allahu Akbar sambil pecahkan kaca," ujar Adhim.
Karena itu, menurut Adhim, organisasi yang menghimpun 14 ribu pondok pe­santre­n NU se Indonesia itu merasa turut bertanggung jawab atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menghadapi masuknya ideologi impor dimaksud. Sebelumnya, majelis-majelis taklim yang berada di bawah organisasi NU yang biasa mengkoordinasi pengajian (kaum ibu, bapak, atau remaja) juga tidak luput dari penyusupan kelompok-kelompok garis keras yang membawa paham transnasional dari Timur Tengah (Wahabi-Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir). Untuk menghadapi gempuran garis keras ini, NU telah mengkoordinasi anggotanya untuk memperkuat kembali paham Aswaja yang dianut NU agar kaum Nahdliyin tidak mudah terhasut oleh kelompok-kelompok garis keras. Pada bulan Agustus tahun 2006 LDNU mengadakan pertemuan yang diikuti oleh 162 Ketua Majelis Taklim se Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi). Menurut Ketua Umum LDNU KH. Nuril Huda, pertemuan tingkat Jabotabek itu hanya permulaan. Nantinya akan dilakukan di daerah-daerah, terutama daerah di luar Jawa. Karena, fenomena penyusupan garis keras tidak terjadi di wilayah Jabotabek saja, melainkan juga di seluruh Indonesia.
NU memandang kelompok-kelompok garis keras bukan hanya berbahaya bagi NU namun juga bagi bangsa Indonesia. Itu sebabnya, NU menyerukan agar pemerintah mencegah masuknya ideologi garis keras yang bercorak transnasional atau lintas negara itu ke Indonesia, walaupun seruan ini tampaknya masih bertepuk sebelah tangan. Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi menjelaskan bahwa dirinya telah mengunjungi berbagai negara di Barat dan Timur untuk mengkampanyekan bahwa Islam merupakan agama, bukan ideologi, dan yang terjadi di Timur Tengah selama ini bukan Islam sebagai agama, tapi sebagai ideologi. "Ideologi Islam Timur Tengah antara lain Ikhwanul Muslimin, Majelis Mujahidin, Al-Qaeda, dan sebagainya. Tapi ideologi Islam itu bukan Islam, karena Islam sebagai agama bukan bersifat gerakan kepentingan, apalagi politis," ujar Hasyim.
Oleh NU, ide Khilafah Islamiyah atau pun Negara Islam yang dikampanyekan oleh kelompok-kelompok garis keras kedalam Islam Indonesia dipandang sebagai ancaman bagi keutuhan NKRI. Lebih prinsip lagi, menurut NU, ide Khilafah Islamiyah atau pun Negara Islam tidak memiliki dasar teologis di dalam al-Quran mau pun Hadits. Pandangan ini diputuskan oleh NU setelah melakukan Bahtsul Masa'il (forum pembahasan masalah agama-red.) dalam sebuah Mukernas di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Jawa Timur, selama tiga hari pada pertengahan November 2007 yang dihadiri oleh 500 an kyai NU.
Selain meneliti teks-teks al-Quran dan Hadits terkait gagasan negara Islam, forum Bahtsul Masa'il juga meneliti sejumlah referensi khazanah intelektual Muslim yang eksistensinya diakui dan diterima sebagai otoritatif (mu'tabar), seperti Attasyrî' al-Jinâ'î al-Islâmî, al-Qaish al-Hâmî' al-Asyarqi, Jâm'ul Jawâmi', Ad-Dîn Waddaulah wa Tatbîqis Syarî'ah, dan al-Fiqhul Islâmî. Kesimpulannya, forum Bahtsul Masa'il tidak melihat adanya dasar teologis tentang ide pendirian Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. "Jadi, upayaupaya untuk mengganti NKRI dengan negara Islam jelas dilarang, terlebih lagi jika upaya tersebut akan mendatangkan lebih banyak masalah bagi bangsa ini," demikian bunyi rekomendasi Bahtsul Masa'il.
Walhasil, tokoh-tokoh NU sepakat menolak ide negara Islam. Bukan hanya itu, mereka juga menyerukan kepada pemerintah dan para pemimpin agama agar mewaspadai ideologi transnasional yang mengancam keutuhan bangsa, ideologi negara (Pancasila), dan NKRI. "Selama ini gerakan tersebut (garis keras-red.) telah sering menyerang kita. Kini saatnya kita menyerang balik mereka," ujar KH. Ali Maschan Moesa, Ketua Tanfidziah NU Jawa Timur,
dalam konferensi tersebut.
Bagi NU, gagasan negara Islam merupakan penafsiran yang keliru terhadap pemahaman istilah Islam kaffah (menyeluruh) yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk kewajiban pendirian Pemerintahan Islam. Syariat atau hukum Islam memang harus diamalkan, tapi tak perlu melalui kekuasaan atau pemerintahan Islam. Kaum Muslim di sebuah negara memang berkewajiban melaksanakan setiap ajaran Islam. Namun demikian, kewajiban itu tak berlaku bagi upaya pendirian Pemerintahan Islam. "Ber Islam dengan sungguh-sungguh tak harus dengan Khilafah Islamiyah. Mengakui dan taat pada pemerintahan yang sah dan berdaulat adalah wajib," ungkap Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi, seraya menjelaskan bahwa dua kekuatan Islam moderat terbesar di Indo­ne­sia, NU dan Muhammadiyah, hingga saat ini tak pernah menghendaki negeri ini dibangun dengan dasar sebuah agama tertentu, termasuk agama Islam.
NU tidak hanya menyorot pe­nyusupan ideologi Khilafah Islamiyah yang dikampanyekan Hizbut Tahrir Indonesia, tapi juga penyusupan paham Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang sama-sama mengancam keutuhan NKRI dan berupaya mengganti Pancasila sebagai dasar negara dan Undangundang Dasar (UUD) 1945. Ke­tua Pe­ngurus Pusat Le­mbaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) KH. Imam Ghozalie Said menengarai bahwa kelompok-kelompok garis keras yang belakangan ini banyak bermunculan pada umumnya merupakan penganut paham Wahabi baru. " kelompok-kelompok garis keras ini tidak suka dengan tradisi yang di jalankan oleh NU, seperti tahlil," ujarnya.
Pandangan politik dari kelompok-kelompok garis keras ini, lanjut Said, adalah Hadits Nabi: 'Barangsiapa yang meninggal dan tidak pernah berbaiat khalifah, maka ia mati seperti matinya orang jahiliyyah!' (man mât wa lam yabi' fa-qad mâta mîtatal-jâhiliyyah). Kelompok Ikh wanul Muslimin juga menggunakan dalil senada, yaitu: 'Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk golongan orang yang kafir.' "Ini kan berat secara teologis. Kita ini dianggap tidak Islam lagi karena tidak ikut paham mereka," paparnya. Lebih jauh Said menjelaskan, doktrin gerakan Ikhwanul Muslimin berasal dari Sayyid Qutb yang ditulis dalam bukunya yang terkenal, yaitu Ma'alim fi at-Tariq yang di antaranya menyatakan, 'suatu negara yang tidak memberlakukan syariat Islam, berarti negara itu jahiliyah.'
Reaksi keras NU terhadap kelompok-kelompok garis keras telah mematahkan mitos bahwa silent majority atau kelompok mayoritas pada umumnya hanya bisa berdiam diri dalam menghadapi minoritas garis keras yang vokal dan agresif. Meski ancaman garis keras itu semula tertuju kepada paham dan eksistensi NU, namun NU menganggap itu merupakan ancaman terhadap bangsa dan negara. Sebab tradisi keberagamaan NU merupakan amal keagamaan yang dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam Indonesia, sehingga secara ringkas bisa dikatakan bahwa warga NU dan bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. NU menyadari bahwa setiap bahaya yang mengancam kelestarian Pancasila dan keutuhan NKRI, adalah juga ancaman terhadap dirinya. NU juga memahami bahwa setiap ancaman pada dirinya, kelak akan menjadi bahaya bagi NKRI. Sebagai indigenous Islam atau Islam pribumi yang telah menyatu dengan denyut nadi budaya masyarakat Indonesia, NU menilai gerakan dan ideologi transnasional tidak sesuai dengan kondisi masyarakat dan budaya Indonesia yang damai. "Kelompok-kelompok Islam yang berideologi transnasional itu di negara asalnya sendiri kerap melahirkan konflik. Sehingga, jika bangsa Indonesia mengikutinya, maka akan ikut menjadi bagian dari masalah mereka, selain itu karena memang tidak sesuai dengan budaya setempat."
Sebagaimana Muhammadiyah, NU telah menganggap Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsensus nasional yang sudah final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. NU juga telah menganggap NKRI sebagai bentuk final bagi bentuk negara Indonesia. Sebagai ormas Islam terbesar di dunia, NU merasa bertanggung jawab atas keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara. Karena itu, sikap dan reaksi NU yang sangat tegas terhadap kelompok-kelompok garis keras yang mengusung ideologi negara Islam bisa dimengerti. Sebab ancaman terhadap NU, berarti juga merupakan ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara Indonesia, dan sebaliknya.
Menghadapi ancaman kelompok-kelompok garis keras yang banyak bermunculan akhirakhir ini, NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia sepakat untuk membendung gerakan mereka sekaligus menggalang kekuatan untuk terus mengkampanyekan Islam moderat. Kedua ormas ini mengabarkan kepada dunia bahwa kelompok-kelompok garis keras sesungguhnya tidak merepresentasikan Islam. Mereka malah membajak Islam untuk kepentingan politik kelompok mereka sendiri.


Infiltrasi di Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Menguatnya peran MUI akhir-akhir ini patut mendapatkan perhatian khusus. Kevokalan MUI dalam menyuarakan berbagai pandangan dan tuntutannya juga paralel dengan kecenderungan ini. Yang membuat MUI lebih kuat dari ormas keagaman umum nya adalah karena keterkaitan langsung lembaga agama bikinan Orde Baru ini dengan pemerintah. Karena sejak awal didirikannya diniatkan sebagai instrumen pemerintah otoriter untuk menyangga kekuasaan dan menjinakkan gerakan keagamaan anti pemerintah, maka ia memiliki fasilitas yang sangat besar. Ia, misalnya, me­miliki cabang di seluruh Indonesia, secara formal dari kabupaten, propinsi hingga pusat dan memiliki struktur informal di tingkat kecamatan. Seluruh struktur tersebut mendapatkan biaya dari negara. Sementara di pihak lain, MUI bisa mencari dana tambahan dari proyek-proyek keagamaan yang diciptakannya tanpa dikontrol oleh pemerintah dan publik, seperti dari sumber proyek labelisasi halal untuk makanan, kedudukannya yang penting dalam Bank Syari'ah di seluruh perbankan yang membuka gerai Syari'ah, serta proyek-proyek politik tertentu dari pemerintah seperti sosialisasi RUU tertentu yang berkaitan dengan isu agama.
Ormas Islam apa pun yang doktrin dan akidahnya benar menurut MUI, maka bisa bergabung dan punya wakil di dalamnya tanpa mempertimbangkan jumlah anggota oraganisasinya. Akibatnya, wakil organisasi besar dan moderat seperti NU dan Muhammadi yah tidak representatif dibandingkan dengan gerakan garis keras kecil yang anggotanya hanya puluhan ribu saja. MUI memiliki hak prerogatif untuk menentukan sah dan tidak, benar dan sesatnya suatu keyakinan untuk menjadi anggota. Ahmadiyah, misalnya, karena dianggap menyimpang, bukan hanya tidak bisa masuk menjadi anggota, MUI bahkan mendesak pemerintah untuk melarangnya (MRo RI WI No. 4). Sementara, betapa pun subversifnya secara politik, jika MUI menilai tidak ada penyimpangan, akan diakomodasi. Salah satu contoh paling memprihatinkan adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam doktrinnya, HTI menyatakan sebagai organisasi politik yang anti demokrasi, atau dalam bahasa agama mengharamkan demokrasi dan memperjuangkan Khilafah Islamiyah. HTI mengaku dan berusaha melenyapkan Pancasila dan meruntuhkan NKRI. Dengan demikian, dari sudut manapun HTI gerakan subversif, namun keberadaanya diakomodasi oleh MUI, bahkan anggota HTI menggurita di dalam struktur MUI dari pusat sampai daerah. Tidak bisa dibayangkan jika suatu saat HTI menjadi besar dan hampir pasti akan berhadapan dengan eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa.
Sistem keanggotaan MUI yang demikian, serta lemahnya orien tasi dan pengamalan spiritual di antara kebanyakan anggotanya, membuat produk-produk dan fatwa yang dikeluarkannya sejalan dengan arus gerakan garis keras. Ini disebabkan karena wakil ormas- ormas Islam yang moderat tidak banyak meskipun dihitung dari jumlah anggotanya sangat be­sar. Karena inilah, MUI menjadi salah satu target utama penyusupan para agen garis keras dan alat mereka dalam usaha menegakkan ideologi dan mewujudkan agenda politik mereka.
Akibat selanjutnya adalah bahwa organisasi Islam de­ngan doktrin apa pun, termasuk organisasi dan gerakan fundamentalis yang anti demokrasi dan anti Pancasila sekali pun, terkecuali yang secara nyata dicap sebagai teroris seperti Jamaah Islamiyah (JI), bisa menjadi anggota dan mendominasi MUI. Dari kenyataan demikian, MUI sesungguhnya bisa dikatakan sebagai bungker dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia. Lebih dari itu, karena MUI dibiayai oleh pemerintah, maka organisasi dan gerakan fundamentalis juga mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui MUI tersebut untuk tujuan mereka menghancurkan dasar negara. Pemerintah, dengan demikian, melakukan capacity building gerakan fundamentalis dan radikal, bahkan yang anti Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sekalipun.
Gagasan MUI untuk memisahkan produk halal dari produk haram di tempat-tempat perbelanjaan, dengan jelas akan menjadi langkah menunjukkan secara telanjang k­pada public : siapa yang muslim dan siapa yang bukan, yang akan dengan mudah diketahui ketika mereka berbelanja. Terkait labelisasi halal dan haram ini, logika MUI berlawanan arus dengan logika al-Qur'an dan al-Hadits. Al-Qur'an dan Hadits hanya menjelaskan hal-hal yang diharamkan, bukan sebaliknya, seperti diteorikan oleh para fuqaha bahwa kull syai'in halâl illâ ma hurrima (apa pun halal kecuali yang diharamkan). Mungkin mereka tidak merasa, atau merasa tapi labelisasi halal pasti lebih menguntungkan daripada labelisasi haram.
Masalah MUI ini menguat secara mencolok se­jak lima tahun terakhir ini, karena penguasa tampak lebih dekat dengan partai-partai garis keras yang setia mendukungnya, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PBB (Partai Bulan Bintang). Apakah kedekatan penguasa dengan kelompok-kelompok garis keras ini karena alasan oprtunisme atau memang memiliki agenda yang sama dengan mereka, hanya Allah swt. yang tahu. Seandainya karena oportunisme atau tidak mengerti sama sekali tentang semua masalah yang mengancam bangsa ini, semoga Allah swt mengilhami mereka lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dari pada hidup yang hanya sementara dan fana di dunia ini.
Kaitan penguasa lima tahun terakhir ini dengan partai-partai garis keras yang terbuka dan tersembunyi hendak menegakkan pendasaran negara pada Syari'ah Islam, diperkuat dengan diangkatnya ketua dan juru bicara MUI yang paling vokal menentang pluralsme, kebebasan beragama dan keyakinan, K.H. Ma'ruf Amin, sebagai anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) bidang keagamaan. Dengan demikian, cukup jelas kemana arah pandangan dan policy pemerintah dalam bidang keagamaan, kebebasan beragama dan keyakinan. Begitu gegap-gempitanya penyesatan dan kekerasan antaragama, tapi hampir tidak pernah terdengar suara tegas penguasa agar aparat negara lebih tegas dan adil terhadap pelaku kekerasan agama serta keberpihakannya untuk melindungi para korban penyesatan dan kekerasan. Hampir tidak pernah pula terdengar suara tegas penguasa tentang keinginannya untuk menegakkan hak-hak asasi manusia dan konstitusi dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sebaliknya, penguasa justru menunjukkan dukungannya secara eksplisit dan hendak mengikuti semua keputusan MUI, walaupun tidak merefleksikan atau mewakili pikiran mode­rat mayoritas ulama dan umat Islam Indonesia. Lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru untuk mengontrol umat Islam saat itu, kini telah tampak berbalik mendikte/mengontrol pe­me­rintah. Pada Rakernas tersebut MUI mengeluarkan fatwa 10 kriteria alir an sesat sebagai pedoman masyarakat Muslim untuk memantau secara mandiri aliran-aliran sesat. Akibatnya sudah jelas, makin tak te­rkendalinya kekerasan antaragama yang cenderung liar.


Infiltrasi di Lembaga-lembaga Pendidikan
Seorang murid kelas 4 Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Bekasi, Jawa Barat, menyebut orangtuanya kafir karena ia masih duduk di depan te­levisi saat azan berkumandang di loud speaker masjid. Tentu saja si orangtua terkaget-kaget dari mana anak kesayangannya memperoleh kosa kata "kafir" dan mengalamatkan k­pada dirinya. Di Ciputat, Tangerang, seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) menuding ibunya akan masuk neraka karena tidak memakai jilbab sebagaimana yang ia kenakan karena suruhan gu-runya di sekolah.
Beberapa responden di lokasi penelitian menye­butkan bahwa anak-anak mereka kini lebih keras dalam soal agama, seperti dengan mudah menyebut kata "kafir" kepada orang lain. "Sebagai orangtua tentu saja saya ingin anak saya kelak menjadi orang yang saleh, tapi saya juga tidak mau anak-anak saya bersikap fanatik dan diajari membenci orang lain, apalagi orangtua sendiri, hanya karena pemahaman agama."
Ungkapan-ungkapan seperti "kafir" dan "masuk neraka" adalah ungkapan keras yang sebenarnya tidak lazim digunakan dalam kehidupan beragama umat Islam Indonesia. Dulu, ungkapan itu hanya dialamatkan kepada kaum penjajah dengan tujuan untuk memberi legitimasi moral keagamaan untuk melawan dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Di masa perkembangan Islam di tanah Arab, kelompok yang gemar menuding orang Islam lain sebagai kafir adalah kelompok Khawarij yang mengkafirkan Sayyidina Ali dan Muawiyah serta para sahabat yang sejalan dengan keduanya. Sekalipun sebagai sekte Khawarij sudah tidak ada, namun kebiasaan buruknya diwarisi oleh banyak gerakan garis keras untuk mendiskreditkan siapa pun yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan mereka. Wahabi disebut-sebut sebagai pewaris sejati dimaksud.
Benarkah kini anak-anak kita telah mewarisi ajaran kaum Khawarij (Wahabi) yang mudah mengkafirkan orang lain? Jika benar, bagaimana teologi radikal dari Arab Saudi dan gerakan gariskeras dari Timur Tengah tersebut bisa menyusup dan mencuci otak anak-anak kita? Ini isu penting yang telah menyita perhatian banyak kalangan dalam sepuluh tahun terakhir, ketika mulai banyak bermunculan kelompok-kelompok garis keras bercorak Timur Tengah yang tak kenal kompromi dalam memaksakan agenda-agenda mereka, dengan penghujatan, teror, dan penyerangan kepada yang lain yang dianggap "kafir". Mereka tampaknya lupa pada hadis shahih dari Nabi Muhammad saw. (sebagaimana yang sudah di kemukakan sebelumnya) bahwa: "Siapa pun yang mengkafirkan saudaranya tanpa penjelasan yang nyata, adalah dia sendiri yang kafir" (man kaffara akhâhu bi-ghairi ta'wîl—fa-huwa kamâ qâla). Atau dalam riwayat lain, "Siapa pun yang mekafirkan saudara, maka salah seorang darinya benar-benar kafir" (man kaffara akhâhu—fa- qad bâ'a bihâ ahaduhâ).
Terkait dengan soal bagaimana proses kontaminasi teologis terhadap anak-anak dan generasi muda itu dilakukan, kasus-kasus di atas mengingatkan kita pada fenomena serupa pada tahun 1980 an ketika banyak orangtua yang cemas melihat anak-anaknya tiba-tiba rajin beribadah tapi pada saat bersamaan memisahkan diri dari pergaulan. Anak-anak perempuan mereka memakai jilbab tertutup yang berbeda dengan kerudung Muslim khas Melayu; sebagian bahkan ada yang menutup seluruh bagian tubuhnya dengan kain hitam dan hanya menyisakan matanya saja, bahkan ada yang matanya pun ditutup dengan sejenis kain kasa. Anak laki-laki memelihara jenggot dan menghitamkan jidat. Itu merupakan masa ketika kelompo­k-kelompok usroh atau tarbiyah menjamur di kampus-kampus menawarkan satu pandangan keagamaan yang fanatik serta seolah lebih saleh dan taat dibandingkan orang lain di sekitarnya.
Saat ini, gejala radikalisasi keagamaan tidak hanya berhenti di kampus-kampus tapi sudah masuk pula kesekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah. Cerita anak yang mengkafirkan orangtuanya sendiri hanya contoh kecil bagaimana agen-agen garis keras telah berhasil mempengaruhi cara pandang keagamaan anak-anak dan remaja usia sekolah. Jika di perguruan-perguruan tinggi ada LDK (lembaga dakwah kampus) yang merupakan bentukan kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin dan hingga kini masih menjadi ajang rekruitmen kelompok ini, maka di sekolah-sekolah tingkat menengah, rekruitmen dilakukan melalui Badan Rohani Islam atau Rohis, yang merupakan satu-satunya organisasi pelajar Islam yang boleh beraktivitas di sekolah negeri/umum.
Para pelajar sekolah umum biasanya tidak memiliki pengetahuan agama yang mendalam, sebagaimana agen-agen garis keras yang sebenarnya mempunyai pemahaman yang dangkal tentang Islam. Akibatnya, mereka cenderung mudah tertarik dengan tawaran "Islam harakah" atau Islam gerakan yang ditawarkan kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Ini juga sebenarnya yang terjadi dengan kampus-kampus umum di mana mahasiswanya mudah jatuh cinta pada "Islam harakah". Para pelajar dan mahasiswa kurang memiliki pemahaman agama yang mendalam sebagaimana anak-anak pesantren. Pada anak-anak pesantren, pengajaran agama diberikan secara komprehensif karena tujuannya memang menuntut ilmu, sehingga anak-anak santri cenderung memiliki perspektif yang luas dan tidak mudah jatuh pada sikap hitam-putih dalam beragama. Sedangkan pada "Islam harakah", agama hanya diajarkan satu dimensi, yaitu ideologi, karena tujuannya politik. Dalam bahasa KH. A. Mustofa Bisri, bab yang dipelajari oleh kelompok-kelompok semacam ini baru bab al-ghadlab atau bab marah. Padahal, dalam pelajaran agama masih banyak bab yang lain, seperti bab shabr, bab tawâdlu', bab qanâ'ah, bab tasâmuh, dan lain-lain.
Melalui dua strategi, yaitu diseminasi ideologi dan kaderisasi, agen-agen garis keras masuk kelembaga-lembaga pendidikan di semua tingkatan. Strategi pertama, penyelenggaraan program peribadatan, seperti training keislaman di sekolah-sekolah, yaitu training Islam pemula (Islamic training for beginners), bimbingan belajar, kursus-kursus bagi para pelajar dan mahasiswa, pelayanan buku- buku harakah atau gerakan, serta pe­ayanan penyediaan da'i gratis, termasuk menyediakan khatib gratis yang siap pakai untuk shalat Jumat. Strategi kedua, kaderisasi. Gerakan ini melakukan latihan-latihan yang intensif untuk anak-anak, remaja dan mahasiswa yang bakal dibina untuk menjadi kader gerakan. Latihan-latihan khusus, seperti Studi Islam Intensif, Latihan Mujahid Dakwah dan Pembina, dilakukan secara berjenjang dan intensif.
Kelompok-kelompok garis keras telah be­rhasil menyiapkan dan melatih kader-kadernya untuk menjadi aktivis dalam berbagai untuk menjadi berbagai bidang dan disebar di masyarakat, t­rmasuk lembaga-le­mbaga pendidikan yang dianggap sangat strategis untuk menyiapkan kader masa depan. Beberapa pola kegiatan lain yang bisa dikenali secara terbuka antara lain menyelenggarakan berbagai bentuk pelatihan keagamaan maupun pelatihan keterampilan umum lainnya bagi mahasiswa, pelajar dan masyarakat umum. Semua pola itu mudah dikenali karena me­miliki ciri yang khas yaitu metode tarbiyah yang menjadi karakteristik gerakan Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah.
Untuk masyarakat umum, penyediaan kader terlatih seperti khatib, guru ngaji, dose­n, dokter, biasanya dilakukan dengan komando terpusat. Gerakan ini juga menyediakan tenaga terlatih untuk pendidikan kerumah tanggaan, seperti masak-memasak yang beroperasi dari rumah ke­rumah, bahkan penyediaan cleaning service gratis di masjid. Biasanya, jika agen gerakan ini telah dipercaya memegang suatu lembaga seperti masjid atau pengajian dan pen didikan dalam masyarakat, maka yang dilakukan kemudian ialah pembersihan terhadap pihak mana pun yang tidak mendukung paham dan ideologi mereka, dan mengundang teman-temannya untuk mengisi struktur yang sudah dibersihkan.
Saat ini banyak sekali masjid, sekolah-sekolah Islam dari tingkat paling rendah yaitu taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi telah berhasil dimasuki oleh para agen gerakan tersebut. Di kota-kota di Indonesia bisa ditemukan dengan mudah pamflet atau iklan di surat kabar mengenai ustadz atau guru ngaji yang siap memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam bentuk khutbah, ceramah atau bimbingan keluarga. Mereka juga menyediakan tenaga untuk bimbingan keagamaan (Islam) bagi pelajar dan mahasiswa selain bagi masyarakat umum.
Selain menjangkau lembaga-lembaga formal yang telah lebih dulu berdiri, kelompok ini juga berusaha mendirikan sendiri sekolah-sekolah Islam yang mempunyai ciri khas, yang biasanya mereka namakan Sekolah Islam Terpadu (SIT). Sekolah semacam ini telah berhasil didirikan di berbagai ko­ta di Indonesia dengan obyek utamanya para murid dari tingkat kanak-kanak (TK) hingga sekolah tingkat atas (SMU). Belakangan Taman Kanak- Kanak TK Islam Terpadu (TK-IT) yang jumlahnya ratusan itu telah mampu bersaing dengan TK Raudhatul Athfal (milik Muslimat NU) dan TK ABA (milik Aisyiyah Muhammadiyah). Dalam hal ini, ada satu kasus menarik. Pada tahun 2006 sebuah TK milik Aisyiyah Muhammadiyah di Prambanan yang telah berdiri 20 tahun hendak diubah menjadi TK Islam Terpadu, dengan dukungan dari Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, selaku Dewan Pembina dan Pengurus Yayasan Islamic Centre yang berafilisi dengan PKS. Tentu saja pihak Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng keberatan dengan rencana tersebut sekalipun dengan alasan akan dibangun Islamic Center. Gagal diakuisisi oleh PKS, TK Aisyiyah tersebut tetap berdiri sampai sekarang.
Keberadaan kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (PKS) di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai terkuak tatkala Farid Setiawan, pengurus Muhammadiyah wilayah Yogyakarta, menulis sebuah artikel opini di Majalah Suara Muhammadiyah. Dalam artikel berjudul "Tiga Upaya Mu'alimin dan Mu'alimat" itu Farid mensinyalir terjadinya penyusupan agen-agen garis keras di Madrasah Mualimin dan Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua lembaga pendidikan menengah ini dikenal sebagai tempat pengkaderan ulama Muhammadiyah yang langsung dikelola oleh Pimpinan Pusat. Lebih lengkap, Farid Setiawan menulis :
... transformasi ideologi di kedua madrasah tersebut (Muallimin dan Muallimat, ed.) lama-kelamaan mulai memudar  karena mewabahnya "virus tarbiyah" yang makin menggurita. "Virus tarbiyah" tersebut sebagian besar memasuki urat nadi kepengurusan madrasah, dari guru sampai pendamping asrama yang biasa disebut musyrif dan musyrifah. Memang, virus ini secara kasat mata tidak dapat dilihat dengan je­las, namun yang pasti "kegenitan politik" dalam berafiliasi terhadap salah satu partai dan manhaj lain menjadikan para pengurus, guru, musyrif dan musyrifahnya semakin menampakkan gerakan yang berbeda dengan Muhammadiyah. Mereka cenderung menggunakan gerakan baru non Muhammadiyah dalam mengembangkan gerakan dan kepentingan politiknya. Dalam bentuk kaderisasi, mereka cenderung menggunakan sistem yang berbeda dengan Muhammadiyah seperti Daurah, Liqa', Usrah, Daulah Islamiyah serta doktrin Jihad fi Sabililllah yang diambil sebagai jargon suci dalam membakar semangat kader. Para fungsionaris "virus tarbiyah" tersebut sangat intens dalam membina, mendampingi serta mendidik santri-santri madrasah, untuk kepentingan me­njaring kader-kader partainya. Bagaimana kader-kedar Muhammadiyah yang berhasil direkrut dan dibina oleh garakan Tarbiyah (PKS) menjadi kader mereka, dan bagaimana perbenturannya dengan Muhammadiyah yang moderat? Farid melanjutkan analisisnya :
Produk keluaran dari pola kaderisasi yang dilakukan "virus tarbiyah" tersebut membentuk diri serta jiwa para kadernya menjadi seorang berpemahaman Islam yang ekstrem dan radikal. Sehingga wajar kalau terjadi paradoks gerakan dengan dinamika Muhammadiyah yang dikenal moderat. Perbenturan paham Islam radikal dengan Islam moderat makin tampak dan kian meruncing seiring dengan berkembangnya gerakan "virus tarbiyah" tersebut.
Perkembangan dari pola kaderisasi tersebut saat sekarang telah tersebar keberbagai penjuru Muhammadiyah. Hal ini membuat kekecewaan yang cukup tinggi di kalangan warga dan Pimpinan Muhammadiyah di berbagai daerah. Putra-putri mereka yang diharapkan menjadi kader penggerak Muhammadiyah malah bisa berbalik seratus delapan puluh derajat, dan bahkan jadi memusuhi Muhammadiyah sendiri. Fenomena seperti itu juga menjadikan orang-orang di luar Muhammadiyah ikut berdukacita dan berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya atas matinya sekolah kader Muhammadiyah yang selama ini diunggul-unggulkan.
Suara Muhammadiyah secara berseri menurunkan opini terkait kasus penyusupan di dua lembaga pendidikan Muhammadiyah terse­but. Namun, beberapa piminan Muhammadiyah yang telah terpengaruh paham dan ideologi garis keras ternyata tidak senang dengan opini yang dikeluarkan oleh Suara Muhammadiyah. Polemik ini pun berbuntut panjang, dan berakhir dengan dikeluarkannya SKPP No.149 tentang Konsolidasi Organisasi PP Muhammadiyah, yang diedarkan secara nasional, yang melarang anggota Muhammadiyah memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan politik, dan secara khusus menyebut PKS.
Artikel Farid Setiawan ternyata telah ikut membantu persyarikatan Muhammadiyah mengatasi masalah yang membelitnya selama bertahun-tahun. Alasannya jelas karena Farid mau berterus terang, jujur, dan berani mengemukakan apa yang ia saksikan dan merugikan organisasi Muhammadiyah. Seharusnya ini menjadi inspirasi bagi yang lain melakukan hal yang sama, demi menyelamatkan Muhammadiyah dari penyusupan dan penggerogotan garis ke­ras.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, gerakan Tarbiyah Ikh-wanul Muslimin ini juga mampu mengembangkan model pendidikan bergaya Arab dengan sponsor utama dari Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Sebagai contoh, kini telah berdiri beberapa Ma'had Ali (semacam le­mbaga kursus pendidikan keagamaan) di berbagai kota, lagi-lagi dalam kaitannya dengan universitas-universitas Muhammadiyah. Bahkan pada beberapa program studi di universitas tersebut seluruh mahasiswanya diberi beasiswa dan disuplai dengan dosen dari Arab Saudi secara langsung.
Sebagai misal, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta er Muhammadiy ogy (UMY) dibuka kelas khusus Ma'had Abu Bakar, yang semua pembiayaan berasal dari Arab Saudi, dengan dosen-dosen Wahabi dari Arab Saudi dan dosen alumni Timur Tengah. Di UMY ini, beberapa dosen di Fakultas Fisipol, Teknik, Ekonomi dan Hukum, adalah aktivis HTI. Mereka menyusun program yang disebut Islamisasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dengan menyusun kurikulum Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, yang hanya boleh diajarkan oleh orang-orang tertentu, khususnya alumni Timur Tengah.
Dosen yan paling berpengaruh dalam perkuliahan di Ma'had Abu Bakar UMY adalah dua Ketua Muhammadiyah, keduanya alumni Universitas Ibn Saud Arab Saudi. Dalam sebuah tulisan Prof. Khaled M. Abou el Fadl, dinyatakan bahwa jaringan Universitas Ibn Saud memang dibiayai untuk melakukan penyebaran paham Wahabi keseluruh dunia, termasuk di Indonesia, agar menjadi paham mayoritas di dunia Islam. Fadl juga menyebutkan bahwa sudah lebih banyak pengajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, bermazhab Wahabi ortodoks konservatif yang mengikuti jejak tokoh radikal Ikhwanul Muslimin, yaitu Hassan al-Bana dan Sayyid Qutb. Sejak tahun 1990 an, kata Fadl, Wahabisme telah menjadi sistem pemikiran yang dominan di dunia Islam. (Lihat kembali penjelasan mengenai kombinasi paham Wahabi-Ikhwanul Muslimin ini dalan Bab II, Latar Belakang Masalah: Penyusupan Ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia).
Peneliti kami diberitahu bahwa di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), gerakan penyusupan paham Wahabi-Ikhwanul Muslimin demikian kuatnya, terutama lewat Fakultas Teknik, Agama Islam, dan Program Magister Agama Islam, di mana ketuanya adalah Dewan Syuro PKS, Dr. Muinudinillah, Lc., lulusan King Abdul Aziz University, Arab Saudi. Dalam kelas Magister Studi Islam UMS, ada tiga kelas yang mendapatkan beasiswa dari Arab Saudi, dan buku-buku dari Arab menjadi bacaan wajib di kelas. Yang menarik adalah, kira-kira tiga perempat mahasiswa S2 Studi Islam itu merupakan kader PKS yang dibawa oleh Direkturnya dan mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi. Penelitian ini menemukan data bahwa di UMS, sekitar 60% dosennya adalah PKS, yang tersebar di seluruh fakultas. Dari 60% dosen tersebut banyak di antaranya adalah pejabat di UMS, karena itu menjadi persoalan yang tidak sederhana bagi Rektor UMS untuk mengimplementasikan SKPP Muhammadiyah dalam usahamenertibkan dengan memecat mereka, misalnya. Jika melakukan pemecatan maka UMS akan collapse, sebab dosennya habis. Demikian juga mahasiswanya, separoh dari mereka lebih dekat dengan PKS karena kampus UMS didominasi oleh Ke­satuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang merupakan sayap PKS, di samping itu banyak juga mahasiswa yang merupakan alumni dari pesantren Ngruki Pimpinan Abu Bakar Ba'asyir, Amir Majelis Mu jahiddin Indonesia (MMI).
Data di atas cukup mengejutkan, karena bisa terjadi bahwa di kampus milik Muhammadiyah para mahasiswanya lebih banyak anggota KAMMI (PKS) dan bukan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Padahal, Ketua BPH UMS adalah Drs. Dahlan Rais, M.Hum (adik kandung Amien Rais) dan Ketua PP Muhammadiyah. Sedangkan Wakil BPH adalah Drs. Marpuji Ali, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.
Dewasa ini sudah menjadi pemandangan umum bahwa PKS dan HTI sudah menguasai masjid-masjid kampus di Yogyakarta, termasuk masjid kampus UGM, UIN, Masjid Syuhada, Masjid Pascasarjana UGM, dan masjid kampus UMY. Masjid-masjid kampus menjadi ajang sosialisasi dan disseminasi kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin di perguruan tinggi. Dalam hal ini pihak universitas tidak bisa berbuat banyak karena sebagian gerakan Tarbiyah Ikhwanul Muslimin didukung oleh pejabat kampus.
Ada beberapa ketegangan yang muncul di kampus-kampus tersebut. Di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan UIN sering muncul penolakan dari mahasiswa dan dosen yang mengetahui bahwa kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin berusaha memasukkan paham dan ideologi mereka pada saat khutbah Jumat dan pengajian mahasiswa, termasuk pada pengajian Ramadhan. Penolakan di UAD oleh beberapa dosen dan mahasiswa berakhir dengan pembubaran pengajian tersebut. Di masjid UIN Yogyakarta peristiwa pembubaran ini dilakukan oleh Takmir Masjid dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, sayap mahasiswa NU) karena kelompok Tarbiyah Ikhwanul Muslimin itu dianggap tidak memberikan ruang pada semua mahasiswa dan dosen UIN yang berbeda paham.
Lembaga-lembaga pendidikan telah lama menjadi ajang penyusupan gerakan garis keras, terutama karena kelompok-kelompok ini telah be­rhasil menguasai jaringan dan menempatkan kader-kader mereka di dalam struktur organisasi lembaga pendidikan bersangkutan. Kampus-kampus ternama seperti UI, ITB, IPB, UGM, Unpad, dan kampus-kampus besar di luar Jawa menjadi tempat yang subur bagi pengembangbiakan paham garis keras. Dalam Mata Kuliah Agama Islam, misalnya, para mahasiswa diwajibkan untuk mengikuti mentoring. Jika tidak mau ikut, jangan harap bisa memperoleh nilai tinggi dalam Mata Kuliah Agama Islam tersebut. Adapun para mentornya tidak lain adalah kader yang memang su-dah diatur oleh LDK (Lembaga Dakwah Lampus) yang juga sudah dikuasai kelompok garis keras.
Di Medan, Sumatera Utara, dari 34 mahasiswa aktivis LDK yang menjadi responden penelitian, 31 orang di antaranya menolak demokrasi dan setuju mendirikan sistem Khilafah Islamiyah di Indonesia, proyek utama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di Bandung, dari 32 responden mahasiswa, 4 di antaranya adalah aktivis LDK dan semuanya setuju Khilafah Islamiyah dan menolak demokrasi. Sebagai perbandingan, 5 responden aktivis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) di Bandung setuju demokrasi tapi pada saat be­rsamaan juga se­tuju Khilafah Islamiyah. 5 Aktivis KAMMI di Bo­go­r yang menjadi responden penelitian juga setuju demokrasi dan pada saat bersamaan setuju dengan Khila fah Islamiyah. Ini tidak mengagetkan karena KAMMI merupakan underbouw PKS yang juga menerima demo­krasi. Dengan kata lain, agenda HTI untuk memperjuangkan khilafah Islamiyah di Indonesia rupanya telah masuk kelingkungan pendidikan dan didukung oleh para aktivis LDK dan KAMMI.

Infiltrasi di Instansi-Instansi Pemerintah dan Swasta
Dewasa ini kita sering mendengar ungkapan seperti : "Saat ini tidak ada lagi yang bercita-cita mendirikan negara Islam," atau, "Stigma negara Islam sengaja ditiupkan oleh kelompok-kelompok yang anti-Islam," dan seterusnya. Namun, pada kenyataannya, kita mendengar kerisauan banyak pihak atas berbagai indikator yang mengarah kepada formalisasi agama dalam bentuk negara Islam, mulai dari tuntutan kembali ke Piagam Jakarta hingga bermunculannya Perda-perda Syari'ah di berbagai daerah di tanah air. Kalau ada yang menunjukkan bahwa itu merupakan indikator kearah perwujudan negara Islam, maka dia akan cepat dituduh mengidap penyakit Islamophobia atau anti Islam. Padahal tidak demikian, dia justru mengungkapkan yang sebenarnya, sebagaimana dibuktikan studi ini.
Kasus ini pernah menimpa Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Pada tahun 2006, Menhan Juwono mengungkapkan adanya penyusupan gerakan radikal kedalam partai-partai Islam yang ingin mendirikan negara Islam untuk menerapkan syar'iah. Menurut Menhan, gerakan radikal itu menunggu saat yang tepat untuk terciptanya radikalisasi. Menhan menambahkan, pendirian negara Islam untuk menerapkan syariah akan membuat partai-partai Islam berseteru, karena interprestasi syari'ah berbeda-beda antarparpol Islam. Menhan kemudian meminta parpol Islam untuk waspada terhadap penyusupan itu.
Atas pernyataannya itu, Menhan menerima badai protes dari kalangan aktivis partai. Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring menyebut pernyataan Menhan itu hanya memberi stigma negatif kepada partai-partai Islam. Tudingan sepr- ti itu, kata dia, mirip cara-cara yang digunakan Orde Baru. Reaksi keras juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Lukman Hakim Saifuddin. Menurutnya, Menhan tidak pantas membuat tuduhan seperti itu. Apalagi, ujarnya, faktanya cita-cita mendirikan negara Islam sudah ditinggalkan.
Semua ini merupakan reaksi politik yang lebih didasarkan pada kepentingan jangka pendek. Seharusnya, pernyataan Menhan dipahami sebagai refleksi kecintaannya pada NKRI dan Islam. Penyusupan bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan seorang mantan Panglima TNI mengemukakan kepada peneliti kami, "Dulu, ancaman garis keras terhadap NKRI dan Pancasila ada di luar pemerintahan, seperti DI/NII. Tapi sekarang, garis keras sudah masuk ke dalam pemerintahan, termasuk parlemen, dan menjadi jauh lebih berbahaya dari sebelumnya."
Saat ini, mantan Ketua PKS menempati posisi strategis sebagai Ketua MPR RI. Tiga tokoh lainnya menjadi menteri dalam kabinet, te­rmasuk departemen pertanian yang sangat strategis karena punya cabang di semua kecamatan seluruh Indone­sia, dari Sabang sampai Merauke, dan menguasai apa pun yang diberikan oleh peme­rintah kepada para petani. Bahkan, menurut seorang pengasuh salah satu pesantren besar di Jawa Tengah, "PKS sudah berhasil menyusup sampai kedesa-desa di berbagai daerah di Jawa Tengah dengan memanfaatkan fasilitas Departemen Pertanian."
Dewasa ini bangsa Indonesia menyaksikan buah koalisi partai-partai garis keras dengan politisi dan parpol-parpol oportunis. Secara makro, beberapa tahun ini pemerintah Indonesia mendapat banyak pujian internasional karena adanya kemajuan situasi ekonomi serta "keberhasilan" menangkap dan mengadili para pelaku teror atas nama Islam. Semua ini menciptakan citra adanya stabilitas. Tapi sebenarnya, di luar perhatian pers dan politisi internasional, dan banyak masyarakat Indonesia sendiri, situasi sosial dalam konteks keagamaan di Indonesia menjadi semakin tidak kondusif karena adanya kerjasama antara para politisi dan parpol oportunis dengan parpol dan gerakan garis keras yang telah membiarkan idelogi, age­n dan agenda garis keras masuk kemana-mana hampir di semua bidang kehidupan bangsa Indonesia.
Peneliti kami mendapat penjelasan dari seorang sejarawan yang juga aktif mempelajari dan meneliti pendidikan para imam dan khatib serta pandangan keagamaan yang disampaikannya dalam khotbah Jum'at, "Ketika saya mendengarkan khotbah-khotbah yang disampaikan di banyak masjid waktu shalat Jum'at di Jakarta, saya khawatir dengan masa depan negeri ini." Dia menambahkan, "Khotbah Jum'at yang disampaikan banyak berisi kecaman terhadap pihak lain, yang sebenarnya tidak pantas dilakukan di dalam masjid."
Ustadz AR adalah alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang memiliki pandangan moderat progresif. Ia mengagumi Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Thantawi karena pandangan-pandangan keagamaannya yang bersifat moderat. Para alumni al-Azhar seangkatannya yang telah kembali ke Indonesia juga banyak yang memiliki pandangan seperti dirinya. Sejak tahun 2002 ustadz AR rutin memberikan pengajian di beberapa perkantoran di Jakarta, baik milik pemerintah atau BUMN maupun swasta. Namun sejak tahun 2004, ustadz AR harus menerima kenyataan pahit bahwa ia "dipecat" sebagai penceramah di perusahaan ekspedisi di Jakarta Selatan dan kantor Beacukai di Jakarta Timur.
Ustadz AR tidak tahu apa kesalahannya. Selidik punya selidik, ternyata Badan Pembinaan Rohani Islam atau Binroh di dua kantor tersebut kini telah dikuasai oleh kelompok Tarbiyah (PKS). Beberapa temannya sesama ustadz pun rupanya mengalami hal yang sama. Sudah menjadi tradisi bagi kelompok Tarbiyah jika sudah mengendalikan sebuah forum pengajian, maka mereka akan meng-ambil seluruhnya, termasuk menetapkan materi dan mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh mengajar di forum tersebut. Sudah pasti mereka akan mengganti para pengajar dengan orang-orang mereka sendiri yang sepaham, dan memanfaatkannya sebagai forum sosialisasi ideologi dan agenda politik mereka.
Cerita lain dikemukakan oleh BM, seorang aktivis Islam yang pernah bergiat di Youth Islamic Study Club (YISC) al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Berbekal idealisme dan jaringan alumni al- Azhar, BM dan teman-temannya sering mengkoordinasi pengajian di kanto­r-kantor perusahaan besar di Jakarta. Adapun para dosen atau pengajar yang masuk dalam daftar BM dkk. adalah doktor-doktor keislaman alumni Barat dan Timur Tengah yang mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Universitas Paramadina, atau kalangan cendekiawan Muslim terkemuka lainnya. Dalam 5 tahun, aku BM, ia dan kawan-kawan telah berhasil mengorganisasi belasan forum pengajian di kantor-kantor perusahaan besar di Jakarta. Namun, sejak tahun 2003, BM mengaku proposal yang ia tawarkan untuk melanjutkan kegiatan tersebut selalu ditolak oleh kantor dan perusahaan yang sama. Setelah diselidiki, ternyata lembaga Binroh kantor dan perusahaan itu memang sudah "jatuh" ketangan kelompok Tarbiyah. Sejak itu, ia dan teman-temannya tahu diri dan mundur teratur.
Bagaimana corak dan warna pengajian yang dibawakan oleh kelompok Tarbiyah ini? Kiranya penuturan seorang sumber berinisial AT berikut ini cukup memberi gambaran. AT adalah direktur sebuah perusahaan telekomunikasi yang berkantor di kawasan Jalan Jend. Sudirman Jakarta. Menurutnya, pengajian anak-anak buahnya di kantornya saat ini berbeda dari pengajian yang dulu biasa dilakukan yang lebih menekankan spiritualitas, intelektualitas, akhlak, dan etos kerja. Pengajian saat ini menurutnya cenderung keras serta berbau politik dan jihad. Tak jarang, ujarnya, penceramah mengangkat topik yang kontroversial di masyarakat dan tidak ragu-ragu menghujat kelompok lain. "Terus terang, saya cemas dengan perkembangan ini. Tapi karena saya orang yang awam di bidang agama, saya tidak bisa berbuat apa-apa," ungkapnya.
Perihal adanya penyusupan ideologi di forum-forum pengajian kantor pemerintah pernah menggegerkan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, Bogor, yang dipimpin Walikota Nur Mahmudi Ismail, mantan Presiden PKS. Adalah Hasbullah Rachmad, ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Depok, yang mengungkapkan hal tersebut pada Desember 2006. Hasbullah memberi contoh bahwa pengajian rutin yang dibawakan guru ngaji dari Fraksi PKS di ka langan birokrasi Pemkot Depok merupakan bentuk pemaksaan. "Mereka yang ingin karirnya naik diwajibkan ikut pengajian PKS. Itu benar-benar terjadi," kata Hasbullah. Langkah yang dilakukan Nur Mahmudi dan Fraksi PKS ini, menurut Hasbullah, sangat meresahkan pegawai Pemkot Depok. Hasbullah mengatakan, seandainya dia wali kota, dia tidak perlu menggelar pengajian semacam itu. "Saya cukup lakukan kontrak politik dengan pejabat dinas. Misalnya bisa nggak menerbitkan IMB dalam waktu seminggu? Kalau tak mampu, ya kita ganti. Itu yang penting dilakukan untuk tingkatkan pelayanan masyarakat," jelasnya.
Sebenarnya jaringan para ustadz PKS yang tersebar di berbagai kantor dan perusahaan bukan sesuatu yang baru. Para alumni gerakan usroh atau Tarbiyah Ikhwanul Muslimin yang dulunya merupakan aktivis pengajian di kampus-kampus setelah lulus kuliah mereka bekerja di berbagai perusahaan. Tidak hanya di perkantoran atau perusahaan di Jakarta, tapi juga di perusahaan-perusahaan besar di seluruh Indonesia. Melalui mereka inilah jaringan pengajian a la Tarbiyah dibentuk di tempat mereka bekerja seka-rang. Jadi, jaringan yang pernah mereka bangun dalam gerakan dakwah di kampus dahulu, mereka lanjutkan ketika bekerja di perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Dalam risalah resminya sendiri, PKS memang menyatakan secara eksplisit tentang penyebaran kader mereka melalui tiga tahap, yaitu: Pertama, penyebaran kader dakwah ke organisasi/lembaga di berbagai sektor kehidupan menuju pusat kekuatan dan kebijakan; kedua, penapakan karir kader dakwah dalam organisasi/lembaga tersebut; ketiga, berperan dalam mempengaruhi, merumuskan, menerjemahkan, dan mengimplementasikan kebijakan publik agar sesuai dengan manhaj Islam
Sebagai partai dakwah, tentu saja PKS berhak mengambil peran dalam syiar Islam di masyarakat. Namun ketika dakwah yang dilakukan berhimpitan dengan tujuan-tujuan politik untuk memobilisasi dukungan dalam rangka memenangkan pemilu, maka umat Islam yang bukan PKS pun berhak untuk menolak dan membentengi diri. Menurut Ketua PP. Muhammadiyah, Haedar Nashir:
Ukhuwah dengan sesama kelompok Islam maupun dengan komponen bangsa lainnya, tidak harus mengorbankan kebutuhan Muhammadiyah. Justru sebaliknya, jika benar-benar ingin membangun ukhuwah, maka sesama gerakan Islam jangan saling mengganggu, apalgi menganggap diri alternatif dan kemudian memposisikan seluruh kelompok/jamaah Islam lain wajib dimasuki dan "di Islamkan kembali." Sikap seperti itu selain angkuh dan merusak e­tika sesama umat Islam, bahkan dapat menyebarkan benih konfik dan permusuhan di tubuh umat Islam. Jika Muhammadaiyah melakukan pemagaran diri, bukanlah anti ukhuwah, juga bukan reaksioner. Lihatlah masalah dari hulu, jangan dari hilir. Tak ada asap, tak ada api. Muhammadiyah sekadar mereaksi dan kemudian melakukan pemagaran diri. Jika ingin ukhuwah justru kembangkan sikap saling toleran, saling memahami, dan saling menghargai, jangan merasa diri paling Islami dan sebagai alternatif dari yang lain.
Bahkan partai Islam apa pun, tetap memiliki misi dan kepentingan sendiri, tidak identik dengan Islam itu sendiri. Partai politik kendati berlabel Islam atau dakwah bahkan sejatinya tetap partai politik, yang orientasi utamanya tetap pada perjuangan kekuasaan untuk dirinya sendiri, karena itu tidak harus dipersepsikan sebagai mewakili Islam dan umat Islam secara keseluruhan.

Penutup
Dalam konteks inilah kita bisa memahami jika umat Islam Indonesia bereaksi keras terhadap penyebaran kader PKS, dan di mata mereka justru merupakan infiltrasi. Itulah alasan mengapa Muhammadiyah mengeluarkan SKPP No. 149 tahun 2006 yang melarang anggotanya memanfaatkan organisasi Muhammadiyah untuk kepentingan politik. Demikian juga NU yang mengeluarkan fatwa-fatwa untuk mewaspadai dan melawan ideologi dan gerakan transnasional. Dewasa ini ancaman terhadap Pancasila dan NKRI serta Islam sekaligus semakin kuat dan berbahaya. Karena dengan ideologi, sistem dan kekuatan dana yang dimiliki, para agen garis keras telah be­rhasil menyusup keberbagai sektor kehidupan bang-sa Indonesia.
Sebagai elemen terbesar bangsa Indonesia, bahkan komunitas Muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesia memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral yang sangat besar untuk menyelamatkan tidak hanya NKRI dan Pancasila dari berbagai ancaman, melainkan juga berkewajiban menyelamatkan Islam dari pembajakan dan pemudaran nilai-nilainya yang luhur dan mulia. Semua ini bisa dilakukan, di antaranya, dengan menyadari keterbatasan pemahaman dan pengetahuan kita, terus belajar secara terbuka dan rendah hati, dan mengamalkan ajaran agama yang penuh spiritualitas dan kasih sayang Tuhan. Jika demikian, kita akan bersikap toleran dan menghargai perbedaan dan kebebasan, serta menolak usaha siapa pun yang hendak menjadikan Islam sebagai media kekuasaan.


BAB V
KESIMPULAN & REKOMENDASI


Kesimpulan
Kepulauan nusantara Merupakan wilayah yang sangat kaya dengan warisan spiritual, sebuah tradisi yang secara terbuka mengakui dan menerima perbedaan. Hal ini dilandasi kesadaran bahwa perbedaan yang ada hanyalah bersifat lahiriah, dan semua bertemu dalam suatu realitas substansial yang sama. Dalam suasana seperti inilah Islam dibawa oleh para wali, tokoh-tokoh yang sangat mementingkan aspek substantif ajaran agama tanpa mengabaikan aspek-aspek lahiriah, masuk ke Nusantara. Karena itu, penduduk Nusantara menerima Islam layaknya menerima pesan-pesan luhur spiritual yang mengakui eksistensi dan realitas tradisi keberagamaan yang telah menjadi bagian integral kehidupan mereka.
Seperti sering diingatkan bahwa agama adalah jalan dan cara (syir'ah wa minhaj), dua prinsip yang terkandung di dalamnya adalah : ketulusan mengabdi kepada Allah swt. (ikhlash al-'ibâdah ilâ Allâh) dan be­rhias dengan akhlak mulia dan terpuji (al-tahallî bi makârim al-akhlâq). Pengabdian kepada Allah swt. tidak hanya di lakukan dalam ibadah murni (ibâdah mahdlah) se­pe­rti shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan juga dalam membantu dan melayani makhluk Allah swt. Ini berarti selalu ada dimensi ibadah dalam setiap aktivitas umat beragama, tergantung pada niat atau maksud dalam melakukan aktivitas yang bersangkutan. Sedangkan akhlak mulia secara eksplisit menekankan agar pengabdian kepada Allah swt. dalam berbagai bentuk dan caranya dilakukan dengan cara- cara yang baik dan terpuji, tidak merugikan atau menyakiti siapa pun.
Walaupun tidak dirumuskan secara teoretis, keberagamaan penduduk Nusantara sama belaka dengan yang disebutkan di atas. Perhatian, pelayanan, dan bantuan terhadap siapa pun dilakukan dengan kesadaran menciptakan karma bagus bagi umat Hindu, untuk memberi darma dan melepaskan manusia dari penderitaan dunia maya ini bagi umat Budha, untuk mendapat ridlâ Allah swt. bagi umat Islam, dan sebagai wujud kasih sayang Allah terhadap sesama bagi umat Nasrani. Dan dengan tepat Pancasila merefleksikan pesan-pesan luhur agama ini : Hyang Maha esa, nilai-nilai kemanusiaan, perasaan sebagai satu-kesatuan, musyawarah dalam kepemimpinan, dan keadilan.
Pesan-pesan luhur inilah yang belakangan digugat dan dihujat oleh kelompok-kelompok garis keras sebagai penyebab degradasi mral dan keterpurukan bangsa Indonesia, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Tujuannya jelas, dengan mendiskreditkan Pancasila mereka berusaha melakukan formalisasi agama, yakni pemahaman mereka yang sempit, dangkal, parsial, dan kaku tentang Islam. Padahal realitasnya jelas, degradasi moral dan ke terpurukan bangsa adalah karena ulah penguasa yang tidak setia pada dasar dan konstitusi negara. Hingga saat ini, pesan-pesan syari'ah sebagaimana terefleksi dalam Pancasila belum sepenuhnya diwujudkan. Karena itu, degradasi moral dan keterpurukan bangsa hanya dalih semata untuk mengganti Pancasila dengan negara Islam versi mereka dan/atau mengubah NKRI dengan khilafah interna-sional. Sebenarnya, benih gerakan garis keras sudah hadir di Indonesia modern sejak dekade 1970 an walaupun ketika itu hadir bermanis muka dan belum menunjukkan tujuan yang sebenarnya, karena mereka sadar belum punya kekuatan yang memadai. Benih ini kemudian tumbuh bagai jamur di musim hujan menjelang dan setelah berakhirnya rejim Orde Baru dengan memanfaatkan atmosfer demokrasi dan kebebasan untuk tujuan yang tidak demokratis dan membungkam kebebasan. Ada beberapa di antaranya yang memilih aksi-aksi jalanan sebagai media memaksakan ideologinya, namun ada pula yang memilih jalur politik praktis dan parlemente­r. Fenomena ini menarik perhatian dan keprihatinan banyak pihak, terutama umat Islam moderat dan nasionalis yang mencium gelagat tak beres dalam aksi-aksi mereka.
Melalui studi yang didesain untuk menemukan, me­unjukkan, dan membuktikan ada dan tidaknya bahaya laten dalam gerakan-gerakan tersebut, diketahui bahwa gerakan-gerakan ini punya hubungan dengan gerakan Islam transnasional yang berasal dari Timur Tengah, terutama Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Tujuan mereka adalah mengatur semua aspek kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, mereka menganut ideologi totalitarian sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis bagi ambisi politiknya. Sedangkan agenda utama mereka adalah untuk menjadi wakil Allah swt. Dengan segala keterbatasan dan kedangkalan pemahaman dan pengamalannya atas ajaran Islam, mereka merasa berhak mewakili-Nya.
Keyakinan umat Islam bahwa Allah swt. mengatur semua aspek hidup manusia digunakan dengan sangat licik oleh mereka. Memang benar Allah swt. mengatur semua aspek hidup manusia, tapi pemahaman politis kelompok garis keras adalah kesalahpahaman yang berpangkal pada sempit dan dangkalnya pemahaman mereka tentang Islam. Para ulama moderat memahami keyakinan ini dalam sikap berislam (berserah diri) yang mendalam dan ikhlas (tulus) melalui amal-amal nawâfil sehingga Allah swt. hadir baginya sebagai pendengaran, penglihatan, lisan, dan kedua kakinya, sehingga indera dan organ tubuhnya hanya melakukan apa yang memang dikehendaki oleh Allah swt. Allah swt. tidak mengatur semua aspek kehidupan manusia secara politik dan kekuasaan, melainkan secara spiritual dan cinta. Berislam secara ikhlas dan mendalam bermakna hanya berserah diri kepada Allah swt., bukan pada kehendak-kehendak rendah hewani, te­rmasuk yang dikemas dalam retorika politik orang-orang yang mengklaim berhak mewakili Allah swt. dan memanfaatkan agama sebagai alat untuk menguasai semua aspek hidup setiap orang.
Demi ambisi politiknya, mereka menyusup kebanyak bidang kehidupan bangsa Indonesia : dari istana negara hingga kepegunungan; melalui jalur parlementer, aksi-aksi jalanan, penyerobotan me­sjid dan lembaga-lembaga pe­ndidikan, hingga cleaning service gratis; bahkan kedalam ormas-ormas Islam moderat. Semua ini dilakukan sebagai aksi-aksi yang saling mendukung secara sistemik. Ada kalanya aksi-aksi jalanan, misalnya, mendapat pembelaan dan dukungan di parlemen, dan mendapat pembenaran melalui fatwa MUI. Pernah juga terjadi fatwa MUI didukung aksi-aksi jalanan dan parlementer. Demikian pula isu-isu politik di parlemen mendapat dukungan aksi-aksi jalanan dan MUI. Semua ini tidak bisa dilihat sebagai sebuah kebetulan semata.
Ada dua alasan aksi-aksi saling dukung ini bisa terjadi. Pertama, ada kesamaan ideologis di antara kelompok-kelompok garis keras yang terlibat, yang terutama berafiliasi dengan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan/atau Hizbut Tahrir. Namun bukan berarti bahwa tidak ada perbedaan. Untuk saat ini, mereka masih bisa bersatu karena merasa menghadapi musuh bersama, yakni umat Islam moderat yang meno­ak formalisasi agama dan lebih menekankan spiritualitas dan keberagamaan substantif. Kelak, jika kelompok moderat telah be­rhasil dikuasai, mereka akan bertikai di antara mereka sendiri untuk merebut kekuasaan mutlak di tanah air kita. Alasan kedua, Wahabisasi global telah menjadi bisnis yang menggiurkan sehingga banyak aktivis telah memperoleh keuntungan finansial dari aksi-aksi yang mereka lakukan. Berpadunya ideologi, dana, dan sistem dalam gerakan garis keras ini membuat aksi-aksi mereka sangat berbahaya bagi tradisi keberagamaan bang-sa Indonesia sebagaimana juga bagi kelestarian Pancasila dan keutuhan NKRI.
Aspek lain yang harus mendapat perhatian serius adalah, jika pada masa Orde Lama dan Orde Baru gerakan garis keras berada di luar pemerintahan, dewasa ini telah menyusup jauh kedalamnya. Hal ini membuat mereka semakin berani dan berbahaya, karena usaha-usaha mengganti Pancasila dan mengubah NKRI bisa dilakukan melalui jalur parlementer di tingkat nasional maupun regional. Bahkan, aksi-aksi ilegal dan inkonstitusional yang mereka lakukan mendapat dukungan dan perlindungan dari pemerintah. Keberhasilan para aktivis garis keras menyusup kedalam pemerintahan ini, di samping karena kekuatan ideologi, dana, dan sistem yang mereka miliki, juga dimungkinkan oleh politisi oportunis yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi dan kelompoknya dan tanpa perasaan mengorbankan masa depan bangsa dan nega-ranya.
Fenomena ini tampak menguat dalam lima tahun terakhir ini, termasuk adanya beberapa departemen yang jelas-jelas berpihak pada kepentingan kelompok-kelompok garis keras. Apakah penguasa yang membiarkan hal ini terjadi adalah oportunis atau bukan, hanya Allah swt. yang tahu. Seandainya semata karena tidak menyadari sepenuhnya bahaya-bahaya yang mengancam bangsa dan negara kita, semoga Allah swt. mengilhami mereka agar mengutamakan kepentingan bangsa dan negara kita, dan berani menolak kelompok-kelompok garis keras yang memanfaatkan mereka dalam mencapai tujuan politiknya. Namun jika kedekatan mereka dengan kelompok-kelompok garis keras karena oportunisme, rakyat harus sadar dalam memilih pemimpin yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara kita.
Politisi oportunis sama berbahayanya dengan para aktivis gerakan garis keras sendiri. Mereka adalah orang-orang munafik yang bermuka ganda dan tampil sesuai dengan kepentingan dan keuntungan yang ingin diraihnya. Demikian pula perilaku partai oportunis. Jika kelompok-kelompok garis keras ingin berkuasa dan mengatur setiap aspek kehidupan manusia atas nama Allah swt., maka para oportunis ingin meraih dan melestarikan kekuasaan serta menumpuk kekayaan untuk diri dan kelompo­knya. Kepentingan bangsa dan negara, sebagaimana juga keluhuran pe­san agama, tidak punya tempat dalam agenda perjuangan mereka. Tidak ada secercah pun harapan masa depan yang lebih cerah dari kelompok-kelompok garis keras maupun partai dan politisi oportunis selain kekangan, larangan, dan serangkaian aturan yang akan membelenggu kebebasan dan kreativitas setiap orang, yang mereka lakukan untuk menjamin tercapainya ambisi politiknya.
Keterlibatan gerakan garis keras transnasional dan dana asing (Wahabi), di samping partai dan politisi oportunis, telah membuat fenomena gerakan garis keras di Indonesia menjadi cukup besar dan kompleks. Retorika mereka menjadi pengantar pada banyak aksi-asksi kekerasan atas nama agama. Penolakan ormas-ormas Islam moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah membuat gerakan garis keras menjadikan kedua ormas ini sebagai salah satu target utama infiltrasi mereka. Di samping karena kesetiaannya pada tradisi keberagamaan bangsa Indone­sia yang santun dan toleran, NU dan Muhammadiyah telah menerima Pancasila dan NKRI sebagai konsensus final bangsa Indonesia.
Para tokoh Islam moderat menilai gerakan garis keras sebagai akibat dangkalnya pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Persis karena alasan inilah mereka menolak dan menyerang spiritualitas karena tidak mengerti sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Maka usaha-usaha untuk melestarikan Pancasila dan keutuhan NKRI, sekaligus untuk menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil-'âlamin, harus dilakukan dengan cara-cara damai, bertanggung jawab, dan melalui jalur pendidikan dalam arti kata seluas-luasnya yang mencerahkan. Usaha-usaha ini bukan hanya kewajiban NU dan Muhammadiyah, melainkan semua komponen bangsa sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Dalam konteks era reformasi dan demokrasi ini sangat penting mengingat nasehat Syeikh Ibn 'Athaillah al-Sakandari dalam Hikam karyanya : "Janganlah bersahabat dengan siapa pun yang perilakunya tidak membangkitkan gairahmu mendekat kepada Allah dan kata-katanya tidak menunjukkanmu kepada-Nya" (lâ tash-hab man lâ yunhid- luka ilâ Allah hâluhu, wa la yahdîka ilâ Allâh maqâluhu). Perilaku dan perkataan para aktivis garis keras maupun politisi oportunis jelas membuat umat Islam semakin jauh dari Allah swt. Hal ini harus disadari dan diwaspadai oleh seluruh rakyat Indonesia.
SKPP Muhammadiyah No.149/Ke­p/I.0/B/20062 dan keputusan Bahtsul Masa'il NU tentang Khilafah Islamiyah, adalah usaha-usaha penyadaran secara struktural. Saat ini, beberapa pengurus Muhammadiyah dan NU telah mengambil sikap tegas terhadap infiltrasi garis keras kedalam organisasi mereka. Kedua ormas Islam moderat ini telah berusaha menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa kelompok-kelompok garis keras itu berbahaya karena membawa ideologi transnasional (asing) yang mengancam budaya dan tradisi keberagamaan bangsa Indonesia, mengancam Pancasila dan keutuhan NKRI. Menurut SKPP Muhammadiyah dan fatwa-fatwa NU, apa yang dilakukan organisasi-organisasi garis keras itu bukan gerakan dakwah, melainkan gerakan politik untuk tujuan meraih kekuasaan.

Rekomendasi Strategis
Ideologi dan agenda garis keras yang telah memanipulasi keyakinan umat Islam menyebabkan mereka sering bersikap dan bertindak brutal terhadap siapa pun yang tidak mendukung, apalagi yang menolak, pandangan mereka. Karena itu, usaha dalam mengatasi masalah ini membutuhkan orang-orang yang bersifat kesatria dan berani, yang tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah swt.
Dalam sejarah Nusantara, kita mengenal adanya para wali, resi, kesatria dan pemberani yang selalu tampil membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan. Keteladanan semacam ini terus mengilhami generasi demi generasi, dan para Pendiri Bangsa adalah di antaranya. Dewasa ini pun, tetap ada banyak orang Indonesia yang mewarisi sifat-sifat mulia tersebut. Mereka berjuang demi kebenaran dan keadilan dengan tetap setia pada falsafah hidup nenek moyang dan persatuan bangsa kita. Sayangnya, karena tidak terorganisasi, mereka sering merasa terpisah dan terisolir. Sementara pada saat yang sama para agen garis keras terus menyerang siapa pun yang mengajarkan dan melestarikan nilai-nilai luhur agama dan falsafah hidup nenek moyang kita. Dalam hal inilah kita perlu membangun gerakan yang mampu mengilhami dan mendukung mayoritas terbesar bangsa Indonesia yang selama ini diam (the silent majority) demi menyuarakan kebenaran agama dan tradisi nenek moyang kita. Dengan demikian, kelompok-kelompok garis keras tidak akan berhasil menguasai Indonesia, dan umat Islam moderat akan kembali mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara yang bisa menjadi jaminan bagi minoritas dan benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh makhluk.
Untuk melestarikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan menegakkan warisan luhur tradisi, budaya dan spiritualitas bangsa Indonesia, harus ada usaha-usaha terorganisasi untuk melaksanakan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
1. Mengajak dan mengilhami masyarakat dan para elit untuk bersikap te­rbuka, rendah hati, dan terus belajar agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran agama, dan menjadi jiwa-jiwa yang tenang.
2. Menghentikan dan memutus dengan cara-cara damai dan bertanggung jawab mata rantai penyebaran paham dan ideologi garis keras melalui pendidikan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) yang mencerahkan, serta mengajarkan dan mengamalkan pesan-pesan luhur agama Islam yang mampu menumbuhkan kesadaran sebagai hamba Tuhan yang rendah hati, toleran dan damai.
3. Menyadarkan para elit dan masyarakat bahwa paham dan ideologi garis keras yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan disebarkan oleh kaki tangan nya di Indonesia bertentangan dengan Islam serta tradisi, budaya dan corak keberagamaan bangsa Indonesia yang sejak lama bersifat santun, toleran, dan moderat.
4. Memperjuangkan, melestarikan dan mewujudkan Pancasila yang merefleksikan esensi syari'ah, serta me­yakinkan para elit dan masyarakat bahwa hal ini merupakan cara untuk mewujudkan Islam benar-benar sebagai rahmat Tuhan bagi seluruh makhluk, sebagaimana dicita-citakan oleh para Pendiri Bangsa.
5. Bekerjasama dengan para kyai spiritual untuk merevitalisasi Nahdlatul Ulama sesuai dengan paham Ahlussunnah wal Jamâ'ah, serta mohon dan mendukung kyai-kyai spiritual untuk memimpin NU. Dengan cara demikian, kelompok kelompok dan para agen garis keras akan sulit menyusup dan mempengaruhi ormas mode­rat ini; NU akan memban tu menghentikan penyusupan garis keras kepemerintahan, MUI, dan bidang-bidang strategis lainnya; membangun negara me­njadi lebih adil dan sejahte­ra; dan menjadi pelopor perjuangan membebaskan dunia dari krisis kesalahpahaman tentang Islam serta menyelamatkannya dari ancaman dan bahaya garis keras.
6. Bekerjasama dengan para ulama, intelektual, dan budayawan dari beragam disiplin dan keahlian, dari ormas-ormas Islam moderat, untuk memberikan informasi alternatif atas fatwa-fatwa MUI yang tidak sepenuhnya menyuarakan pe­an sejati Islam; dan dalam kerangka ini pula, mendorong proses istinbath hukum di lingkungan MUI dilakukan secara terbuka dan melibatkan para ulama di luar struktur keanggotaan MUI dari berbagai disiplin dan keahlian untuk berpartisipasi di dalamnya, agar instinbath hukum tidak dilakukan secara tertutup dan terbatas kepada orang-orang yang sealiran seperti lazim di lingkungan Wahabi atau sek-te­sekte yang fanatik.
7. Berkerjasama dan mendorong para praktisi pendidikan dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi untuk memperkenalkan dan mengajarkan kekayaan, keluhuran, dan arti penting warisan budaya dan tradisi bangsa Indonesia; mendorong otoritas dunia pendidikan dan para praktisi pendidikan, orangtua/wali murid, untuk kersikap kritis terhadap berbagai kegiatan dan pengajaran keagamaan di lingkungan mereka yang kerap digunakan sebagai sarana infiltrasi ideologi garis keras; mengkampanyekan life long study atau belajar seumur hidup agar bisa mengatasi kebodohan, khususnya dalam pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
8. Bekerjasama dengan para pengusaha untuk mendukung terwujudnya keadilan, keamanan, ketertiban, dan stabilitas sosial demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan sejahtera melalui institusi-institusi pemerintah dan masyarakat sipil; mengajak para pengusaha untuk menggunakan kekayaan mereka secara bijaksana, agar tidak pernah mendukung kelompok-kelompok garis keras maupun parpol dan/atau politisi oportunis yang bekerjasama dengan garis keras untuk mencapai agenda politiknya; kelompok-kelompok garis keras sangat khawatir jika para pengusaha memutuskan untuk melawan dan menghentikan mereka.
9. Mewujudkan institusi pemerintahan yang bersih, adil, dan taat hukum (the institutions of good governance and the rule of law), yang me­ngutamakan usaha-usaha untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan agar masyarakat dan negara bisa berkembang dan menjadi lebih maju secara nyata, dan agar jargon keadilan dan kesejahteraan tidak lagi menjadi komoditas politik kelompok-kelompok garis keras dalam usaha mencapai tujuan dan agenda politik mereka.
10. Menumbuhkan dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang pesan-pesan luhur agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh makhluk, dan memobilisasi tokoh-tokoh Indonesia yang ngurip-urip ngelmu (menghidupkan dan meng-amalkan warisan spiritual bangsa) untuk membantu umat manusia mengatasi krisis salah paham tentang Islam yang telah menyebar dari garis keras Timur Tengah ke Barat dan Timur serta melahirkan ancaman serius bagi non Muslim dan Muslim di seluruh dunia.
11. Membangun jaringan generasi cinta Merah-Putih yang akan mengilhami generasi muda mengenai arti penting sejarah, tradisi dan budaya nenek moyang bangsa sendiri, mendorong pemahaman tradisi dan budaya bangsa dalam konteks keagamaan secara utuh, menyeluruh dan mendalam. Dengan demikian gerakan dan ideologi asing seperti Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan lain-lain tidak akan menemukan celah untuk menyusup dan mencuci otak anak-anak bangsa.
12. Menumbuhkan keyakinan dan kebanggaan bahwa tradisi dan budaya bangsa sendiri sejalan dengan ajaran agama yang dianut bangsa Indonesia, walaupun Nusantara bu kan tempat turunnya agama-agama dimaksud; mendorong usaha-usaha pemahaman keagamaan, tradisi, dan budaya secara integral, mendalam dan menyeluruh agar anak-anak bangsa tidak mengadopsi tradisi dan budaya asing secara tidak cerdas dan dangkal yang sangat bernafsu melakukan pemusnahan kultural (cultural genocide) terhadap budaya Nusantara.
Apakah anak-anak cucu kita kelak akan mewarisi Indonesia yang tetap santun, toleran, damai, beradab, dan spiritual, kitalah yang menentukan pilihan.


EPILOG
BELAJAR TANPA AKHIR
A. Mustofa Bisri


Buku Ilusi Begara Islam ini bIsa dibaca dari sudut pandang politik dan pendidikan. Secara plitik, buku ini bisa menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia tentang adanya bahaya tersembunyi dalam gagasan dan usaha-usaha untuk mengubah Indonesia dari negara bangsa menjadi negara agama, Negara Islam. Hal ini tidak hanya berbahaya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bagi Islam sendiri. Bagi bangsa Indonesia , perubahan menjadi negara agama akan menjadi awal reduksi kekayaan budaya dan kebebasan beragama tidak hanya bagi non muslim melainkan juga bagi Muslim sendiri, bahkan distorsi terhadap Islam sendiri. Bagi non muslim, perubahan ini bisa membuat mereka mengalami alienasi psikologis dan sosial di sebuah ne­gara yang menganut keyakinan resmi berbeda dari keyakinan yang mereka anut. Sedangkan bagi Muslim, perubahan ini akan berarti penyempitan, pembatasan, dan hilangnya kesempatan untuk menafsirkan pesan-pesan agama sesuai dengan konteks sosial dan budaya bangsa Indonesia, dan setiap pembacaan yang berbeda dari tafsir resmi negara akan menjadi subversif dan harus dilarang.
Bagi Islam sendiri, formalisasi akan mengubahnya dari agama menjadi ideologi yang batas-batasnya akan ditentukan berdasarkan kepentingan politik. Islam yang semula bersifat terbuka dan luas, hidup layaknya organisma yang komunikatif dan interaktif dengan situasi dan kondisi para penganutnya, dan akan dibungkus dalam kemasan ideologis dan berubah menjadi monumen yang diagungkan tanpa peduli pada tujuan sejati dan luhur agama itu sendiri. Akhirnya, agama menjadi ghâyah, tujuan akhir, bukan lagi jalan sebagaimana semula ia diwahyukan. Keridlâan Allah yang merupakan ghâyah pun semakin jauh.
Usaha-usaha menjadikan Islam sebagai ideologi dan mewujudkan Negara Islam boleh jadi disebabkan adanya semangat yang berlebihan namun tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai. Semangat yang berlebihan dapat mendorong seseorang untuk memutlakkan pengetahuan yang dicapai, sekalipun bersifat parsial. Akibatnya, pengetahuan lain yang berbeda dipandang sebagai salah dan harus ditolak. Menarik membandingkan pemahaman parsial ini dengan hikayat "Meraba Gajah dalam Gelap," lima orang yang berselisih tentang gajah semata karena mereka masing-masing merabanya dalam gelap, dalam terbatasnya jangkauan pengetahuan, dan dalam ketiadaan cahaya (hidâyah).
Bagi siapa pun yang mengerti sepenuhnya tentang gajah, sungguh menggelikan mendengar kelima orang itu terus berselisih, bersikeras memaksakan definisinya tentang gajah berdasarkan hasil rabaan yang dilakukannya. Sialnya lagi, karena memang tidak percaya diri dengan pengetahuan yang dicpainya, ada di antara mereka yang berusaha menjadikan pemahamannya tentang gajah sebagai madzhab resmi, sementara pemahaman rekannya yang berbeda, karena menjadi ancaman bagi pandangan resminya, dipandang sebagai subversif dan harus dibungkam.
Tidak berhenti di situ saja. Karena semangat yang berlebihan dan merasa mengamalkan sabda Nabi, "Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat," kembali kehikayat gajah ada saja yang bersike­ras dan memaksa orang lain mengakui bahwa gajah seperti pohon, atau ayunan, atau tembok, atau pecut, atau kipas. Atau, dalam realitas interaksi social religius, Islam direduksi menjadi ideologi dan seperangkat konklusi hukum semata, yang hanya mewakili sebagian kecil aspek ajaran Islam sendiri. Semangat menyampaikan dari Rasulullah SAW yang terlalu besar, ternyata sering membuat orang memahami sabda beliau itu hanya menjadi "Sampaikan dariku cukup satu ayat saja." Dan semakin parah lagi bila yang bersangkutan menganggap bahwa satu ayat yang dimilikinya itu adalah satu-satunya kebenaran yang harus disampaikan kemana-mana dengan mempersetankan ayat-ayat lainnya.
Andai masing-masing terus belajar, saling mendengarkan dengan yang lain, tentu pemahaman mereka akan lebih baik dan lengkap. Karena sebenarnya, kebenaran kita berkemungkinan salah, dan kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Siapa pun yang telah tertutup mata hatinya antara lain karena merasa diri paling pintar dan paling benar tidak akan mampu melihat pemahaman lain yang berbeda, yang tersisa adalah arogansi (takabbur) dan penolakan terhadap yang lain. Ketika arogansi dimulai, ketika mendengarkan orang lain diakhiri, ketika belajar dihentikan, maka kebodohan dimulai, suatu keadaan yang sangat berbahaya bagi yang bersangkutan dan seluruh umat manusia.
Kebodohan adalah bahaya tersembunyi yang ada dalam setiap orang, mengatasinya adalah dengan terus belajar dan terus mendengarkan orang lain. Karena kebodohan pula ada orang-orang yang berusaha menyenangkan Nabi dengan hanya meniru penampilan lahiriahnya namun mengabaikan aspek khulûqiyahnya; ada yang ingin menyenangkan Tuhan dengan membangun negara agama namun mengubah agama itu sendiri dari semula sebagai jalan kemudian menjadi tujuan akhir. Mereka berpikir, Kanjeng Nabi Muhammad saw., akan bahagia jika umatnya memakai busana sebagaimana beliau pakai empat belas abad yang lalu; Mereka berpikir, Allah swt. akan senang (ridlâ) jika Islam dijadikan ideologi resmi negara dan hamba-Nya me­mbangun negara agama, Negara Islam. Dalam hal inilah mereka lupa bahwa Kanjeng Nabi Muhammad saw. telah menegaskan diri bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, akhlak yang luhur (innamâ bu'itstu li utammima makârim al-akhlâq), mereka juga lupa bahwa satu-satunya prinsip dan tujuan diutusnya Rasûl Allâh adalah sebagai rahmat bagi seluruh makhluk (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil-'âlamîn). Bahkan, dengan berdalih untuk menegakkan rahmat ini pun, ada saja yang berusaha memaksa orang lain masuk kedalam apa yang mereka anggap rahmat; sebuah tindakan yang dari sudut pandang mana pun se­benarnya bertentangan dengan semangat rahmat itu sendiri.
Dalam konteks pendidikan dan dalam konteks nilai-nilai luhur pesan utama Islam ini, buku Ilusi Negara Islam ini membawa pesan pendidikan yang sangat jelas dan tegas. Bahaya laten atau bahaya tersembunyi yang sebenarnya dari gagasan pembentukan Negara Islam adalah kekurangtahuan yang dibarengi dengan anggapan kesempurnaan pengetahuan. Jika semua orang terus belajar dan mau mendengarkan yang lain, maka mereka akan semakin baik dan menyeluruh dalam memahami Islam, mereka tidak akan mereduksi Islam menjadi idelogi atau tata negara. Mereka akan tahu bahwa Islam tidak cukup dikemas dalam ideologi, tidak memadai dibungkus dalam sekat-sekat tata negara. Karena itu, gagasan penting dalam buku ini adalah perjuangan untuk terus mendorong setiap orang agar terus belajar, perjuangan untuk melawan kebodohan, perjuangan untuk mendorong setiap orang agar terus membuka diri kepada siapa pun, perjuangan untuk membebaskan setiap orang agar keluar dari kotak-kotak ideologis dan kotak-kotak dogmatis yang selama ini membelenggu mereka dan telah menjebak mereka memahami ajaran luhur agama hanya sebatas pesan yang bisa ditampung oleh kotak yang mereka bangun.
Sekali lagi, ketidaktahuan bisa diatasi dengan melihat, mende­ngar, dan memperhatikan. Dengan terus belajar. Yang sungguh sulit dan menjadi masalah adalah jika orang tidak lagi memerlukan belajar dan mencari kebenaran karena merasa sudah sempurna pengetahuannya dan menganggap diri paling benar. Siapa pun mungkin akan sepakat bahwa kebodohan adalah sesuatu yang sangat berbahaya, namun tidak setiap orang sadar akan bahaya laten kebodohan dalam dirinya sendiri.

WaLlâhu A'lam.

Re­mbang, 9 Pe­bruari 2009