Dapatkah karya sastra menjadi salah satu faktor determinan perubahan dalam masyarakat , khususnya para siswa . sepanjang perjalanan sastra Indonesia , penguasa baik pemerintah kolonial maupun pemerintah republik Indonesia, selalu memperlihatkan sikap curiga dan bahkan takut pada karya sastra. Mereka malah pernah melarang peredaran sejumlah buku sastra , tidak memberikan izin atau bahkan menghentikan suatu pergelaran sastra atau teater.
Tidakkah itu menandakan bahwa sastra di anggap penting oleh pihak-pihak penguasa karena di andaikan akan melahirkan suatu “perubahan” yang tidak mereka sukai.
Sementara itu, sebagaimana di katakana oleh Sutardji Calzoum Bachri dulu yang di sampaikan dalam sebuah artikel bahwa teks sumpah pemuda yang turut membangun imajinasi, perasaan sebangsa pada dasar nya sebentuk ”puisi” yang di tulis Muhammad Yamin.
Kita tahu bahwa teks sumpah pemuda tidak berbeda jauh dengan puisi-puisi Muhammad Yamin, baik dari segi isi, pilihan kata atau biasa di sebut dengan diksi, susunan larik,rima maupun komposisi nya, dan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, sumpah pemuda adalah tonggak awal terjadi nya “perubahan” pada masyarakat Indonesia.
Dari contoh tersebut di atas adalah bukti karya sastra berperan dan menjadi faktor penting terjadi nya perubahan sosial masyarakat khususnya pada kalangan anak-anak sekolah.
Maka dari itu, mari kita telaah seberapa pentingnya peranan karya sastra untuk menjadi sebuah pemahaman bagi anak-anak sekolahan.
Karya sastra pada hakikatnya mempunyai unsur menghibur, sebab karya sastra merupakan sebuah karya dari para sastrawan yang dapat dinikmati oleh masyarakat.
Karya sastra terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya puisi ,prosa , dan drama. Telah banyak sastrawan dengan karya-karyanya yang bagus dapat menarik minat masyarakat untuk melirik karya sastra tersebut.
Seperti novel-novel yang dikarang oleh ‘Habiburrahman El-Shirazy ‘yany beberapa diantaranya berjudul “Ayat-ayat Cinta “dan “Ketika Cinta Bertasbih “,telah menjadi novel yang mampu menarik masyarakat untuk membacanya, bukan hanya ratusan bahkan ribuan.
Setelah mampu menjadi novel yang begitu menarik antusias para pembaca , kemudian diapresiasikanlah novel tersebut menjadi sebuah drama. Selain dari karya-karya sastra di zaman ini sebenarnya sudah ada para sastrawan dulu yang karyanya masih hidup dan dapat dinikmati oleh kita. Seperti puisi “Aku “yang dikarang oleh Chairil Anwar, masih banyak yang bisa membacanya.
Puisi Aku biasanya terdapat pada buku-buku mata pelajaran sastra indinesia dan buku-buku tentang kesusastraan. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui bahwa anak-anak sekolah , kurang menaruh minat pada karya-karya sastra.
Padahal di dalam sebuah karya sastra, selain ,mempunyai unsur menghibur, terdapat pula unsur-unsur lainya seperti pendidikan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Mungkin hal ini terjadi karma sifat anak sekolah biasanya lebih suka meniru-niru atau mengikuti perkembangan zaman.
Memang hal sewajarnya jika mungkin anak-anak sekolahan merasa jemu saat mempelajari tentang karya-karya sastra , sebab karya sastra selalu berisi pemikiran , gagasan, kisahan, dan amanat yang di komunikasikan kepada pembaca.
Untuk menangkap ini, pembaca harus mampu mengapresiasikannya. Biasanya untuk mengapresiasikanya diperlukan pemahaman yang mendalam tentang sebuah karya sastra.
Dalam konteks apresiasi terhadap karya sastra pengajar dan siswa sebagai peserta didik bolehlah sama-sama masuk menjadi apresiator. Namun seperti yang di sebutkan tadi bahwa anak-anak sekolahan atau siswa kurang menaruh minat pada karya sastra, kali ini mempersulit memberikan pemahaman bagaimana pengapresiasiannya. Maka dari itu perlu kita tela’ah apa sebenarnya menjadi penyebab kurangnya minat anak sekolahan terhadap sebuah karya sastra.
• Pertama yang menjadi faktor utama adalah rendahnya budaya baca. Budaya membaca terlalu sulit untuk dapat di tumbuhkembangkan kepada anak-anak. Penelitian yang pernah dilakukan oleh taufik Ismail yang memperbandingkan para siswa di negri kita dengan beberapa manca Negara tidak dapat di pungkiri lagi. Minat baca para siswa di negri kita memang sangat rendah.
• Kadua , adanya pengaruh kuat dari budaya manonton, sejak dua dekade ini. Lebih berkembang begitu mudahnya tayangan-tayangan siaran televise dengan program acara yang variatif dapat di tonton oleh anak-anak.
• Ketiga, adanya pengaruh perkembangan zaman, para siswa lebihmenyukai apa yang sedang tren ,mereka lebih manitik beratkan pada dunia hiburan yang ditawarkan oleh teknologi-teknologi modern misalnya internet, mereka lebih menyukai hal tersebut.
Untuk itu, kita perlu merumuskan permasalahan tersebut. Dengan cara yaitu :
Pertama menumbukan minat baca para siswanya, karena sebetulnya membaca karya sastra akan menuntun kita untuk menemukan sensitifitas (kepekaan),tidak hanya terhadap karya sastra itu sendiri,melainkan berimbas kepada semua fenomena yang terjadi di seputar kehidupan .
Seseorang yang gemar membaca karya sastra dengan baik dan penuh apresiatif, cepat atau lambat akan meningkat dalam diri nya kearifan, kehalusan budi, sensitivitas, rasa seni, dan intelektualitasnya.
Dengan membaca karya sastra yang baik di temukan pengalaman-pengalaman di luar kehidupan kita. Realitas fiksional yang tercipta dalam karya sastra, baik itu berupa hal yang lucu, irasional, menggembirakan, menyedihkan, menakjubkan, menakutkan, menyebalkan, memuakkan dan bahkan yang menjijikan sekalipun,semua menjadi wawasan pengalaman dan memperbanyak bathin dalam diri kita,dan pengalaman bathin yang mampu mengasah kepekaan jiwa itu tidak akan pernah di dapatkan di tempat lain,karena hanya terdapat dalam karya sastra.
Banyak ahli kejiwaan menyatakan bahwa pengalaman bathin seseorang yang membaca sastra tidaklah sama dengan pengalaman bathin orang yang menonton televise. Sebab seseorang yang membaca suatu cerita rekaan (fiksi) atau karya sastra akan menciptakan sendiri di dalam diri nya imajinasi terhadap semua realitas yang terjadi di dalam karya sastra itu.
Maka tidak mengherankan kalau seseorang yang telah membaca suatu karya sastra akan menemukan kekecewaan ketika menyaksikan visualisasi karya sastra tersebut ke dalam sebuah film, seperti yang terjadi pada novel “ayat-ayat cinta”,
” ketika cinta bertasbih” dan novel-novel lainnya.
Seseorang tersebut tidak lagi menemukan semua realitas imajiner yang pernah tercipta di dalam batin nya sendiri saat menyaksikan film visualisasi cerita tersebut. Semua visualisasi yang tercipta di dalam film tidak jarang lebih buruk dari realitas imajiner yang ada dalam bathin orang yang pernah membacanya.
Karya sastra lebih merangsang seseorang untuk berekplorasi dengan imajinasinya. Ketika membaca karya sastra kita akan mampu melihat dengan jernih setiap karakter tokoh-tokohnya, tempatnya, suasananya, dan sebagainya sesuai dengan imajinasi kita sendiri, Maka kita akan melihat secara imajiner dan karya sastra ternyata tidak hanya sekedar menjadi pelipur pembacanya.
Kedua, memberikan pengarahan atau penyuluhan kepada anak-anak sekolahan agar menghilangkan kebiasaan terlalu sering menonton Televisi. Jika memerlukan hiburan lebih baik kita membaca cerita-cerita yang bisa menghibur atau menonton Drama, seperti teater yang dipertunjukan di suatu tempat tertentu.
Karena menonton televisi kebanyakan menjadi penyebab anak-anak sekolahan menjadi malas untuk belajar, terutama bukan hanya terhadap mata pelajaran sastra, yang pada akhirnya menjadi faktor kurangnya apresiasi terhadap karya sastra itu sendiri, tetapi juga berimbas pada mata pelajaran lainnya.
Dari pada menonton televisi, bukankah lebih baik gunakan waktu luang tersebut untuk lebih memahami tentang apresiasi sastra. Caranya adalah dengan menonton sebuah Teater Drama dan belajar bagaimana proses dari semua itu bisa juga dengan membaca novel-novel yang telah menjadi Best Sever. Karena dalam karya sastra berbentuk prosa, seperti novel, bisanya terdapat banyak amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang terhadap masyarakat pembaca, akan tetapi pesan itu tidak akan dapat dipahami, jika membacanya saja tidak.
Walaupun umumnya karya sastra yang berbentuk novel bercerita tentang fiksi, akan tetapi jika ditela’ah lagi, fiksi tersebut sebenarnya berasal atau bersumber dari kahidupan masyarakat sehari-hari.
Masalah-masalah yang dibahas biasanya mengenai masalah pendidikan, politik, ekonomi dan yang paling banyak dibahas masalah sosial anak-anak muda jaman sekarang, bagaiman dengan pergaulan mereka, cara mereka bersikap alam kehidupan mereka.
Yang Ketiga, agar dapat menarik perhatian para anak sekolahan atau siswa sehingga bisa menghilangkan sudut kebebasan, mereka lebih menyukai trend-trend perkembangan jaman.
Para siswa seharusnya diajak untuk menikmati berbagai indahnya alam sekitar, indahnya alam merupakan bentuk dari kekuasaan Tuhan, dengan menyadari luasnya angkasa, berhembusnya udara dan lain-lain sebagainya.
Dengan cara itu siswa akan merenungkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Maka pada saat itulah siswa akan terdorong untuk menuangkan apa yang mereka renungkan kadalam karya tulis dalam berbagai bentuknya.
Siswa juga diajak untuk belajar menciptakan karya sastra yang benar-benar merupakan karya mereka sendiri. Mereka lalu terdorong untuk membuat naskah drama, cerpen, puisi, gurindan dan sebagainya.
Selain itu, siswa diajak untuk menghayati secara seksama hasil karya mereka sendiri atau karya kawan mereka.
Dari beberapa langkah diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut akan menimbulkan kesadaran dalam diri siswa bahwa banyak nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Jika telah tertanam pada diri siswa tentang pemahaman apresiasi karya sastra, maka mata pelajaran sastra akan berfungsi menjadi bagaimana semestinya. Bisa mendidik siswa menjadi siswa yang lebih kreatif dalam berimajinasi.
Menciptakan sebuah karya sastra dari hasil daya khayal mereka dan bis menerapkan nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam sebuah karya sastra di kehidupan sehari-harinya dan siswa dapat memberikan apresiasinya terhadap karya siswa. Agar siswa dapat memahami bagaimana pengapresiasian sebuah karya sastra, alangkah baiknya terlebih dahulu kita memahami itu apa Apresiasi.
Apresiasi berasal dari bahasa Inggris dan Pranci Apreesatin, jadi apresiasi adalah penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan pada pemahaman. Kemampuan untuk memahami atau menghargai nilai-nilai seni yang terkandung didalam cipta sastra. Dengan demikian apresiasi sastra dapat disebutkan sebagai kemampuan menikmati, menghargai dan menilai karya sastra.
Menurut Sani KM pada tahun 1997, secara teori apresiasi sastra ini bertahap-tahap atau meningkat diantaranya adalah :
• Tahap pertama adalah : tahap ketertiban jiwa, ketika pembaca mulai memikirkan, merasakan dan membayangkan hal-hal yang dirasakan sastrawan itu mencipta
• Tahap kedua adalah : pembaca mulai menelaah karya sastra itu sendiri dengan menggunakan pikiran maupun konsep-konsep sastra yang pernah dipelajarinya. Tahap ini disebut tahap apresiasi kritisatau intelektual.
• Tahap yang ketiga atau tahap yang terakhir adalah : dimulai pada saat pembaca mulai menghubungkan pengalaman yang dia peroleh dari karya sastra yang dibaca dari sejarah perkembangannya, sehingga nilai karya sastra itu dapat ditentukan dengan lebih seksama dan teliti.
• Tahap yang keempat atau tahap lebih tinggi adalah : kemampuan menghasilkan cipta atau karya sastra tertentu, selain itu sebaiknya dibahas lebih mendalam tentang konkretisasi sastra.
Karya sastra adalah Artefak. Artefak adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek Estetik ( Teeuw,1984:191 ). Bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaiman artefak peninggalan manusia purba mampunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog.
Istilah pemberian makna ini dalam sastra disebut Konkretisasi, dengan konkretisasi itu makna karya sastra yang sebelumnya tidak tampak itu dikonkretisasikan hingga dapat dipahami.
Dengan rekuperasi, makna karya sastra direbuk oleh pembaca hingga maknanya dapat dikuasai atau dipahami pembaca. Dengan arti yang demikian maka konkretisasi dalam istilah bahasa Indonesia adalah pemaknaan, yaitu pemberian makna kepada karya sastra.
Seperti telah dikemukakan bahwa karya sastra sebagai artefak tidak mempunyai makna tanpa diberi makna oleh pembaca. Disini fakto pembaca menjadi penting sebagai pemberi makna.
Berdasarkan hal tersebut, maka untuk dapat menagkap makna atau memberi makna karya sastra, pastilah diperlukan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakekat karya sastra.
Pertama kali, karya sastra adalah sebuah karya yang bermedium bahasa. Bahasa sudah mempunyai arti sendiri, bahasa merupakan sebuah sistem senuotik ( ketandaan ). Tingkat pertama, yang sudah mempunyai arti ( Meaning ). Dalam karya sastra arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna ( Significance ) sebagai sistem tanda tingkat.
Arti ( Meaning ) menjadi makna ( Significance ) ini ditentukan oleh konvensi sastra yang premuger ( 1974 : 1981 ) disebut konvensi tambahan, yaitu konvensi yang ditambahkan kepada konvensi bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama.
Jadi, disamping konvensi bahasa dalam karya sastra ada konvensi yang lain, yang mendasari timbulnya makna dalam karya sastra. Jadi makna sastra itu bukan sematmata arti bahasa, melainkan mendapat arti tambahan oleh konvensi tambahan itu.
Dengan uraian itu, nyatalah bahwa dalam konkretisasi sastra di perlukan pemahaman atas konvensi-konvensi tambahan yang mendasari makna karya sastra tersebut.
Artinya, karya sastra itu lahir dalam knteks sejarah dan sosial budaya suatu bangsa yang didalamnya sastrawan. Penulisnya merupakan salah seorang anggota masyarakatnya.
Oleh karena itu, sastrawan tidak terhindar dari konvensi sastra yang ada sebelumnya dan tidak terlepas dari latar sosial budaya masyarakatnya. Semuanya itu tercermin atau terpancar dalam karya sastranya.
Dengan demikian, dalam pemaknaan karya sastra, faktor-faktor tersebut haruslah dipertimbangkan, disamping faktor individu, sastrawan dan konvensi sastra sebagai sistem senuotik atau sistem ketandaan.
Pertama kali, karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Disamping itu karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak terlepas dari sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya. Maka semuanya itu tercermin dalam karya sastranya.
Akan tetapi, karya sastra juga tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya. Oleh karena itu seluruh situasi yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra.
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks, oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra yang distruktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis gemiotik. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur ( sistem ) tanda-tanda yang bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar