Selasa, 12 April 2011

MAKALAH JURNAL EVALUASI MATEMATIKA

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Jurnal Evaluasi Matematika”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas Terstruktur dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Statistika Dasar di IAIN Syekh Nurjati Cirebon .
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
1. Bapak Ondi Soandi, M.Pd. Selaku Dosen mata kuliah statistic dasa
2. Rekan-rekan semua Mahasiswa dan Mahasiswi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
3. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada kami, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.

Cirebon, ……..20 …..
Penulis


( ………………)


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………. 3
A. Kekuatan Berfikir Konsep Evaluasi Matematika ………………………. 3
B. Mempelajari Konsep Evaluasi Matematika …………………………….. 5
C. Cara Menyatakan Konsep dalam Jurnal Evaluasi Matematika ……………. 9
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………... 13
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….... 14

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan formal bertambah dari tahun ke tahun. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi bangsa indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan formal pada setiap jenjang pendidikan. Usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak guru yang menggunakan pendekatan tradisional dalam pembelajaran matematika sehingga siswa belum terarahkan untuk memahami sendiri konsep-konsep matematika yang sedang dipelajari. Pendekatan tradisional tersebut belum mampu mengembangkan kemampuan kognitif (penalaran), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan) seperti yang digariskan dalam GBPP. Dengan demikian siswa hanya cenderung menghafalkan konsep-konsep matematika yang dipelajarinya tanpa memahami dengan benar. Akibatnya penguasaan terhadap konsep-konsep matematika siswa menjadi sangat kurang. Selain itu guru sebagai pemberi informasi cenderung mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas sehingga tidak terjadi hubungan timbal balik antar guru dan siswa yang berimplikasi terhadap kualitas pembelajaran dalam proses belajar mengajar matematika.

B. Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan pembelajaran konsep jurnal evaluasi matemátika, seorang guru dituntut untuk mengajarkannya secara hirarkis, yaitu sebelum mengajarkan konsep evaluasi lanjutan terlebih dahulu harus mengajarkan konsep evaluasi matematika yang mendahuluinya. Konsep evaluasi yang telah dipahami dengan baik oleh siswa dapat digunakan untuk mendapatkan konsep-konsep evaluasi matematika baru dengan memodifikasi konsep-konsep evaluasi matematika sebelumnya. Oleh karena itu, penguasaan konsep dalam jurnal evaluasi matemátika merupakan salah satu faktor pendukung bagi tumbuhnya sikap kreatif pada siswa yang sangat dibutuhkan dalam keterampilan menyelesaikan soal dan keterampilan memecahkan masalah.
Dalam makalah yang berjudul “ JURNAL EVALUSAI MATEMATIKA ” hanya membahas 3 pokok bahasan yakni :
A. KEKUATAN BERFIKIR KONSEP EVALUASI MATEMATIKA
B. MEMPELAJARI KONSEP EVALUASI MATEMATIKA
C. CARA MENYATAKAN KONSEP DALAM JURNAL EVALUASI MATEMATIKA
Tiga permasalahan diatas mengakibatkan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep evaluasi matematika yang dipelajarinya menjadi kurang. Oleh karena itu diperlukan pendekatan pembelajaran yang lebih sesuai yaitu pendekatan keterampilan proses. Pendekatan keterampilan proses dapat diartikan sebagai suatu pendekatan belajar yang memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KEKUATAN BERFIKIR KONSEP EVALUASI MATEMATIKA
Elaine & Sheila dalam makalah matrikulasi (Nurdin 2007:2) mengemukakan bahwa pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah berpikir tentang berpikir. Pengetahuan metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang bagaimana seseorang belajar dan memproses informasi, seperti pengetahuan seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognisi secara umum, seperti kesadaran diri dan pengetahuan tentang kognitif diri sendiri. Pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif.
Pengetahuan tentang kognitif terdiri dari informasi dan pemahaman yang dimiliki seorang pebelajar tentang proses berpikirnya sendiri disamping pengetahuan tentang berbagai strategi belajar untuk digunakan dalam situasi pembelajaran tertentu. Misalnya, seseorang dengan tipe belajar visual mengetahui bahwa membuat suatu peta konsep merupakan cara terbaik baginya untuk memahami dan mengingat sejumlah besar informasi baru.(Mohamad Nur 2000).
Menurut Piaget (Dahar, 1988: 181), perkembangan intelektual melibatkan dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan organisme kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistim-sistim yang teratur dan berhubungan dengan struktur-struktur. Adaptasi adalah kecenderungan untuk menyesuaikan diri. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang lain. Adaptasi terhadap keadaan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah/informasi yang dihadapi dalan keadaannya. Artinya, jika informasi baru cocok dengan skemata yang dimiliki peserta didik, maka informsi baru itu diasimilasikan langsung dengan struktur yang ada. Sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan keadaannya. Artinya, jika informasi baru tidak cocok dengan skemata yang dimiliki peserta didik, maka terjadi ketidakseimbangan sehingga peserta didik harus berusaha dengan bantuan guru merubah struktur kognitifnya sedemikian sehingga terbentuk skemata baru atau memodifikasi skemata yang sudah ada sehingga informasi baru cocok dengan skemata tersebut dan selanjutnya diasimilasikan.
Berkaitan dengan berpikir konsep matematika, maka perlu untuk mengetahui pengertian konsep terlebih dahulu. Menurut Gagne, konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan mengelompokkan benda-benda kedalam contoh dan non contoh (Ruseffendi, 1988:157). Sedangkan matemátika itu mempelajari tentang pola keteraturan, maka untuk mempelajarinya pertama-tama kita mencoba mengklasifikasi obyek-obyek. Dalam memproses klasifikasi ini konsep-konsep dasar matemátika terbentuk.
Berdasarkan pemahaman diatas, maka berpikir matematik merupakan kegiatan mental, yang dalam prosesnya selalu menggunakan abstraksi dan/ atau generalisasi, sebab seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental dan orang yang relajar matemátika mesti melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir itu, orang itu menyusun hubungan-hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah direkam didalam pikiran orang itu sebagai pengertian-pengertian. Dari pengertian tersebut terbentuklah pendapat yang pada akhirnya ditariklah kesimpulan. Tentunya kemampuan berpikir seseorang itu dipengaruhi oleh inteligensinya. Dengan demikian terlihat adanya kaitan antara inteligensi dengan proses belajar matemátika.
Abstraksi merupakan proses untuk menyimpulkan hal-hal yang sama dari sejumlah obyek atau situasi yang berbeda. Suatu himpunan disusun dari beberapa unsur yang kemudian dapat ditetapkan apakah suatu unsur itu menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dari himpunan itu.
Generalisasi menunjukkan pembentukan dari himpunan ke himpunan. Terdapat dua macam generalisasi. Yang pertama adalah generalisasi primitif, yaitu dari statu himpunan diperluas menjadi himpunan yang lain sedemikian hingga himpunan yang pertama tadi menjadi himpunan bagian dari himpunan yang kedua. Jadi apabila himpunan A menjadi himpunan B dan AB, dikatakan B merupakan generalisasi primitif dari A. Generalisasi yang kedua adalah geeralisasi matematik. Suatu himpunan B merupakan suatu generalisasi matematik himpunan A, jika B memuat isomorfisma bayangan A untuk relasi yang ditetapkan. Jadi disini himpunan A dan B mungkin saja masing-masing memuat unsur yang saling berbeda asalkan B memuat bayangan (image)A.
Matemátika yang merupakan suatu kumpulan dari sistem simbolik abstrak yang saling berkaitan itu mempunyai kekuatan yang menakjubkan. Dengan kita sekedar memanipulasi simbol-simbol kita dapat menyimpulkan sesuatu secara sahih. Kesahihan ini kita peroles melalui penalaran deduktif statu cara berpikir matemátika.
Pada hakekatnya landasan berpikir matematik itu merupakan kesepakatan-kesepakatan yang disebut aksioma. Dengan aksioma-aksioma inilah matemátika berkembang menjadi banyak cabang matemátika. Karena matematika itu landasannya adalah aksioma-aksioma, maka matematika merupakan sistem aksiomatik. Dalam sistem yang aksiomatik ini, kumpulan aksioma-aksioma itu adalah taat azas (consistent) dan hubungan antar aksioma adalah saling bebas.

B. MEMPELAJARI KONSEP EVALUASI MATEMATIKA
1. Karakteristik Matematika
Ciri-ciri khusus atau karakteristik yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum adalah:
a. Memiliki objek kajian abstrak
Adapaun objek dasar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Fakta (abstrak)
Fakta ( Abstrak ) berupa konvensi-konvensi yang diungkap dengan simbol tertentu. Simbol bilangan “3” sudah dipahami sebagai bilangan “tiga”. Jika disajikan angka “3” orang sudah dengan sendirinya menangkap maksudnya yaitu “tiga”. Sebaliknya kalau seseorang mengucapakan kata “tiga” dengan sendirinya dapat disimbolkan dengan “3”. Fakta lain dapat terdiri atas rangkaian simbol, misalnya “3+4” yang dipahami sebagai “tiga tambah empat”. Demikian juga “3×5=15” adalah fakta yang dipahami sebagai “tiga kali lima adalah limabelas”. Fakta yang agak lebih komplek adalah “3×5 = 5 +5 +5 ”. Dalam geometri juga terdapat simbol-simbol tertentu yang merupakan konvensi, misalnya “ // ” yang bermakna “sejajar”, “O” yang bermakna “ lingkaran” dan sebagainya.

2. Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek, apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau bukan. “segitiga” adalah nama suatu konsep abstrak. Dengan konsep itu sekumpulan objek dapat digolongkan sebagai contoh atau bukan contoh. “Bilangan asli” adalah nama suatu konsep yang lebih komplek. Dikatakan lebih komplek karena bilangan asli terdiri atas banyak banyak konsep sederhana yaitu bilangan “satu”, “dua”, “tiga”, dst. Dalam matematika terdapat konsep yang amat penting yaitu “fungsi”, “variabel” dan “konstanta”. Konsep tersebut, seperti halnya dengan bilangan, terdapat semua cabang matematika. Banyak konsep lain dalam matematika yang sifatnya lebih kompleks misalnya “matriks”, “vektor”, “group” dan ruang metrik”.

3. Operasi (abstrak)
Operasi (abstrak) adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar dan pengerjaan matematika yang lain. Sebagai contoh misalnya “penjumlahan”, “perkalian”, “gabungan”, “irisan”. Unsur-unsur yang dioperasikan juga abstrak. Pada dasarnya operasi dalam matematika adalah suatu fungsi yaitu relasi khusus, karena operasi adalah aturan untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui.

4. Prinsip (abstrak)
Prinsip (abstrak) adalah objek matematika yang komplek. Prinsip dapat terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi ataupun operasi. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa prinsip adalah hubungan antara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa “aksioma”, “teorema”, “sifat” dan sbagainya.

b. Bertumpu pada kesepakatan
Dalam matematika kesepakatan merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma dan konsep primitif. Aksioma diperlukan untuk menghindarkan berputar-putar dalam pembuktian. Sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindarkan berputar-putar dalam pendefinisian. Aksioma juga disebut sebagai postulat (sekarang) ataupun pernyataan pangkal (yang sering dinyatakan tidak perlu dibuktikan). Beberapa aksioma dapat membentuk suatu sistem aksioma, yang selanjutnya dapat menurunkan berbagai teorema. Dalam aksioma tentu terdapat konsep primitif tertentu. Dari satu atau lebih konsep primitif dapat dibentuk konsep baru melalui pendefinisian.

c. Berpola pikir deduktif
Dalam matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus”. Pola pikir deduktif ini dapat terwujud dalam bentuk yang amat sederhana tetapi juga dapat terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana.
Contoh: Banyak teorema dalam matematika yang “ditemukan” melalui pengamatan-pengamatan khusus, misalnya Teorema Phytagoras. Bila hasil pengamatan tersebut dimasukkan dalam suatu struktur matematika tertentu, maka teorema yang ditemukan itu harus dibuktikan secara deduktif antara lain dengan menggunakan teorema dan definisi terdahulu yang telah diterima dengan benar.
Dari contoh prinsip diatas, bahwa urutan konsep yang lebih rendah perlu dihadirkan sebelum abstraksi selanjutnya secara langsung. Supaya hal ini bisa bermanfaat, bagaimanapun, sebelum kita mencoba mengkomunikasikan konsep yang baru, kita harus menemukan apa kontribusi konsepnya; dan begitu seterusnya, hingga kita mendapat konsep primer yang lain.

d. Memiliki simbol yang kosong dari arti.
Dalam matematika jelas terlihat banyak sekali simbol yang digunakan, baik berupa huruf ataupun bukan huruf. Rangkaian simbol-simbol dalam matematika dapat membentuk suatu model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, bangun geometri tertentu, dsb. Huruf-huruf yang digunakan dalam model persamaan, misalnya x + y = z belum tentu bermakna atau berarti bilangan, demikian juga tanda + belum tentu berarti operasi tamba untuk dua bilangan. Makna huruf dan tanda itu tergantung dari permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya model itu. Jadi secara umum huruf dan tanda dalam model x + y = z masih kosong dari arti, terserah kepada yang akan memanfaatkan model itu. Kosongnya arti itu memungkinkan matematika memasuki medan garapan dari ilmu bahasa (linguistik).

e. Memperhatikan semesta pembicaraan
Sehubungan dengan penjelasan tentang kosongnya arti dari simbol-simbol dan tanda-tanda dalam matematika diatas, menunjukkan dengan jelas bahwa dalam memggunakan matematika diperlukan kejelasan dalam lingkup apa model itu dipakai. Bila lingkup pembicaraanya adalah bilangan, maka simbol-simbol diartikan bilangan. Bila lingkup pembicaraanya transformasi, maka simbol-simbol itu diartikan suatu transformasi. Lingkup pembicaraan itulah yang disebut dengan semesta pembicaraan. Benar atau salahnya ataupun ada tidaknya penyelesaian suatu model matematika sangat ditentukan oleh semesta pembicaraannya.
Contoh: Dalam semesta pembicaraan bilangan bulat, terdapat model 2x = 5. Adakah penyelesaiannya? Kalau diselesaikan seperti biasa, tanpa menghiraukan semestanya akan diperoleh hasil x = 2,5. Tetapi kalu suda ditentukan bahwa semestanya bilangan bulat maka jawab x = 2,5 adalah salah atau bukan jawaban yang dikehendaki. Jadi jawaban yang sesuai dengan semestanya adalah “tidak ada jawabannya” atau penyelesaiannya tidak ada. Sering dikatakan bahwa himpunan penyelesaiannya adalah “himpunan kosong”.

f. Konsisten dalam sistemnya.
Dalam matematika terdapat banyak sistem. Ada sistem yang mempunyai kaitan satu sama lain, tetapi juga ada sistem yang dapat dipandang terlepas satu sama lain. Misal sistem-sistem aljabar, sistem-sistem geometri. Sistem aljabar dan sistem geometri tersebut dapat dipandang terlepas satu sama lain, tetapi dalam sistem aljabar sendiri terdapat beberapa sistem yang lebih “kecil” yang terkait satu sama lain. Demikian juga dalam sistem geometri, terdapat beberapa sistem yang “kecil” yang berkaitan satu sama lain.
Suatu teorema ataupun suatu definisi harus menggunakan istilah atau konsedp yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Konsistensi itu baik dalam makna maupun dalam hal nilai kebenarannya. Kalau telah ditetapkan atau disepakati bahwa a + b = x dan x + y = p, maka a + b + y haruslah sama dengan p.

C. CARA MENYATAKAN KONSEP DALAM JURNAL EVALUASI MATEMATIKA
Belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi. Menurut Hudojo (1990:4) mempelajari konsep B yang mendasarkan kepada konsep A, seseorang perlu memahami lebih dulu konsep A. Tanpa memahami konsep A, tidak mungkin orang itu memahami konsep B. Ini berarti, mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu.
Karena matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol, maka konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu.
Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui oleh orang itu. Karena itu untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar materi matematika tersebut.
Menurut Coney, dan telah diuraikan oleh (Suradi,1992; Darwis,1992; Awi 2005) ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam mengajarkan konsep matematika, khususnya pada siswa yang berada pada tahap berpikir operasi formal, yaitu:
1) Pendefinisian (defining).
Membuat definisi adalah langkah yang baik karena definisi menggunakan bahasa yang singkat tetapi padat dan terstruktur. Dalam mengajarkan definisi sebaiknya dibuat blok-blok untuk dipelajari, karena mungkin beberapa siswa tidak dapat memahami rangkaian kata penting yang dapat diambil dari definisi. Untuk itu, definisi seringkali ditulis dalam bentuk penjelasan seperti : ……I……. Adalah………II………sehingga………III……. I : diisi istilah yang didefinisikan, II : diisi istilah yang merupakan superset dari kumpulan objek dari istilah yang didefinikan, dan III : diisi satu atau lebih kondisi yang membedakan istilah yang didefinisikan dengan supersetnya.

2) Menyatakan syarat cukup.
Misal, suatu fungsi f yang didefinisikan pada D, yaitu: jika maka f satu-satu, dapat dikatakan bahwa syarat cukup supaya suatu fungsi satu-satu adalah . Dari contoh ini kita dapat melihat gaya bahasa dari syarat cukup, yaitu “jika” selain itu juga kadang digunakan: asalkan, sebab, karena, dengan alasan. Dengan logika syarat cukup, siswa diharapkan mampu mencari contoh objek yang dinyatakan oleh konsep, sehingga langkah syarat cukup memudahkan penerapan dari konsep.

3) Memberi contoh.
Contoh-contoh adalah objek-objek yang ditunjuk oleh konsep, yaitu anggota-anggota himpunan yang ditentukan oleh konsep tersebut. Hal ini sangat penting, karena dengan contoh dapat memperjelas siswa tentang konsep yang dipelajarinya. Untuk itu contoh diharapkan contoh yang dipilah adalah yang sederhana, kemudian siswa dituntun untuk mencari contoh-contah sendiri.

4) Memberi contoh disertai alasannya.
Pemberian contoh yang disertai alasan releven dengan penyajian syarat cukup. Dengan kata lain, alasan yang dikemukakan tidak lain adalah syarat cukup dari definisi. Selain itu, contoh yang dibuat sisiwa tidak dibuat secara spekulatif dan menghindari unsur tebakan. Cara ini sangat membantu bagi siswa yang lamban, dimana umumnya sulit mengerti hubungan logika antara syarat cukup suatu konsep dengan contoh.

5) Memberi kesamaan atau perbedaan objek yang dinyatakan konsep.
Cara ini menuntun siswa agar dapat membandingkan objek-objek yang diamati. Jadi dalam mengajarkan suatu konsep, sedang konsep tersebut mempunyai kesamaan/perbedaan dengan konsep lain, maka sebaiknya dituntun siswa untuk mengemukakan persamaan/perbedaan yang ada, sehingga siswa benar-benar memahami konsep yang dipelajari itu dengan sebaik-baiknya.

6) Memberi suatu contoh penyangkal.
Yaitu contoh yang digunakan untuk menyangkal kesalahan generalisasi atau definisi. Misal seorang siswa mentakan bahwa trapesium adalah segi empat yang mempunyai sepasang sisi yang sejajar. Salah seorang temannya diminta menggambarkan persegi atau persegi panjang di papan tulis. Lalu guru bertanya: apakah gambar-gambar itu mempunyai dua sisi yang sejajar? Jawaban yang diharapkan adalah “ya”. Segera guru bertanya lagi, apakah gambar tersebut merukan trapesium, sesuai dengan definisi yang telah dipelajari (bukan definisi yang diberikan oleh temanmu tadi)? Jawaban yang diharapkan adalah “bukan”. Gambar yang diberikan siswa tadi mereupakan contoh penyangkal dari pendefinisian trapesium yang dikemukakan siswa sebelumnya.

7) Menyatakan syarat perlu.
Untuk menunjukan pernyataan merupakan suatu syarat perlu, biasanya digunakan tanda linguistik “harus” atau “hanya jika”. Misal sebuah segiempat jajaran genjang hanya jika (harus) kedua pasang sisi yang berlawanan sejajar. Syarat perlu sangat berguna untuk menghindari kesalahpahaman konsep, karena dengan syarat perlu kita dapat mengidentifikasi contoh objek yang tidak dinyatakan oleh konsep.

8) Menyatakan syarat perlu dan cukup.
Untuk menyatakan objek suatu konsep mempunyai syarat perlu dan cukup biasanya digunakan kata “jika dan hanya jika”, dengan menyatakan syarat perlu dan cukup memungkinkan siswa menguasai konsep dengan baik, karena syarat cukup dapat mengidentifikasi contoh , sedangkan syarat perlu dapat mengidentifikasi bukan contoh. Siswa mungkin tidak dapat menangkap adanya syarat perlu dan cukup dalam kalimat segi banyak beraturan adalah sama sisi dan sama sudut, lain halnya dalam kalimat segi banyak adalah beraturan jika dan hanya jika dia sama sisi dan sama sudut. Jadi syarat perlu menjadi segi banyak beraturan adalah sama sisi dan sama sudut, dan konjungsinya merupakan syarat cukup.

9) Memberi bukan contoh.
Bukan contoh suatu konsep adalah objek yang tidak termasuk dalam kumpulan yang ditentukan konsep. Bukan contoh biasanya diberikan jika siswa melupakan satu atau lebih syarat perlu dari konsep suatu objek.

10) Memberi bukan contoh disertai alasan.
Langkah ini setara dengan memberi contoh disertai dengan alasan bahwa ini adalah contoh. Alasan yang menyertai bukan contoh adalah kegagalan untuk dipenuhinya syarat perlu.

Lebih lanjut lagi, misalnya didalam matemátika, untuk menjabarkan operasi hitung (semesta pembicaraan bilangan real), urutan operasi adalah “+”, “-”, “X” dan “ : ”. Namun dalam psikologi kognitif urutan yang direkomendasikan adalah operasi “+”, “X” , “-”, dan “ : ”. Ditinjau dari psikologi operasi “X” akan lebih mudah dipahami peserta didik setelah ia mempunyai pengalaman belajar operasi “+” yang kemudian langsung dipergunakan untuk mendapatkan konsep operasi “X” dari pada setelah memahami operasi “+” kemudian operasi “-”. Operasi “+” yang kemudian diberikan operasi “-” akan terjadi kesenjangan kognitif sehingga sulit untuk dipahami, sedang ditinjau dari matematika, operasi “-” merupakan invers dari operasi “+” perlu segera dikaitkan. Demikian pula penjelasan urutan dua operasi yang lain.
Dari uraian diatas, nampak bahwa hirarki belajar (psikologi) tidaklah selalu seiring dan sejalan dengan matematika. Dalam menghadapi situasi demikian, pengajar matematika harus menentukan pilihannya. Pilihan mana yang dipilih merupakan keputusan yang menentukan bagaimana bentuk kegiatan mengajarnya.

BAB III
KESIMPULAN

Berpikir matematik merupakan kegiatan mental, yang dalam prosesnya selalu menggunakan abstraksi dan/ atau generalisasi, dan tentunya kemampuan berpikir seseorang itu dipengaruhi oleh inteligensinya. Dengan demikian terlihat adanya kaitan antara inteligensi dengan proses belajar matemátika.
Pada hakekatnya landasan berpikir matematik itu merupakan kesepakatan-kesepakatan yang disebut aksioma. Karena matematika itu landasannya adalah aksioma-aksioma, maka matematika merupakan sistem aksiomatik. Dalam sistem yang aksiomatik ini, kumpulan aksioma-aksioma itu adalah taat azas (consistent) dan hubungan antar aksioma adalah saling bebas.
Ciri-ciri khusus atau karakteristik yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum adalah:
a. Memiliki objek kajian abstrak,
b. Bertumpu pada kesepakatan
c. Berpola pikir deduktif
d. Memiliki simbol yang kosong dari arti
e. Memperhatikan semesta pembicaraan
f. Konsisten dalam sistemnya.
Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam mengajarkan konsep matematika, khususnya pada siswa yang berada pada tahap berpikir operasi formal, yaitu:
1) Pendefinisian (defining),
2) Menyatakan syarat cukup
3) Memberi contoh
4) Memberi contoh disertai alasannya
5) Memberikan kesamaan atau perbedaan objek yang dinyatakan konsep
6) Memberi suatu contoh penyangkal
7) Menyatakan syarat perlu
8) Menyatakan syarat perlu dan cukup
9) Memberi contoh
10) Memberi bukan contoh disertai alasan.

DAFTAR PUSTAKA

• ………Formasi Konsep-Konsep Matemátika.(Terjemahan Bab 2. The Formation of Concepts (The Psychology of Learning Mathematics)……….
• Awi. (2005). Penelusuran Kesulitan Siswa Sekolah Dasar dalam Belajar Konsep-Konsep Geometri Ditinjau dari Karakteristik Kognitif.(Makalah).
• Hudojo H. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matemátika .Malang: IKIP
• Nurdin. (2007). Metakognisi dalam Pembelajaran Matemátika.(Makalah Matrikulasi )
• Soedjadi, 2000. Kiat Pendidikan Matemátika di Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

2 komentar: